Just another free Blogger theme

Senin, 15 Juli 2013

Niat diantara kita bisa jadi sama, yaitu meramaikan hari-hari ramadhan dan lebaran. Maksud kita sama, yaitu turut berbahagia dalam merayakan hari lebaran dan  ‘memeriahkan perayaan hari kesucian’.  Tetapi, kita semua paham, nilai acuan yang sama, namun  mengandung kepentingan yang berbeda, dan berbeda dalam komoditas nilai yang ditransaksikan. Itulah fenomena yang terjadi, fenomena unik di minggu ke dua hingga ahir ramadhan di kota-kota di Indonesia.


Bagi kita yang tengah berpuasa di bulan ramadhan. Bisa jadi, pada hari-hari pertama kita masih khusus dan serius menjalankan ibadah shaum ramadhan. Pada minggu pertama, orientasi ibadah kepada Allah Swt, masih sangat kuat dirasakan dalam diri ini.
Lain halnya dengan hari-hari  menjelang minggu kedua. Sebuah keluarga, seperti yang terjadi pada keluarga saat ini. Pikiran mengenai hari lebaran sudah mulai menghantui. Sendal baru buat anak. Sepatu baru buat anak. Pakaian baru buat anak. Makanan khusus buat hari lebaran. Atau ada juga pertanyaan, mengenai agenda rekreasi di libur lebaran. Pertanyaan dan impian itu, mulai menghantui warga muslim di minggu-minggu kedua ramadhan.
Sudah jadi tradisi lebaran di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia untuk berusaha semaksimal mungkin tampil dengan pribadi baru dan pakaian baru. Karena itu, tidak mengherankan, bila pada minggu-minggu kedua ini, pusat  perbelanjaan (shopping center) sudah mulai dipadati pengunjung. Mereka hadir dengan ‘visi nilai yang sama’, yaitu memakmurkan perayaan hari lebaran.
Produsen, distributor dan konsumen, memiliki kepentingan yang berbeda. Tetapi, visi interaksi atau komunikasi industrialnya diselaraskan sama, dengan orientasi nilai yang normatif, ‘memeriahkan perayaan hari kesucian’.  Nilai acuan yang sama, tetapi beda kepentingan, dan beda yang ditransaksikan. Itulah fenomena yang terjadi, fenomena unik di minggu ke dua hingga ahir ramadhan di kota-kota di Indonesia.
Fenomena itu bukanlah fenomena baru. Fenomena itu adalah fenoman tahunan. Sebagai sebuah fenomena rutin, potensial akan melahirkan sebagai sebuah formalitas budaya. Sementara formalitas budaya, yang dilakukan   secara rutin berkala, potensial melahirkan pembekuan dan kekakuan makna. Bila tidak ada momentum untuk melakukan refleksi, formalisme tahunan, yang bisa disebut budaya lebaran dengan budaya baju barunya, akan kehilangan makna.
Sesungguhnya, khutbah idul fitri, hendaknya, benar-benar bisa dijadikan sebagai momentum refleksi mengenai berbagai hal yang terjadi, dan sekaligus merenungkan mengenai perubahan diri selama ini.  Termasuk masalah tradisi-tradisi atau budaya-budaya yang hadir di tengah masyarakat yang tengah berpuasa tersebut.
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar