Just another free Blogger theme

Senin, 30 Oktober 2017

Tahun 2001, sudah dilaporkan mengenai banyaknya sekolah di Amerika Serikat yang menunjukkan kinerja yang buruk. Indikator utama dari gejala itu, yakni meningkatkan kebosanan peserta didik dalam mengikuti kegiatan sekolah. "sekolah yang membosankan.." itulah, salah satu pekikan anak muda sekarang ini.  Kejadian itu, bisa pula hadir di tengah lembaga pendidikan kita sat ini.
Kritikan itu memang cukup mendasar, dan juga menyakitkan. Bukan hanya para guru, pengelola pendidikan, tetapi  juga pemerintah.
Para guru, atau tenaga pendidik, merasa sudah 'beak dengkak' kerja keras, dari pagi hingga sore, bahkan malam hari melakukan kegiatan yang terkait dengan pekerjaan sekolahnya, namun ternyata tetap saja mendapat sorotan dari masyarakat. Sekolahnya dianggap kurang efektif, tenaga pendidiknya dianggap kurang serius dalam bekerja.
Untuk sekedar alibi, kadang para pengelola pendidikan memberikan data, bahwa dari tahun ke tahun, sudah tampak kenaikan prosentasi kelulusan di ujung pembelajarannya. Tetapi, prosentase serupa itu, masih juga diartikan sebagai bentuk formalisme, dan tidak menyentuh substansi pendidikannya. Kritikan itu pun, sudah tentu menyakitkan.
Terlebih lagi, perasaan yang diidap oleh penyelenggara negara. Mereka mengatakan "sudah jutaan malah milyaran rupiah digelontorkan untuk dunia pendidikan, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan". Karena adanya kebosanan dan ketidakefektivan layanan pendidikan inilah, kemudian negara pun mendapat kritikan pedas, baik dari akademisi maupun  lawan politiknya.
Bila kondisi ini dibiarkan, kebosanan anak di sekolah, dan kegagalan sekolah dalam mewujudkan visi dan misi lembaga pendidikannya, maka hal ini, akan menjadi penggenap lahirnya "sekolah gagal" (failure school).


sumber : Shlomo Sharan dan  Ivy Geok Chin Tan, "Organizing Schools for Productive Learning", 2008 Springer Science + Business Media B.V.


  Pengungsi KongoREPUBLIKA.CO.ID, KASAI -- Warga di Republik Kongo terancam kelaparan menyusul pecahnya konflik di provinsi Kasai. Direktur eksekutif Program Pangan Dunia David Beasley mengatakan, lebih dari tiga juta warga Kongo dihantui kelaparan.

"Ratusan ribu anak-anak terancam meninggal dalam beberapa bulan kedepan jika bantuan tak segera datang," kata David Beasley seperti diwartakan BBC, Ahad (29/10).

Dia menyebut peristiwa yang menimpa Provinsi Kasai merupakan sebuah bencana. Dia mengatakan, kasus malnutrisi kerap menghantui anak-anak bersama dengan permasalahan pertumbuhan.

Dia mengatakan, Program Pangan Dunia (WFP) hanya memiliki satu persen dana untuk membantu warga Kasai.

"Jika menunggu beberapa minggu lagi sebelum menerima dana untuk mengadakan makanan, saya tidak bisa membayangkan betapa mengerikan situasinya," katanya.

Sebelumnya, kekerasan meletus pada Agustus tahun lalu menyusul kematian seorang pemimpin lokal dalam bentrokan dengan kepolisian. Peristiwa tersebut memaksa 1,5 juta orang mengungsi dari rumah mereka. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.

Tanggal : Senin , 30 October 2017, 00:34 WIB
Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Hazliansyah
sumber : http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/17/10/30/oylhu9280-tiga-juta-masyarakat-kongo-terancam-kelaparan

Senin, 16 Oktober 2017

Apakah kita bisa memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai objek penelitian ? Sebuah pertanyaan sederhana, namun memiliki inti masalah yang sangat mendasar. Mengapa di sebut mendasar karena pada kenyataannya, atau dalam beberapa kasus, apa yang tampak dalam dunia maya, bukan sesuatu yang nyata. Namanya juga dunia maya, maka realitasnya pun reallitas semu (nir-nyata).
Di sisi lain, kita sangat sadar, bahwa informasi di dunia maya itu sangat melimpah, bahkan bisa disebut berlebih dan berlebihan. Perhatikan saja media sosial yang kita gunakan saat ini ! dalam medsos teman-teman kita, ada yang berisikan curhatan pribadi,  kelakuan diri, atau informasi mengenai ragam kelakuan yang ada di sekitar penulisnya. Dengan kata lain apakah semua hal itu, bisa digunakan  sebagai objek penelitian ?
Khusus untuk kita, yang hidup di zaman teknologi informasi ini, maka ada beberapa kejadian baru, yang sebelumnya tidak banyak teralami.
Pertama, memanfaatkan teknologi online untuk praktek penelitian. Peneliti, memanfaatkan teknologi internet, sebagai media untuk pencarian informasi dan penggambaran gejala yang tengah di teliti. tahapan ini, teknologi informasi, menjadi alat atau media untuk pencarian data.
Kedua, memanfaatkan infrmasi dan teknologi infomasi sebagai objek. Jika yang pertama tadi sebagai alat, maka yang kedua ini, menjadikan informasi dan teknologi informasi di dunia maya sebagai objek kajiannya.
Selama ini, kita sudah mengenal pendekatan semiotik, untuk melakukan kajian tanda-tanda budaya, sepeti yang muncul dalam teks, atau  karya lukis dan seni rupa. Pendekatan ini, sudah biasa digunakan, dengan memanfaatkan tanda-tanda budaya yang tercetak. Sementara, di era sekarang ini, tanda-tanda itu, lahr dan mewujud dalam bentuk elektronik atau digital. Objek inilah, yang kini ramai menjadi bahan perbincangan dan kajian baru, di zaman kita.
Paparan ini, kemudian menghantarkan kita pada satu sudut kebutuhan baru yang disebutnya netnography.  Denga kata lain, kita bisa mengartikan netnography  dalam dua makna, (1) melakukan penelitian dengan memanfaatkan teknologi online, dan (2) memanfaatkan fenomena online sebagai objek kajian ilmiah.

Jumat, 13 Oktober 2017



Hasil gambar untuk sumberdaya lokalBagi seorang guru, potensi lokal sejatinya dapat dijadikan sebagai sumber belajar atau bahan ajar. Lebih tepatnya lagi, kita bisa menerapkan model pembelajaran berbasis sumberdaya lokal.