Just another free Blogger theme

Minggu, 28 Juni 2020


Kontroversi Visi Misi dan Debat Capres yang Menyudutkan KPU ...

Debat. Adalah salah satu cara yang mungkin banyak dijadikan tontonan oleh masyarakat kita saat ini. Di sejumlah media elektronik, tayangan tentang debat dan perdebatan menjadi acara penting, dan juga banyak menyedot perhatian banyak orang. Tidak terkeculia, masyarakat banyak pada umumnya. Artinya, debat dan perdebatan ini, bukan hanya dikonsumsi oleh mahasiswa atau akademisi, tetpi juga oleh kalangan masyarakat lain pada umumnya.
Tidak banyak yang tahu, mengenai ilmu atau cara melatih kemampuan berdebat. Di tengah masyarakat, setidaknya, penulis merasakan bahwa kadang kala ada orang yang pintar menulis, tetapi kurang terampil berbicara atau berdebat, begitu pula sebaliknya, ada orang yang terampil berargumentasi, namun tidak cakap dalam menulis.
Kenyataan ini, banyak dirasakan di alami oleh banyak orang.
lantas, bagaimana duduk persoalannya ?
Baru saja, terbuka, eh. maaf, baru tahu, Anthony Weston (2017) mengeluarkan karyanya, dengan tema panduan berargumentasi. Kita tidak akan mengulas isinya, kita hanya mengulas satu pertanyaan yang dia lontarkan dalam wacana ini.
Bukunya itu, disebut sebagai sebuah panduan terkait "seni membuat argumentasi". Eh, argumentasi disebut sebagai sebuah Seni (art). Pernyataan ini menarik.
Argumentasi di sebut sebagai seni, itu artinya, berargument itu terkait dengan kemampaun rasa dan perasaan setiap orang. Setidaknya, setiap orang akan memiliki gaya dan seninya sendiri-sendiri.
Bisa jadi, karena adanya perbedaan gaya debat itulah, kemudian debat atau berargumentasi itu, disebut sebagai sebuah seni atau art.
Kedua, sisi penting lain yang tak boleh dilupakan, jika memang argument atau membuat argumentasi itu adalah sebuah seni, hal ini menggambarkan bahwa kemampuan ini lebih merupakan sebuah keterampilan, dibanding bawaan. kemampuan berargumentasi adalah sebuah keterampilan, yang bsia dilatih, dibina dan dikembangkan !

Sabtu, 06 Juni 2020

Ribuan demonstran George Floyd diminta tes Covid-19Saya termasuk orang yang belum bisa menarik kesimpulan baku. Sebuah peristiwa, memang tidak bisa dijadikan contoh atau cermin untuk menggambarkan sebuah peristiwa. Tetapi, sebagai bagian dari usaha kita untuk merenungkan kehidupan berbangsa dan bernegara, di negeri yang kita cintai ini, layaknya kita bisa manfaatkan kasus yang tengah terjadi di negara yang sempat menyandang gelar SuperPower, Amerika Serikat.
Sekedar informasi, tragedi itu bermula saat George Floyd ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu. Uang yang ia gunakan senilai US$ 20 (Rp 292 ribu). Menurut laporan media massa yang kita baca di sini, prosedur penangkapannya yang dilakukan Derek Cauvin termasuk malpraktek yang dilakukan polisi yang kemudian menyebabkan hilangnya nyawa korban.
Hal uniknya, kasus ini kemudian menguat, menjadi sebuah isu sensitif di negeri itu, yakni isu rasisme, dan sejak 25 Mei itu, menjadi energi besar yang terus bergelombang menjadi sebuah gerakan kritis terhadap Pemerintahan AS, Donald Trump saat ini.
Lantas apa pelajaran penting dari peristiwa itu ? apa yang menarik dari peristiwa itu, cermin apa yang dapat kita kenali dari peristiwa yang kini menyedot perhatian banyak media di dunia ?
Pertama, kita melihat nyawa manusia adalah modal-asasi manusia yang harus dilindungi. Bukan soal jumlah, tetapi perlakuan kita terhadap manusia akan menjadi standar kualitas kemanusiaan kita dihadapan bangsa dan negara. Negara AS, negara liberal dalam pandangan kita, ternyata begitu menjunjung tinggi modal asasi manusia, yakni nyawa.
Kedua, kita memang melihatnya, bahwa isu rasis di negeri Barat, sama kuatnya dengan isu teroris atau SARA di negeri kita. peristiwa yang berbau pada isu-isu sentral ini, amat dengan mudah menyulut emosi politis dari warga negaranya. Demo solidaritas dan keprihatian terhadap tragedi yang terjadi pada George Floyd ini, begitu memancing banyak perhatian, dan meluas ke berbagai negeri di AS.
Ketiga, gejala yang kita bicarakan ini, sesungguhnya adalah fenomena kematian akibat tindakan keliru oleh negara atau aparatur negara.Di negeri kita pun, memiliki banyak contoh kejadian serupa ini. Misalnya saja, kematian Munir yang fenomenal dan sampai kini masih menyisakan 'kegelapan'. Kemudian kematian wartawan Bernas, Udin, pun demikian adanya.
Wajar. peristiwa kematian yang disebabkan karena ada 'unsur pelanggaran' kekuasaan, akan memancing emosi publik. Tetapi, apakah wajar, jika kemudian, membedakan kualitas nyawa manusia satu dengan yang lainnya ?
sekedar contoh, di tahun 2018, pernah ada berita, ada seorang guru yang meninggal dunia karena di pukuli oleh muridnya. Kemudian, tahun 2019, ada seorang guru yang dianiaya oleh oknum orangtua siswa. Masalahnya, kenapa peristiwa ini tidak mengundak simpatik nasional ? apakah, karena isu ini tidak menarik, atau memang harga nyawa itu berbeda-beda ?
Dari pengalaman kejadian di AS ini, para pejuang HAM, bisa menunjukkan sikap yang jelas, standar dan tegas dalam melindungi modal asasi manusia, yang disebut nyawa. Bukan nyawa aktivis (LSM, Wartawan atau Mahasiswa) saja yang perlu dibela, tetapi setiap nyawa anak bangsa ini pun, perlu dibela sebagaimana mestinya.

Jumat, 05 Juni 2020

Matahari Terbit Lautan Kabut - Foto gratis di PixabaySikap dan kelakuan tidak menghargai waktu, hampir terlakukan secara tidak sadar. Banyak orang, diantara kita yang melakukan hal ini, tanpa kesadaran. Bahkan, kerap kali menghadapi sesuatu dengan cara ujug-ujug, atau mendadak. Mendadak berganti hari, mendadak sudah mepet. Mendadak teringatkan, dan lain sebagainya. Semuanya serba mendadak.
Ujung-ujung dari situasi serupa ini, kadang malah menyalahkan waktu. "Ah, gak ada waktu." ketusnya dalam hati, dan seringkali pula terlontar dalam lisan. Pertanyaan kita adalah, apakah layak kita menyalahkan waktu ?
Pengalaman kita, selama Pandemic Covid-19 tahun 2020 ini, terasa cukup banyak hal, yang dirasa dan terasa mendadak. Seorang guru, mendadak daring, Seorang pelajar mendadak belajar di rumah. Seorang ayah dan ibu, mendadak harus memainkan peran sebagai guru. Hal yang lebih memprihatinkan, sejumlah sahabat, tetangga kita, atau saudara kita, mendadak di rumahkan, karena pandemic ini. Semua serba mendadak.
Pertanyaan dasar kita memang mengacu pada satu hal, "apakah ada sesuatu hal yang salah, dengan sesuatu hal yang mendadak ?" dalam istilah yang lain, "apakah hukum kemendadakan, adalah sesuatu hal yang salah, sehingga kita bisa menyalahkan waktu ?", ketusan diantara kita, "habis mendadak sih, jadi beginilah kejadiannya...." ungkapnya, dengan arah dan tujuan yang tak jelas, siapa yang dijadikan sasaran omelannya tersebut.
Untuk mentafakuri situasi serupa ini, rasanya kita perlu melihat, mencari dan menggali makna lain, terkait dengan jalannya waktu dalam hidup dna kehidupan kita saat ini.
Al-Humaidi telah menceritakan kepada kami, menceritakan kepada kami, az Zuhri telah menceritakan kepada kami dari Sa'id bin al Musayyab dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw  bersabda: Allah Swt berfirman: "lbnu Adam mengganggu pada-Ku, ia telah memaki-maki masa, padahal Aku-lah masa itu, sebab di tangan-Ku segala urusannya, Aku yang membolak-balik malam dan siang".
Dengan memperhatikan hadist Qudsi ini, setidaknya kita menemukan ada beberapa pelajaran penting.
Pertama, tidak layak memaki-maki waktu. Waktu adalah hukum alam, yang berjalan apa adanya. Manusia memperhatikan atau mengabaikannya, maka waktu akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Andai kiat kerja keras, waktu akan berjalan. Andai kita isi waktu itu dengan tidur malas, pun, waktu akan terus berjalan. Oleh karena itu, pada saat kita memaki-maki waktu, maka ada kekeliruan sikap dari manusia itu sendiri.
Kedua, pada hadist Qudsi ini, ada asma Allah Swt yang terlupakan, yaitu asma ad-Dahr. Allah Swt adalah ad-Dahr, hal itu sesuai dengan pengakuan Ilahi tentang Dirinya, Aku-lah Masa (wa Ana ad-Dahr). Allah Swt menyatakan Diri, bahwa Diri-Nyalah ad-Dahr, karena Diri-Nya yang menciptakan waktu, siang dan malam. Dalam kekuasannya, segala urusan makhluk di dunia dan diakhirat itu.
Ketiga, Allah Swt adalah mengurus waktu. Dalam hadits itu digunakan lafaz aqallabul lail wa nahar, akulah yang membolak-balilkkan malam dan siang. Lafaz qallab, bisa diartikan bolak-balik, dan dapat pula diartikan mengatur atau mengelola. Oleh karena itu, lafaz aqallabul lail wa nahar   dapat dimaknai Allah Swt-lah yang mengatur peredaran benda langit, sehingga terjadinya proses malam dan siang.
Keempat, pesan umum yang ingin tersampaikan, terkesan mengenai pentingnya kita dalam menjaga sikap dan lisan, jangan sampai tercetus pemahaman atau pemikiran yang lebih mengarah pada menyalahkan faktor luar, termasuk lingkungan, tiadanya waktu luang, dan lain sebagainya. pepatah lain mengatakan, salah satu ciri orang lemah dan tak bertanggungjawab adalah menunjuk faktor lain sebagai penyebab kegagalan dan kesalahan. Kita boleh tidak sepakat dengan pernyataan itu, tetapi hendaknya dapat dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita.
Andai kita senantiasa menyalahkan orang lain, akankah kita mendapat efek perubahan dari tindakan semua itu ? ataukah, lebih baik kita melakukan koreksi terhadap kelemahan diri, dan kemudian memperbaikinya ?
Wallahu 'alam/.