Bagi
seorang guru, potensi lokal sejatinya dapat dijadikan sebagai sumber belajar
atau bahan ajar. Lebih tepatnya lagi, kita bisa menerapkan model pembelajaran
berbasis sumberdaya lokal.
Silakan
saja, kalau ada yang mau menggunakan istilah pembelajaran kontekstual. Tetapi,
dalam konteks ini, kita lebih melihat sisi sumber bahan ajar. Dengan
sumberbahan ajar yang berorientasi lokal, maka kita sebut model pembelajaran
berbasis sumberdaya lokal, dan tidak menggunakan istilah pembelajaran
kontekstual.
Dalam pembelajaran kontekstual, bisa jadi, kita menggunakn bahan ajar dari luar atau bahan ajar mengenai luar. Hanya saja, dalam proses pembelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Bahan ajar itu diadaptasi sesuai kebutuhan lokal, sehingga disebutnya pembelajaran kontekstual. Hal itu berbeda dengan pembelajaran berbasis sumberdaya lokal.
Pada
pembelajaran berbasis sumberdaya lokal (local resources based learning),
seorang tenaga pendidik memanfaatkan sumberdaya pembelajaran yang ada di daerah
setempat. Mulai dari materinya, metode, atau tata ruang tempat belajarnya.
Semuanya diharapkan dapat bernuansakan daerah.
Bahan ajar yang bisa disampaikan kepada peserta didik, tersedia melimpah di sekitar kita. Terlebih kalau pelajaran geografi, biologi, sosiologi, antropologi, PKn, bahasa dan agama. Untuk pelajaran yang lain pun, sangat mudah ditemukan di daerah setempat. Hal yang perlu dilakukan adalah kecermatan seorang tenaga pendidik, dalam mengolah bahan ajar lokal (local material) sebagai bahan ajar yang akan diangkat dalam proses pembelajaran.
Di
daerah pegunungan, kita bisa mengidentifikasi ragam tanah, ragam tanah, keadaan
cuaca, dan jenis matapencaharian masyarakat. Bahan ajar lokal itu, akan sangat
berguna bagi peserta didik. Selain mengenali gejala yang ada di sekitarnya,
juga akan meningkatkan kepekaan dan kepedulian terhadap gejala sosial dan
gejala alam di sekitarnya.
Sunan Kalijaga, dikenal sebagai wali sanga yang memiliki pendekatan budaya yang luar biasa. Beliau paham akan tradisi Jawa, dan berniat untuk bisa medakwahkan Islam terhadapnya. Tanpa harus beraduhadapan, dia mampu mengembangkan model dakwah dengan seni, sehingga bisa diterima oleh masyarakat Jawa saat itu. Pendekatan inilah, yang saya sebut model pembelajaran, atau sosialisasi nilai, yang berbasiskan pada budaya lokal. Dengan kata lain, keunikan budaya lokal, hendaknya dapat dijadikan modal untuk proses penyampaian informasi atau pembelajaran.
Tidak
kalah pentingnya lagi, yaitu tata ruang tempat belajar. Selama ini, kita berada
di tempat belajar yang hampir seragam. Pengalaman kita, sejak sekolah dasar,
menengah maupun perguruan tinggi, kita berada di tempa belajar yang sama, yaitu
bentuk bangunan kaku, dengan ukuran 6x6 atau 8x8 m. Tidak lebh dan tidak kurang
dari itu.
Mungkin saat kita belajar di pendidikan pra sekolah atau pendidikan usia dini. Beberapa tempat belajar PAUD, ada yang memanfaatkan rumah pribadi, sebagai tempat belajar. Pilihan itu agak unik, karena memiliki nuansa, memberikan spirit ‘rumah belajar’ atau ‘belajar seperti di rumah’ atau ‘rumahku adalah tempat belajarku’ (baity madrasaty). Selain itu, tempat belajar kita, memiliki nuansa dan bentuk yang sama. Kaku, dengan ukuran baku.
Jika
kita mau sedikit berinovasi. Tempat belajar
itu sesungguhnya bisa beragam. Pada sekolah alam, misalnya, mereka bisa belajar
di luar kelas. Selain itu, ada juga yang bisa memanfaatkan ruang masjid, rumah,
atau tempat lainnya sebagai tempat belajar.
Model pembelajaran bebasis sumberdaya lokal, memiliki spirit untuk bisa memanfaatkan ruang-ruang geografik yang ada di daerah setempat sebagai tempat belajar. Belajar tidak selamanya harus di gedung bernama “kelas”. Itulah yang kita maksudkan di sini.
0 comments:
Posting Komentar