Just another free Blogger theme

Jumat, 26 Mei 2023


Ar-Raghib al-Asfahani (Al-Ashfahani, 2017) memberikan pengertian umum bahwa sara’a mengandung makna cepat. Kata ini merupakan kebalikan dari al-buth-u (lambat). Istilah cepat bisa digunakan dalam konteks positif  maupun negative. Kedua konteks ini, hadir dan ditampilkan dalam kitab suci Al-Qur’an.

Pertama, konsep sari’u digunakan dalam konteks negative atau buruk.  Orang-orang kafir, menunjukkan sikap yang semangat atau melakukan tindak kekufuran dengan cepat. Cepatnya mereka melakukan kekufuran, pada dasarnya tidak merugikan Allah Swt, justru mereka sendirilah yang rugi.

﴿ وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْكُفْرِۚ اِنَّهُمْ لَنْ يَّضُرُّوا اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ اَلَّا يَجْعَلَ لَهُمْ حَظًّا فِى الْاٰخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌۚ ١٧٦ ﴾ ( اٰل عمران/3: 176)

Janganlah engkau (Nabi Muhammad) dirisaukan oleh orang-orang yang dengan cepat melakukan kekufuran. Sesungguhnya sedikit pun mereka tidak merugikan Allah. Allah tidak akan memberi bagian (pahala) kepada mereka di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang sangat besar.  (Ali 'Imran/3:176)

Kamis, 25 Mei 2023


Pertanyaan ini, lebih bersifat dugaan. Atau lebih tepatnya, menemukan inspirasi dari sebuah pesan dari firman Allah Swt. Meminjam istilah Quraish Shihab,  yakni menemukan kesan dari pesan Ilahi,  sebagaimana yang dituangkan dalam al-Qur'an. Sudah tentu, karena sifatnya kesan, maka cenderung dipengaruhi oleh perspektif atau kualitas penalaran yang digunakan oleh setiap pembacanya, dalam hal ini penulis sendiri.

Terkait tema ini, kita akan menyandarkan penalaran pada dua ayat, pertama, ayat 133 surat Ali Imran, yang berbunyi :

﴿ ۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣ ﴾

 ( اٰل عمران/3: 133)

Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (Ali 'Imran/3:133)

Rabu, 03 Mei 2023

 

“hanya aku dan Tuhan..”

“lha, itu kalau kamu yakin dan percaya akan Tuhan. Mana mungkin  kamu yakin bahwa Tuhan bisa mengerti masalahmu, jika kamu sendiri tidak percaya pada Tuhan?”

“tapi, Tuhan pasti tahu dan mengerti masalahku..” keluhnya dengan tandas

“betul, tetapi untuk bisa meyakini hal itu,  maka pokok soalnya, adalah apakah kamu sendiri, percaya pada Tuhan, sehingga Tuhan bisa mengerti kepadamu.

“memangnya, kalau aku tidak percaya pada Tuhan, lantas Tuhan pun tidak peduli kepadaku?” bantahnya lagi, “bukankah Tuhan, menurut  kaum beriman itu, adalah Dzat yang maha tahu..”

Lucu sekali. Pola pikir yang kacau. Dirinya sendiri tidak percaya pada Tuhan, eh,  malah, mengandaikan Tuhan supaya bisa mengerti terhadap dirinya dan masalahnya. Pola pikir serupa  ini, menunjukkan gila atau kacaunya pola pikir orang dimaksud.

“ah, kamu sendiri yang ngaco..”, suara dari belakang muncul, “memangnya ada yang melakukan dialog seperti itu?”

Aku terdiam sesaat. Diam. Bisu dan  membisu. Kadang senyum sinis, dan  kadang pula, tertawa dan mentertawakan diri sendiri. “iya, yah. Memangnya ada dialog serupa itu di dunia nyata.?” Sekali lagi berguman, “apakah bakal ada, orang yang tidak yakin dengan Tuhan, lantas dia berjar begitu?”

Lama sudah aku terdiam. Selepas berlalu beberapa hal, kemudian, teringat kembali, bahwa yang dimaksudkan itu adalah “bagaimana kita mengandaikan Tuhan  maha Tahu, kalau perilaku diri sendiri saja, berani membangkang petunjuknya atau peringatannya ? bukankah, membangkah peringatan, sama dengan tidak yakin bahwa Tuhan akan bertindak terhadap setiap gerak langkah dan perbuatannya ?” sejenak untuk mengambil nafas, “keberanian melakukan pelanggaran terhadap strander operasional Tuhan dalam kehidupan ini, menunjukkan bahwa Tuhan maha tahu terhadap perbuatan makhluknya, tetapi kau abai dengan kesadaran itu..”

Aku tak berani melanjutkan pertanyaan-pertanyaan itu. Cuma memang, pertanyaan awal nan mendasar, yang menjadi masalahku hari ini, adalah “siapa yang bisa mengerti perasaanku ini, masalahku ini, dan kebutuhanku saat ini, siapa? Siapa yang bisa memahami hal serupa ini ?”

Mungkinkah ada orang lain, yang bisa memahami masalah dan perasaan kita ?

Mungkin ada. Sepintar lalu saja, ada. Teman kita, ibu kita, pasangan hidup kita, atau malah kaum professional. Mereka bisa memahami masalah kita, dan  malah bisa membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tetapi memang jumlah orang serupa itu, amat sangat sedikit. Sedikit sekali jumlahnya.

Cukup banyak, teman kita yang ada saat ini, tidak mengerti urusan kita. Bahkan, ada pula orangtua yang tidak bisa mengerti masalah anak-anaknya. Termasuk demikian juga, kalau sang klien tidak bisa berterus terang, maka kaum professional pun akan menaglami kegagalan dalam memahami kliennya, sehingga gagal dalam melakukan terapi terhadapnya.

Jadi, siapa yang bisa memahami masalah diri kita ?

Diri sendiri….

“aneh,…” pikirku. “Disaat dirinya tengah dalam kebingungan, kemudian orang lain mengatakan bahwa yang bisa memahami diri sendiri adalah dirinya sendiri. Ini, saya lagi bingung, ngung, ngung….”

Bukankah saat ada seseorang yang curhat kepada orang lain, adalah juga sebuah pengakuan bahwa dirinya tengah merasakan apa yang dirasakan, tetapi tidak tahu cara pemecahan masalahnya ? bukankah, saat ada orang yang curhat, dia sedang merasakan kebingungan dengan dirinya, yang dibbingungkan oleh masalahnya, yang masih mebingungkan dirina sendiri ?

Waduh. Kalau bingung. Bingung. Kemudian, dia tidak bisa mengendalikan kebingungan dalam dirinya oleh dirinya. Maka inilah, salahh satu bentuk jenis penyakit jiwa di era modern !

 

 

Senin, 01 Mei 2023

Hari pendidikan nasional, memperingati apa semua ini ? memperingati tokoh, memperingai proses atau memperingati hasil ? Guru dituntut menjadi orangtua di sekolah, dan orangtua dituntut menjadi guru di rumahnya.  


Hari Pendidikan Nasional, memperingati apa ? memperingati tokoh ? rasanya, tanpa diperingati pun, tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, Moh. Syafei, Rohana Kudus, atau Dewi Sartika adalah sudah sangat terhormat. 

Hardiknas memperingati proses ? Proses adalah proses. Sebagai proses belum ada ujung, yang ada adalah rangkaian perjalanan. Mungkin tampak kelelahan atau semangat, lantas apa yang perlu diperingatintya ? kita memperingati konsistensi tenaga pendidik dalam menjalankan tugas mendidiknya.