Tahun 2001, sudah dilaporkan mengenai banyaknya sekolah di Amerika Serikat yang menunjukkan kinerja yang buruk. Indikator utama dari gejala itu, yakni meningkatkan kebosanan peserta didik dalam mengikuti kegiatan sekolah. "sekolah yang membosankan.." itulah, salah satu pekikan anak muda sekarang ini. Kejadian itu, bisa pula hadir di tengah lembaga pendidikan kita sat ini.
sumber : Shlomo Sharan dan Ivy Geok Chin Tan, "Organizing Schools for Productive Learning", 2008 Springer Science + Business Media B.V.
Kritikan itu memang cukup mendasar, dan juga menyakitkan. Bukan hanya para guru, pengelola pendidikan, tetapi juga pemerintah.Para guru, atau tenaga pendidik, merasa sudah 'beak dengkak' kerja keras, dari pagi hingga sore, bahkan malam hari melakukan kegiatan yang terkait dengan pekerjaan sekolahnya, namun ternyata tetap saja mendapat sorotan dari masyarakat. Sekolahnya dianggap kurang efektif, tenaga pendidiknya dianggap kurang serius dalam bekerja.
Untuk sekedar alibi, kadang para pengelola pendidikan memberikan data, bahwa dari tahun ke tahun, sudah tampak kenaikan prosentasi kelulusan di ujung pembelajarannya. Tetapi, prosentase serupa itu, masih juga diartikan sebagai bentuk formalisme, dan tidak menyentuh substansi pendidikannya. Kritikan itu pun, sudah tentu menyakitkan.Terlebih lagi, perasaan yang diidap oleh penyelenggara negara. Mereka mengatakan "sudah jutaan malah milyaran rupiah digelontorkan untuk dunia pendidikan, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan". Karena adanya kebosanan dan ketidakefektivan layanan pendidikan inilah, kemudian negara pun mendapat kritikan pedas, baik dari akademisi maupun lawan politiknya.
Bila kondisi ini dibiarkan, kebosanan anak di sekolah, dan kegagalan sekolah dalam mewujudkan visi dan misi lembaga pendidikannya, maka hal ini, akan menjadi penggenap lahirnya "sekolah gagal" (failure school).
sumber : Shlomo Sharan dan Ivy Geok Chin Tan, "Organizing Schools for Productive Learning", 2008 Springer Science + Business Media B.V.
0 comments:
Posting Komentar