Di zaman kita sekarang
ini, isu mengenai sekolah berwawasan lingkungan (green school) sudah mulai
memasyarakat. Setidaknya, itulah yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, termasuk di
Kota Bandung. Isu pentingnya pendidikan berwawasan lingkungan, setidaknya
diawali dengan adanya Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), yang kemudian menjelma
menjadi sebuah prinsip penyelenggaraan pendidikan berwawasan lingkungan.
Kendati demikian, seiring
sejalan dengan perkembangan isu itu sendiri, ternyata, masih ada pandangan dan
kebijakan yang sempit mengenai arti dari pendidikan berwawasan lingkungan
tersebut. Kita seringkali melihatnya,
pendidikan berwawasan lingkungan itu, sekedar sekolah yang memiliki taman
hijau, atau bersih dan sehat.
Pikiran seperti itu,
benar, tetapi kurang tepat. Setidaknya, bila kita kaitkan dengan prinsip dari
dari pendidikan lingkungan hidup itu sendiri. Karena pada dasarnya, untuk
menjadi sebuah sekolah hijau, atau sekolah berwawasan lingkungan, ada beberapa
komponen pokok yang perlu ditumbuhkembangkan di lingkungan sekolah tersebut.
Dalam kaitan ini, kita
dapat meminjam dan mengadaptasi pemikiran pembangunan berwawasan lingkungan, ke
dalam konteks sekolah hijau. Ide itu relevan untuk diterapkan, dan atau
setidaknya, dijadikan patokan dalam memahami sekolah hijau.[1]
Pertama, sekolah hijau tetap berorientasi pada lingkungan (environment). Bentuk nyata dari sikap ini, yaitu hadirnya lingkungan yang hijau, lestari, dan bersih. Hadirnya taman-taman sekolah, atau jalur hijau, merupakan bentuk nyata dari sekolah berorientasi pada lingkungan.
Kedua, sekolah hijau
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Kendati harus jaga lingkungan, bukan
berarti mengabaikan masalah pertumbuhan ekonomi (economic growth). Karena itu,
lingkungan sekolah hijau itu, bukanlah lingkungan pasif, atau konsumeris,
tetapi harus menjadi lingkungan yang aktif dan produktif.
Bukan sekedar taman yang bisa dilihat, tetapi taman yang produktif mendukung pada kehidupan manusia atau makhluk yang ada di lingkungan di maksud. Karena itu, sekolah hijau, memiliki taman yang produktif, dan bukan pemandangan. Taman di sekolah itu, bukan sekedar “enak dilihat”, tetapi juga “bisa dinikmati”.
Ketiga, sekolah hijau itu
berorientasi pada pembangunan social (social
development). Sebuah sekolah hijau, dituntut untuk bisa memberdayakan dan
membudayakan perilaku sehat pada seluruh komponen, termasuk kalangan siswa. Menjadi
sekolah hijau, bukan karena kepiawaian pimpinan dalam memelihara lingkungan,
tetapi karena ada partisipai seluruh komponen sekolah dalam memelihara
lingkungan, itulah yang disebut sekolah hijau.
Terakhir, menambah pemikiran Cavagnaro dan Curiel, yang paling pokok lagi, yaitu menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar. Sekolah adalah lingkungan pendidikan, karena itu pula, taman atau lingkungan yang ada di sekolah pun, harus dalam konteks penciptaan lingkungan belajar.
Penutup
Selama ini, kita hanya
berfokus pada dimensi yang pertama saja. Selama ini, kita melihat bahwa program
sekolah hijau itu, hanya mengarah pada upaya membuat taman dan memelihara
taman. Itu betul, tetapi kurang menyeluruh.
Keempat komponen itulah, yang hendaknya, dijadikan perhatian, atau patokan kita dapat mengartikan sekolah hijau di satuan kerja lembaga pendidikan kita masing-masing.
[1]
Elena Cavagnaro and George Curiel, The Three Levels of Sustainability, United
Kingdom : Greenleaf
Publishing, 2012.
0 comments:
Posting Komentar