Derek Gregory (1994)
mengeluarkan buku dengan judul Geographical Imagination.[1] Karya
ini mengingatkan kita pada The Sociological Imagination karya C. Wright Mill yang pertama kali
terbit 1959.[2] Kedua
buku ini, menarik untuk dikaji, dan dapat dijadikan batu loncatan untuk
memahami wacana yang akan kita ulas dalam buku ini, khususnya untuk memahami
mengenai hakikat geografi, geografi implisit dan kecerdasan geografi. Pemahaman
hal-hal tersebut tadi, akan kian kokoh bila kita dapat menarik manfaat dari
konsep imajinasi geografi ini.
Geographical
Imagination atau kita sederhana imajinasi geografis adalah persepsi, kesadaran dan pemahaman
alamian manusia mengenai ruang. Setiap orang dalam batasan dan kemampuannya
masing-masing, memiliki pemahaman tersendiri mengenai ruang atau tempat
tinggalnya.
Ini rumahku. Ini mejaku. Itu rumahmu. Itu sekolahmu. Itu kampungmu. Ini adalah desa kita. Ini adalah keluarga besar kita. Ini acara kita. Itu upacara mereka. Itu adalah wilayah mereka. Kita berbeda. Tetapi kita harus tetap bersama dan rukun.
Ucapan-ucapan seperti itu, sudah
lumrah muncul dari lisan kita, dan menjadi bagian dari kesadaran hidup kita.
Bila kita pergi ke tempat yang orang lain, secara naluriah, seusia dengan
imajinasi sosiologisnya sendiri, kita akan menunjukkan respon keruangan yang
berbeda. Kita akan duduk secara lebih santun di ruang tamu di rumah orang
lain, dibandingkan dengan duduk di ruang
tamu di rumah sendiri. sikap seperti itu, merupakan reaksi nyata dari imajinasi
geografis yang bersamaan hadir dengan imajinasi sosiologisnya.
Muncul dan berkembangnya imajinasi geografis itu adalah buah dari proses pembelajaran sosial (social learning) di lingkungan keluarga dan masyarakat. Setiap orang akan mengalami proses pembelajaran, baik langsung maupun tidak langsung mengenai pola pikir, sikap dan tindakan keruangannya sendiri.
Perkembangan selanjutnya,
imajinasi geografis ini akan hadir dalam diri seseorang pada saat dia akan melakukan tindakan keruangan.
Membuat rumah, misalnya. Sebelum rumah itu mewujud, seorang perencana, atau
pemilik rumahnya, akan menuturkan mengenai rencana keruangan dengan lahan yang
dimilikinya. Sebelum rumah itu mewujud, orang itu sudah memiliki imajinasi
sendiri mengenai rumah idamannya. Imajinasinya itu adalah imajinasi geografi,
mengenai keruangan, dan pola pemanfaatan dan pemaksimalan ruang dalam mencapai
tujuannya.
Kegagalan pembanguan rumah akan terjadi, bila perencana pembangunan tidak memiliki imajinasi geografis. Luas lahan yang dimiliki, dengan impian luas perumahan yang akan dibangun, harus terbentuk dalam imajinasinya terlebih dahulu sebelum mewujud menjadi sebuah bangunan rumah secara fisik.
Kendati kita memiliki tipe rumah di sebuah
kompleks, dengan tipe sama dan bentuk sama, akan memiliki imajinasi keruangan
yang berbeda. Ada orang yang mengartikan
rumah sekedar tempat tidur. Ada yang
mengartikan rumah sebagai identitas sosial. Ada yang mengartikan rumah sebagai
status sosial. Ada yang mergartikan rumah secara budaya, dan masih banyak lagi.
Semua itu menunjukkan bahwa setiap orang memiliki imajinasi geografi tersendiri
mengenai lokasi atau tempat tinggalnya.
Kluchohn memberikan bantua kepada kita untuk menjelaskan mengenai imajinasi geografi ini. Kendati analisis itu untuk kepentingan antropologi, tetapi analissi Kluchohn membantu kita dalam menjelaskan mengenai native cosmographies. Menurut pandangannya, setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki makna yang berbeda mengenai alam. Persepsi manusia tentang alam itu berbeda secara budaya. Ada yang mengartikan alam itu adalah berkuasa, dan ada yang menegaskan bahwa manusia lebih kuasa dibandingkan dengan alam.
Seorang petani menganggap bahwa
bertani tidak bisa dilakukan sepanjang belum turun hujan. Sikap ini menunjukkan
sikap fisis determnisme, atau alam dianggap lebih berkuasa atau lebih berdaya dibandingkan manusia.
sementara, petani yang posibilisme
akan memandang bahwa bertani bisa dilakukan, kendati hujan belum turun, yaitu
dengan cara membuat sistem irigasi yang
bisa mengalirkan air ke sawahnya. Setiap manusia memiliki imajinasinya
tersendiri mengenai ruang, tempat tinggalnya masing-masing. Bangunan, rumah
atau ruang yang lainnya adalah simbol.[3] Ada
perbedaan imajinasi mengenai World Trade Center bagi orang Amerika Serikat dan
Indonesia. Ada perbedaan antara Stadion Gelora Bung Karno dengan lapangan voly
di lingkungan desa. Imajinasi geografi
adalah persepsi dan kesadaran manusia, yang mendorong lahirnya sebuah tindakan
keruangan.
0 comments:
Posting Komentar