“rugilah kita, bila kita menolak
kebaikan. Abaikan motivasi pribadinya, karena sepanjang dia tahu posisi kita
dihadapannya, maka kebaikan yang dia lakukan kepadamu adalah hadiah Tuhan untukmu
melalui tangannya…”
Ini memang dilematis. Sebut saja, Puspa. Gadis
muda usia, yang kini menjalani profesi sebagai guru muda di sebuah SMA. Dalam
usia 23 tahunan ini, menjadi banyak perbincangan di ruang guru, dan juga di
dalam kelas.
Siswa laki-laki, sangat antusias bila belajar dengan Puspa. Dengan tubuh yang tidak jauh berbeda dengan para siswa, dan wajah yang menarik untuk ditatapnya, menyebabkan banyak siswa laki-laki betah belajar dan ‘berani menggodanya’.
Dilain pihak, siswa putri malah
mendapatkan kakak yang baik, dan bisa diajak curhat. Dengan wawasan yang luas,
dan juga kepribadian yang relative sudah dewasa, Puspa menjadi figure guru yang
menarik bagi siswa putri di sekolah itu.
Kepopularannya Puspa, tidak hanya di ruang kelas. Di ruang guru pun, banyak yang membincangkannya. Bukan penampilannya, bukan kegaulannya, tetapi, keherannya, karena sudah seusia itu, tampak seolah belum ‘ada tanda-tanda kedewasaannya’. Tidak ada tanda-tanda bahwa Puspa, akan masuk ke jenjang pelaminan. “jomblo abis…” itulah istilah anak muda sekarang ini.
Dilihat dari media social yang
dimilikinya, hampir tidak ada satupun foto atau dokumen pribadinya, yang
disertai dengan ‘calonnya’. Mungkin ada. Mungkin disembunyikan. Mungkin
berharap akan memberikan kejutan. Sehingga, sampai detik ini, masih tetap
dirahasiakannya.
“Pak, saya ini, tidak sanggup menerima kebaikan orang itu….”ungkapnya di suatu waktu. Sebagai orang yang mendengaranya, dan diajak bicara saat itu, saya merasa kaget. Mengapa hal itu bisa terlontar dari lisan rekan seprofesi ini.
“maksudnya, apa ?” saya balik
bertanya, “apakah ada kaitannya dengan seorang lelaki yang kini mulai hadir di
sekitarmu itu ?”
Mendengar pertanyaan balik itu, dia malah tersenyum. Agak lama tidak member komentar. Dia malah larak lirik ke kanan kiri, seolah melihat situasi di sekitarnya itu. Perbincangan yang hanya dilakukan di selasar sekolah atau koridor ruang guru, menjadikan keramaian yang tak terhindarkan.
“saya paham, saya sadar. Dia baik. Dia perhatian. Banyak kebaikan yang dia sudah berikan selama ini. Walau belum lama kenal, tetapi, semua itu membuatku sulit untuk melangkah…!”
Melihat kegelisahan yang cukup
kuat, dan bahkan terlihat mendalam, saya mulai paham terhadap situasi yang dia
rasakan saat itu. Saya sendiri, melihat rekanan baru di sekolah ini, hampir
seolah kurang nyaman dan betah di sekolah.
Muda belia, cantik, dan gaul.
Mudah dikenal dan banyak yang suka berbincang dengannya. Tak ayal lagi, bila memudahkan
banyak orang yang berkeinginan untuk kenal dan bersahabat dengannya.
“Puspa, kalau Puspa yakin pada diri sendiri sendiri, maka lakukanlah sesuai dengan keyakinanmu itu. Jika dia itu, lelaki yang sudah beristri, percayalah bahwa apa yang dilakukannya sekedar sendagurau belaka. Jika dia itu adalah siswa, yakinlah, itu hanya emosi anak kecil yang sifatnya sesaat. Tidak perlu direspon serius. Jika dia itu, memang masih muda, tetapi Puspa tidak berminat untuk menseriusinya, maka bicaralah baik-baik…” ungkapku padanya.
“tidak sesederhana itu,,,!”
ungkapnya lagi.
“bermain lebih dari sekedar
bermain. Menjadikan perempuan lain, disamping istrinya, memang menjadi trend
orang modern ini. Tetapi, bukankah Puspa, juga tahu batas dan kepatutan dalam
hidup…?”
“hal penting ingin dikemukakan di sini, kebaikan yang diberikan orang lain, janganlah ditolak, karena itu adalah kebaikannya kepada kita, tetapi kita tidak boleh memberikan harapan kosong kepadanya. Bicaralah dengan sebaik-baiknya, orang lain pun akan bersikap yang terbaik kepada kita….. “
“rugilah kita, bila kita menolak
kebaikan. Abaikan motivasi pribadinya, karena sepanjang dia tahu posisi kita
dihadapannya, maka kebaikan yang dia lakukan kepadamu adalah hadiah Tuhan untukmu
melalui tangannya…”
0 comments:
Posting Komentar