Jika dihadapkan pada
sejumlah kasus geografik, masalah nilai dan kebernilaian ini tidak dapat dengan
mudah dipahami. Kita akan merasakan ada sesuatu yang masih perlu untuk
dijelaskan secara berkelanjutan. Misalnya, apakah banjir, gunung meletus, atau
gempa bumi adalah satu peristiwa yang tidak bernilai ? atau malah, dapat disebut sebagai sesuatu yang
bernilai ? darimana kita bisa melihat dan menjelaskan hal-hal serupa ini.
Meminjam paparan yang dikemukakan Noah M. Lemos (Audi, 1999:948) kita dapat melihat adanya keragaman pemahaman mengenai hakikat keberadaan nilai.[1] Pertama, ada yang disebutnya nilai intrinsic (intrinsic value). Nilai itu hadir dalam dirinya, dan tidak ada kaitannya dengan pengaruh lain. Sesuatu disebut baik, karena dianggap mengandung kebaikan. Sifat jujur, rajin, kerja keras, kerja kelompok, dan berani adalah karakter pribadi yang mengandung nilai-nilai intrinsic. Pada perbuatan ini, kebaikan hadir dalam perbuatan itu sendiri.
Tanah yang subur, pemandangan yang indah, rumah yang bersih bisa
jadi dianggap sebagai salah satu dari sesuatu yang memiliki nilai intrinsic.
Setiap sesuatu, mengandung nilai. Nilai itu hadir dalam dirinya, dan akan tetap
ada dalam dirinya, kendapi pihak luar belum memahaminya. Sebelum demam “batu
akik”, sejumlah anggota masyarakat di Garut tidak bersifat ekonomis. Tetapi,
demam batu akik di awal tahun 2015 menyebabkan,
sejumlah Orang Garut ‘membisniskan’ batu yang ada di
sekitar rumahnya. Mereka mulai sadar,
bahwa batu yang ada di sekitar rumahnya, ternyata bernilai ekonomi tinggi.
Kedua, hujan akan disebut bernilai, jika menyebabkan tanah subur, dan disebut tidak bernilai jika kemudian menyebabkan bencana banjir. Gunung meletus disebut bernilai, jika menyebabkan perubahan kualitas tanah yang dilimpahi magma menjadi subur, dan magma atau lahar akan disebut tidak bernilai bila menyebabkan bencana kerusakan lingkungan.
Peristiwa-peristiwa yang
kita sebutkan tadi, merupakan pemahaman
bahwa sesuatu itu dianggap bernilai jika dan hanya jika memberikan kontribusi
pada hal lain. Pandangan ini, disebut instrumental value, dan merupakan kritik terhadap nilai
intrinsik.
Ketiga, bila kita hadir di suatu tempat wisata, misalnya, pengalaman, perasaan atau pemahaman diantara orang yang hadir di tempat wisata itu potensial berbeda. Satu pihak, ada yang menyebut tempat wisata itu indah, dan yang lainnya menyebutkan sebagai tempat yang kurang baik, atau malah ada yang menyebutnya membosankan. Bila demikian adanya, maka tempat wisata itu, bisa dikatakan tidak memiliki nilai intrinsic dihadapan para pengunjung.
Untuk menyebutkan kasus serupa ini, Noah M. Lemos menyebutnya
sebagai inherent value. Nilai inherent atau inherent value, “…if and only
if the experience, awareness, or contemplation of X is intrinsically valuable. If the
experience of a beautiful sunset is intrinsically valuable, then the beautiful
sunset has inherent value.”.
Peristiwa sunset yang indah, adalah sebuah nilai intrinsic, sedangkan
pengalaman kekaguman saat menikmati sunset adalah nilai inherent.
Keempat, relational value. Pasca reformasi, di Indonesia sempat ada pro dan kontra mengenai Undang-Undang Pornografi. Walaupun, pada akhirnya, UU itu disahkan oleh Pemerintah, namun masalah ini, dapat diajukan sebagai salah satu wacana yang terkait dengan masalah nilai.
Satu kelompok, memandang bahwa seorang perempuan yang tampil
dengan busana minim, dapat dikategorikan sebagai tindakan pornografi. Hal itu
terjadi, karena bisa merangsang birahi lawan jenis, dan kemudian memancing
perbuatan yang bertentangan dengan norma
agama.
Sementara kelompok lainnya, menegaskan bahwa kesantunan berbusana, akan sangat berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Khusus untuk masyarakat Papua, misalnya, ukuran kesantunannya berbeda dengan kelompok agama Islam, atau Hindu dan Kristen. Mereka memiliki ukuran kesantunan dan kepatutan berbusananya sendiri. Sehingga, bila mereka tampil menggunakan koteka-pun, adalah sesuatu hal yang wajar, dan tidak melanggar aturan.
Berdasarkan fakta itu, muncullah pemahaman, bahwa sesuatu
dianggap berharga, atau bernilai, jika dikaitkan dengan norma yang berlaku pada
masyarakat penganutnya. Kesadaran ini, disebutnya sebagai nilai relasionalistik
(relational value).
Berhadapan dengan hal tersebut, bagaimana geograf memandang adanya keragaman ukuran nilai ? adakah geografi memilih satu diantara mazhan pemikiran teori nilai tersebut, atau ada rumusan tersendiri ?
Dalam posisi wacana ini,
saya khususnya, memandang bahwa
pemahaman mengenai nilai dalam diri manusia itu tidak pasif, dan kaku.
Pemahaman mengenai nilai senantiasa
mengalami dinamikanya sendiri, baik dengan perkembangan pemikiran manusia,
maupun dengan konteks lingkungannya.
Sebagai disiplin ilmu yang berkepentingan untuk memetakan keragaman fenomena geosfera, maka tahapan pertama, adalah memahami, dan memaklumi adanya keragaman nilai yang berlaku pada setiap masyarakat. Ini adalah informasi geografi yang perlu dipahami bersama. Sebagai informasi pertama, atau pengetahuan generiknya, geografi memiliki kepentingan untuk memetakan keragaman pemahaman nilai pada masyarakat.
Dalam konteks
perkembangan itulah, maka ragam nilai yang dikemukakan sebelumnya itu, pada
dasarnya bukanlah sesuatu yang terpisah, dan saya tidak akan mengartikan
perbedaan mazhab teori nilai yang diskrit. Karena walau bagaimanapun juga, kebernilaian
sesuatu, akan hadir dalam porsinya masing-masing, dan hadir dalam kehidupan
manusia dalam kualitas yang berbeda.
Racun secara intrinsic sangat berbahaya. Tetapi, saat racun menjadi obat, menjadi sesuatu yang bernilai baik. Olahraga adalah aktivitas yang baik bagi kesehatan, tetapi saat berolahraga secara berlebihan, maka akan melahirkan dampak buruk bagi kesehatan. Oleh karena itu, dinamikanya kualitas nilai akan terus berjalan dan berkembang sesuatu waktu dan tempat.Meminjam teori Anthony Giddens, dalam konteks itulah, akan terjadi proses strukturasi, antara nilai dengan realitas dan pemikiran manusia. Dari proses strukturasi itu, maka keragaman mazhab nilai sebagaimana dikemukan sebelumnya, akan mengalami transformasi atau dinamikanya sendiri dalam kehidupan manusia. Itulah pola pikir, berdasarkan sudut pandang konteks keruangan (spatial context).
[1] Robert
Audi (general editor), The Cambridge
Dictionary of Philosophy, Cambridge : Cambridge University Press. 1999.
0 comments:
Posting Komentar