Aku
berdiri di tepi pantai. Batas antara daratan dan lautan. Bahkan, terasa baur
mengenai garis pemisahnya. Saat deburan
ombak, daratannya yang terseret. Saat surut, lautannyalah yang peras.
Aku
berdiri di tepi pantai. Saat hilap akan waktu. Saat hilap akan arah timur dan
barat. Matahari ada dibibir horizon. Hingga tak tersadarkan, apakah hari itu,
adalah pagi, atau sore. Apakah hari itu menjelang siang atau menjelang malam.
Hal yang kuingat pasti saat itu, sejumlah sahabat yang ada di sekitarku. Mereka tengah duduk. Bukan termenung. Melainkan tengah bercengkrama dengan suka hati. Hari itu, dikatakannya sebagai hari libur, sebuah momentum luang bagi pejabat karir.
Ku
Tanya sahabatku yang menjadi guru, “bagaimana kau membagi waktu antara anak di
rumah dengan anak di sekolah?” Dia menjawab. Professional, dan proporsional.
Aku tersenyum, dengan hormat, dan juga bangga. Walau kadang sedikit kecut
terhadap jawabannya.
Ku tahu. Seorang guru, begitu ikhlas dan penuh cinta, memberikan layanan profesinya kepada anak-anak. Guru karir, dengan ketulusan, kesabaran, dan penuh cinta, memberikan binaan, didikan, dan latihan kepada anak-anak yang dititipkan orangtuanya ke sekolah tersebut. Sedari pagi hingga sore. Lamanya waktu, tidak kurang dari 6 atau 8 jam.
Ku
tahu, ibu Karir itu datang ke rumah sore hari. Bertemu anak-anaknya sejak pukul
16.00, dan kemudian terpisah dengan anaknya, pukul 20.00 WIB. Anak-anaknya pun
kembali ke pembaringan, untuk melelapkan tubuhnya dalam buaian malam. Andaipun
mereka bertemu, hanya dua jam pagi
menjelang keberangkatan ke kantornya.
Anak-anak itu, diselimuti malam, dan melepas selimut kasih sayang orangtua. Delapan jam mendidik anak orang lain, adalah sebuah kemuliaan, dan hanya empat atau enam jam untuk anak sendiri, dianggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Ku
Tanya sahabatku yang menjadi pegawai kantoran. “Bagaimana kau membagi waktu,
antara anak di rumah dengan melayani masyarakat di kantoran ?” Dia menjawab,
professional dan proporsional, Aku hanya tersenyum dengan rasa hormat, dan juga
bangga. Walau kadang sedikit kecut terhadap jawabannya.
Ku tahu. Seorang pegawai kantoran, berangkat selepas terbit fajar dan pulang menjelang senja. Dengan sungguh hati, dan penuh konsentrasi, mereka melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan public di kantornya. Tidak ada layanan yang tidak memuaskan. Complain masyarakat, akan dijadikannya sebagai acuan untuk memperbaiki perilaku pegawai di keesokan harinya.
Ku
tahu. Seorang pegawai kantoran, datang ke rumah sore hari dan bertemu dengan
anak dan keluarga hanya memanfaatkan sisa waktu dan tenaga. Keluhan anak, bukan
sebuah koreksi, malah kadang berbuah omelan balikkan, sebagai anak yang tidak
mau mengerti lelahnya orangtua. Complain keluarga bukan sebagai teguran, malah
dianggapnya sebagai sebuah hardikkan, yang tidak jarang melahirkan pertengkaran
dalam keluarga.
Selepas senja. Anak-anak dan anggota keluarga pun, kemudian terlelap dalam selimut malam, sambil menelan sejumlah keluhan dan kekesalan. Mereka semua berharap, sejumlah keluhan dapat ditindaklanjutinya di keesokan harinya, walau kadang mereka pun tidak selamanya yakin, bahwa hal itu bisa terwujud sebagaimana mestinya.
Ku
Tanya sahabatku yang menjadi polisi, “bagaimana kau membagi waktu antara anak
di rumah dengan tugas mengamankan lalu lintas di jalanan ?”. Dia menjawab,
professional dan proporsional. Aku
tersenyum dengan hormat, dan juga bangga. Walau kadang sedikit kecut terhadap
jawabannya.
Ku tahu. Seorang petugas polisi, berangkat selepas matahari menyingsing, dan pulang menjelang matahari terbenam. Ada pula bahkan selepas matahari membenamkan diri dalam pelukan malam. Dengan gontai mereka melangkahkan kakinya, menuju pintu rumah keluarganya.
Datang
lemas, dan juga lelah. Di lemparnya sepatu, dan dijatuhkannya tubuh di kursi,
sambil berucap, “tolong bantu Ayah, ambilkan minuman.”, “tolong bantu Ibu,
ambilkan makanan..”. Dari balik pintu kamarnya, dengan wajah kusut, sang
anakpun, menyahutinya dengan langkah menuju tempat yang diinginkan orangtuanya.
Selepas itu, anakpun kembali ke pembaringannya, dan kemudian menenggelamkan diri dalam pelukan ratu malam. Hingga tak sadarkan diri, menjelang pagi, untuk kembali siap ke kegiatan yang kemarin sempat tertunda.
Bapak
polisi dan ibu polisi. Lalu lalang jalan raya, telah kau tertibkan. Lintasan
jalur telah kau atur dengan seksama. Sehingga semuanya dapat menikmati
kenyamanan dan juga kelancaran hidup berkendaraan di jalan raya.
Anak-anakmu, dan anggota keluargamu, berada di simpang jalan. Lalu lintas kasih sayangnya tidak beraturan. Lintasan hidupnya serabutan. Rambu lalu lintas kau pidatokan di jalanan, sedangkan di rumahmu, hampir tidak pernah kedengaran.
Mataku
berjalan ke sana kemari. Sejumlah sahabatku malah sebagian diantaranya ada yang
sudah pergi dari sampingku. Entah karena angin yang mulai menembus kulit, atau
karena mata mulai mengantuk.
Aku masih tertinggal di tepi pantai. Batas antara siang dan malam. Batas antara darat dan lautan. Batas antara dikerumuni teman dan ditinggalkannya. Batas antara cinta dan karir.
Aku
masih tertinggal di tepi pantai, dihardik sebagai orang yang tidak peduli pada
karir pasangan hidup. Di omel sebagai
orang yang tidak peka terhadap potensi pribadi karir.
Aku
dianggap pembenci pendidikan. Mengkritik guru, mengoreksi dunia pendidikan,
bahkan dianggapnya sebagai penghambat
pendidikan.
Sambil melihat deburan ombak. Aku malah hanya bisa tersenyum. Ombak itu kelihatannya menjulang ke atas, padahal tengah terjun ke bawah. Yang ku katakan itu, bukan membenci guru, malah ingin mengatakan, kembangkan cinta, saat menghadapi anak di sekolah, dan juga anak di rumah. Cinta itulah yang akan menjadi kunci karir pelaku pendidikan.
Aku
dianggap sebagai pembenci pegawai kantoran, yang terbaca sebagai orang
menghabiskan waktu di kantoran, dibandingkan di rumahan. Pegawai kantoran,
lebih bangga melayani orang lain, dan melupakan pelayanana kepada anggota
keluarga.
Sambil melihat deburan ombak. Aku malah hanya bisa tersenyum. Ombak itu kelihatannya menjulang ke atas, padahal tengah terjun ke bawah. Yang ku katakana itu, bukanlah membenci kerja kantoran, malah ingin mengatakan, kembangkan pelayanan prima kepada masyarakat dan juga kepada anak atau anggota keluarga di rumah. Pelayanan prima itulah, kunci kerukunan dalam keluarga.
Aku
dianggap sebagai pembeni polisi, orang yang pintar mengatur lalu lintas, tetapi
bodoh dalam menata lalulintas di rumah. Polisi lebih sedang menggunakan lisan
di jalanan, tetapi menggunakan pistol di rumahan.
Sambil melihat deburan ombak. Aku malah hanya bisa tersenyum. Ombak itu kelihatannya menjulang ke atas, padahal tengah terjun ke bawah. Yang ku katakana itu, bukanlah membenci polisi, tetapi berharap besar, menjaga lalu lintas hari, rumah tangga dan masyarakat. Itulah kunci dalam membangun ketertiban di masyarakat.
Mencintai karir
adalah kunci keberhasilan dalam hidup, dan tujuan dari karir bercinta adalah mencapai
kebahagiaan. Cintai karir, bukan karirnya bermain cinta !
0 comments:
Posting Komentar