Just another free Blogger theme

Minggu, 27 Maret 2016


http://www.bstsolo.co.id/wp-content/uploads/2015/07/Aku berdiri di tepi pantai. Batas antara daratan dan lautan. Bahkan, terasa baur mengenai garis pemisahnya.  Saat deburan ombak, daratannya yang terseret. Saat surut, lautannyalah yang peras.


Aku berdiri di tepi pantai. Saat hilap akan waktu. Saat hilap akan arah timur dan barat. Matahari ada dibibir horizon. Hingga tak tersadarkan, apakah hari itu, adalah pagi, atau sore. Apakah hari itu menjelang siang atau menjelang malam.
Hal yang  kuingat pasti saat itu, sejumlah sahabat yang ada di sekitarku. Mereka tengah duduk. Bukan termenung. Melainkan tengah bercengkrama dengan suka hati. Hari itu, dikatakannya sebagai hari libur, sebuah momentum luang bagi pejabat karir.
Ku Tanya sahabatku yang menjadi guru, “bagaimana kau membagi waktu antara anak di rumah dengan anak di sekolah?” Dia menjawab. Professional, dan proporsional. Aku tersenyum, dengan hormat, dan juga bangga. Walau kadang sedikit kecut terhadap jawabannya.
Ku tahu. Seorang guru, begitu ikhlas dan penuh cinta, memberikan layanan profesinya kepada anak-anak. Guru karir, dengan ketulusan, kesabaran, dan penuh cinta, memberikan binaan, didikan, dan latihan kepada anak-anak yang dititipkan orangtuanya ke sekolah tersebut. Sedari pagi hingga sore. Lamanya waktu, tidak kurang dari 6 atau 8 jam.
Ku tahu, ibu Karir itu datang ke rumah sore hari. Bertemu anak-anaknya sejak pukul 16.00, dan kemudian terpisah dengan anaknya, pukul 20.00 WIB. Anak-anaknya pun kembali ke pembaringan, untuk melelapkan tubuhnya dalam buaian malam. Andaipun mereka bertemu, hanya dua jam pagi  menjelang keberangkatan ke kantornya.
Anak-anak itu, diselimuti malam, dan melepas selimut kasih sayang  orangtua. Delapan jam mendidik anak orang lain, adalah sebuah  kemuliaan,  dan hanya empat atau enam jam untuk anak sendiri, dianggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Ku Tanya sahabatku yang menjadi pegawai kantoran. “Bagaimana kau membagi waktu, antara anak di rumah dengan melayani masyarakat di kantoran ?” Dia menjawab, professional dan proporsional, Aku hanya tersenyum dengan rasa hormat, dan juga bangga. Walau kadang sedikit kecut terhadap jawabannya.
Ku tahu. Seorang pegawai kantoran, berangkat selepas terbit fajar dan pulang menjelang senja. Dengan sungguh hati, dan penuh konsentrasi, mereka melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan public di kantornya. Tidak ada layanan yang tidak memuaskan. Complain masyarakat, akan dijadikannya sebagai acuan untuk memperbaiki perilaku pegawai di keesokan harinya.
Ku tahu. Seorang pegawai kantoran, datang ke rumah sore hari dan bertemu dengan anak dan keluarga hanya memanfaatkan sisa waktu dan tenaga. Keluhan anak, bukan sebuah koreksi, malah kadang berbuah omelan balikkan, sebagai anak yang tidak mau mengerti lelahnya orangtua. Complain keluarga bukan sebagai teguran, malah dianggapnya sebagai sebuah hardikkan, yang tidak jarang melahirkan pertengkaran dalam keluarga.
Selepas senja. Anak-anak dan anggota keluarga pun, kemudian terlelap dalam selimut malam, sambil menelan sejumlah keluhan dan kekesalan. Mereka semua berharap, sejumlah keluhan dapat ditindaklanjutinya di keesokan harinya, walau kadang mereka pun tidak selamanya yakin, bahwa hal itu bisa terwujud sebagaimana mestinya.
Ku Tanya sahabatku yang menjadi polisi, “bagaimana kau membagi waktu antara anak di rumah dengan tugas mengamankan lalu lintas di jalanan ?”. Dia menjawab, professional dan proporsional.  Aku tersenyum dengan hormat, dan juga bangga. Walau kadang sedikit kecut terhadap jawabannya.
Ku tahu. Seorang petugas polisi, berangkat selepas matahari menyingsing, dan pulang menjelang matahari terbenam. Ada pula bahkan selepas matahari membenamkan diri dalam pelukan malam.   Dengan gontai mereka melangkahkan kakinya, menuju pintu rumah keluarganya.
Datang lemas, dan juga lelah. Di lemparnya sepatu, dan dijatuhkannya tubuh di kursi, sambil berucap, “tolong bantu Ayah, ambilkan minuman.”, “tolong bantu Ibu, ambilkan makanan..”. Dari balik pintu kamarnya, dengan wajah kusut, sang anakpun, menyahutinya dengan langkah menuju tempat yang diinginkan orangtuanya.
Selepas itu, anakpun kembali ke pembaringannya, dan kemudian menenggelamkan diri dalam pelukan ratu malam. Hingga tak sadarkan diri, menjelang pagi, untuk kembali siap ke kegiatan yang kemarin sempat tertunda.
Bapak polisi dan ibu polisi. Lalu lalang jalan raya, telah kau tertibkan. Lintasan jalur telah kau atur dengan seksama. Sehingga semuanya dapat menikmati kenyamanan dan juga kelancaran hidup berkendaraan  di jalan raya.
Anak-anakmu, dan anggota keluargamu,  berada di simpang jalan. Lalu lintas kasih sayangnya tidak beraturan. Lintasan hidupnya serabutan.  Rambu lalu lintas kau pidatokan di jalanan, sedangkan di rumahmu, hampir tidak pernah kedengaran.
Mataku berjalan ke sana kemari. Sejumlah sahabatku malah sebagian diantaranya ada yang sudah pergi dari sampingku. Entah karena angin yang mulai menembus kulit, atau karena mata mulai mengantuk.
Aku masih tertinggal di tepi pantai. Batas antara siang dan malam. Batas antara darat dan lautan. Batas antara dikerumuni teman dan ditinggalkannya. Batas antara cinta dan karir.
Aku masih tertinggal di tepi pantai, dihardik sebagai orang yang tidak peduli pada karir pasangan hidup. Di omel  sebagai orang yang tidak peka terhadap potensi pribadi karir.
Aku dianggap pembenci pendidikan. Mengkritik guru, mengoreksi dunia pendidikan, bahkan dianggapnya sebagai  penghambat pendidikan.
Sambil melihat deburan ombak. Aku malah hanya bisa tersenyum. Ombak itu kelihatannya menjulang ke atas, padahal tengah terjun ke bawah. Yang ku katakan itu, bukan membenci  guru, malah ingin mengatakan, kembangkan cinta, saat menghadapi anak di sekolah, dan juga anak di rumah. Cinta itulah yang akan menjadi kunci karir pelaku pendidikan.
Aku dianggap sebagai pembenci pegawai kantoran, yang terbaca sebagai orang menghabiskan waktu di kantoran, dibandingkan di rumahan. Pegawai kantoran, lebih bangga melayani orang lain, dan melupakan pelayanana kepada anggota keluarga.
Sambil melihat deburan ombak. Aku malah hanya bisa tersenyum. Ombak itu kelihatannya menjulang ke atas, padahal tengah terjun ke bawah. Yang ku katakana itu, bukanlah membenci kerja kantoran, malah ingin mengatakan, kembangkan pelayanan prima kepada masyarakat dan juga kepada anak atau anggota keluarga di rumah. Pelayanan prima itulah, kunci kerukunan dalam keluarga.
Aku dianggap sebagai pembeni polisi, orang yang pintar mengatur lalu lintas, tetapi bodoh dalam menata lalulintas di rumah. Polisi lebih sedang menggunakan lisan di jalanan, tetapi menggunakan pistol di rumahan.
Sambil melihat deburan ombak. Aku malah hanya bisa tersenyum. Ombak itu kelihatannya menjulang ke atas, padahal tengah terjun ke bawah. Yang ku katakana itu, bukanlah membenci polisi, tetapi berharap besar, menjaga lalu lintas hari, rumah tangga dan masyarakat. Itulah kunci dalam membangun ketertiban di masyarakat.

Mencintai karir adalah kunci keberhasilan dalam hidup, dan  tujuan dari karir bercinta adalah mencapai kebahagiaan. Cintai karir, bukan karirnya bermain cinta !
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar