DI luar
faktor-faktor struktur sosial, terdapat
motif yang menyebabkan seseorang mengambil keputusan dalam menggunakan layanan
pengobatan alternatif. Motif inil kemudian menjadi satu kekuatan internal
individu untuk mencari, mengidentifikasi dan menemukan cara pemecahan masalah terhadap penyakit yang
dideritanya selama ini.
Dalam teori psikologi, Sunaryo (2004:141) menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan motif adalah suatu kekuatan dasar yang terdapat dalam diri
organisme, yang menyebabkan organisme itu bertindak atau berbuat untuk memenuhi
adanya kebutuhan agar tercapai keseimbangan (homestatis). Pada umumnya, motif
ini terkait dengan kebutuhan sosial. Sedangkan kekuatan dasar organisme yang
terkait dengan kebutuhan fisiologis/biologis,
menurut Sunaryo (2004:142)
disebut drive (dorongan).
Sebagai sebuah energi penggerak,motif memberi arah dan tujuan tentang sebuah perilaku manusia. Motif berkembang, karena adanya ketidakseimbangan (homestatis) dalam diri individu. Rasa lapar, rasa sakit adalah salah satu kondisi individu yang tidak seimbang. Kondisi ini dapat menumbuhkembangkan motif dalam diri individu. Dengan kata lain, motif dapat berkembang dari dalam diri (internal motif atau motif primer), dan ada pula yang bersumber dari faktor luar (ekseternal motif atau motif sekunder). Bahkan, jika merujuk pada pemikiran Ahmadi (Sunaryo, 2004:138) dapat dikatakan bahwa motif itu berkembang karena ada kebutuhan jasmaniah (biologis), kebutuhan sosial, dan kebutuhan teologis.
Refleksi dari pemikiran teoritik seperti itu, dapat
dikatakan bahwa akumulasi dari dorongan fisik, kognisi, psikologis, dan
sosial yang menyebabkan seseorang untuk
bertindak. Proses gerakakan, yang tersusun dari variasi kondisi individu dalam
mencapai kebutuhan atau keseimbangan hidupnya, kalangan psikologi menyebutnya
sebagai motivasi (Sunaryo, 2004:143). Dengan kata lain, dengan adanya motivasi
inilah, sebuah tindakan dapat terwujud.
Dalam konteks analisa strukturasi, motivasi itu bukan hanya ditentukan oleh kondisi internal, melainkan juga dipengaruhi oleh realitas sosial atau lingkungan. Implikasinya, maka yang disebut dengan prakteks sosial itu adalah aktualisasi dari motivasi dan pengaruh lingkungan secara bersamaan, yang melahirkan sebuah tindakan sosial.
Sejalan dengan analisa
tersebut, ditemukan bahwa perilaku responden dalam memanfaatkan layanan
pengobatan tradisional, diasumsikan dilandasi oleh satu motif tertentu. Dengan
adanya motif inilah, yang kemudian mendorong seseorang untuk mengambil
keputusan dalam memanfaatkan layanan pengobtaran tradisional.
Jika dalam subbahasan sebelumnya di kemukakan, kondisi struktur sosial masyarakat kota Bandung (responden) yang memanfaatkan layanan pengobatan tradisional itu dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu illness cognitives, risc manufactured, economic factor dan rationalization. Namun dibalik keragaman tersebut, ditemukan ada satu motif dasar yang menjadi penyebab pengambilan keputusan pemanfaatan layanan pengobatan tradisional.
Imas (usia 23 tahun) yang menderita bronchitis
(paru-paru) selama 12 tahun, Mulya (usia 24 tahun) yang menderita kanker selama
4 tahun, Munar (usia 45 tahun) yang menderita maag selama 20 tahun, adalah
sebagian responden yang menyatakan dengan tegas bahwa alasan menggunakan
alternatif, karena alasan “ingin sembuh”. Dalam pikiran responden saat itu,
tidak ada pertimbangan lain yang lebih krusial dan lebih kuat, selain keinginan
dan kebutuhannya untuk sembuh.
Kendatipun orang lain mengatakan bahwa pengobatan tradisional itu tidal ilmiah, tradisional, tidak masuk akal, bahkan pelaku pengobatannya tidak terlatih namun hanya sekedar hasil pengalaman atau warisan dari orang tuanya, bagi responden itu bukan menjadi penghalang. Dalam pandangan responden, untuk sebuah ikhtiar demi kesembuhan, maka apapun dapat dilakukan. Motiv ingin sembuh inilah, yang kemudian menjadi pendorong perilaku sakit dari responden dalam memanfaatkan layanan pengobatan alternatif .
Seperti yang dikemukakan Soekadidjo Notoatmodjo (2003),
pengambilan keputusan untuk obat dan model pengobatan, merupakan salah satu
bentuk perilaku sakit dari pasien untuk mencapai keseimbangan psikologis, sosial dan
keseimbangan fisiknya. Secara psikologis, orang yang sakit mengalami
ketergangguan kebugaran dan keleluasaan gerak, secara fisik orang yang sakit
akan merasa ada yang cacat, dan secara sosial orang yang sakit tidak mampu
melakukan tindakan sosial seperti halnya orang lain. Orang yang sakit, sangat
terganggu gerak sosialnya, baik untuk keperluan bicara, gerak langkah maupun
untuk bekerja. Dari kondisi serba keterbatasan inilah, maka kebutuhan untuk
mencapai homeostatiknya, seorang pasien (responden) berusaha keras untuk
mencari upaya untuk mengembalikan keseimbangan.
Perkembangan motf ingin sembuh dalam diri responden, bukan –hanya-- sesuatu hal yang given dalam dirinya. Atau lebih jelasnya, motif ingin sembuh bukan hanya disebabkan oleh motiv intrinsic. Temuan penelitian ini, memberikan informasi bahwa motif ingin sembuh adalah motif yang muncul akibat adanya dialektika antara motif tak sadar dan discursus yang dimiliki oleh responden, yang kemudian melahirkan sebuah tindakan praktis yang dilakukannya.
Responden yang tidak
memiliki keyakinan bahwa penyakit bisa disembuhkan, atau malahan menganggap
sebagai sebuah musibah yang sudah menjadi takdir bagi dirinya untuk hidup dengan penderitaan, maka motif ingin
sembuhnya menjadi lemah, dan cenderung mengambil posisi yang fatalis. Berdasarkan penuturan Tuti (24 tahun),
kakeknya yang berusia 67 tahun menderita penyakit jantung, pada mulanya tidak
mau berobat ke alternatif dengan alasan
bahwa penyakit yang dideritanya itu adalah nasib yang harus diterimanya sebagai
akibat ulahnya sendiri di masa muda. Kakek Tuti ini bersikukuh, bahwa penyakitnya tidak akan sembuh, dan bila dia berobat, hanya akan menghabis-habiskan
biaya saja. Sehingga, kerap sang kakek menolak ajakan dari anak cucunya untuk
berobat. Namun demikian, sebagai
cucunya, Tuti berusaha keras untuk memberikan pemahaman dan kesadaran mengenai
sakit dan penyakit, dan kemungkinan bisa tersembuhkannya. Bahkan, menurut
penuturan Tuti, sempat pula dia menceritakan kepadanya tentang fungsi manusia
di dunia ini, yaitu untuk berusaha (ikhtiar). Akhirnya, dengan
memperhatikan keyakinan anak cucunya, sang kakek mau menerima saran anak
cucunya untuk berusaha untuk berobat ke alternatif, dengan harapan
‘mudah-mudahan penyakitnya bisa disembuhkan’.
Pada konteks tersebut, sangat jelas bahwa keyakinan individu atau persepsi individu terhadap ‘sakit’ dan ‘penyakit’ yang dideritanya, menyebabkan kualitas motif ingin sembuh yang dimilikinya. Dan munculnya motif ingin sembuh kakek Tuti, muncul karena adanya penjelasan persuasive dan argumentatifnya dari anak cucunya.
Lain lagi dengan pengakuan Daji (42 tahun) yang menderita
maag selama 8 tahun. Sebagai seorang ustad dan guru Fisika pada sebuah SLTP di
Kota Bandung, Daji memiliki keyakinan yang kuat terhadap maksud Tuhan
memberikan ujian kepada manusia. Responden ini mengatakan dengan penuh
keyakinan bahwa “Tuhan tidak menurunkan penyakit, kecuali dengan obatnya”.
Keyakinan inilah yang selama ini menjadi keyakinan dan pegangan hidup dirinya
selama ini. Maka, dengan penuh keyakinan, dia berusaha untuk mencari berbagai
alternatif cara pengobatan untuk menyembuhkan penyakitnya. Dalam jiwanya tumbuh
moti ingin sembuh, karena dia yakin ada obatnya, sebagaimana yang diyakininya
dari pemahamannya terhadap ajaran agamanya (Islam). Hanya saja, memang manusia
bertugas untuk ikhtiar mencari cara dan upaya penyembuhan. Oleh karena itu,
dalam pandangan responden, ke pengobatan alternatif adalah salah satu wujud ikhtiar dalam
menemukan obat sebagaimana dijanjikan Tuhan kepada manusia, bahwa setiap
penyakit ada obatnya. Keyakinan inilah yang menjadi dasar, tingginya motif
ingin sembuh dalam diri Daji. Peran keyakinan
(fait factor) dalam meningkatkan kesehatan dan proses
penyembuhan, secara luas dikemukakan oleh Benson dan Proctor (2000).
Sulistijo Atmodjo usia 44 tahun (2001:118), menderita sakit yang tidak terdeteksi oleh kalangan medis. Namun gejalanya yaitu tekanan darah tinggi, dan adanya kerak dalam dinding usus sehingga terasa sesak napas. Bahkan akibat kekurangan kalsium dan garam, menyebabkan jari dan kakinya kadang-kadang kejang dan kaku. Namun, karena melihat figur ayah yang berusia 62 tahun masih terlihat bugar, sehat dan lancar dalam melancarkan bisnisnya, serta hidup penuh semangat, maka dalam diri Sulistijo tumbuh keinginan untuk sembuh. Dengan adanya ‘keirian’ terhadap kondisi kesehatan ayah, Sulistijo terpengaruh untuk mengikuti pola hidup dan saran dari ayahnya. Salah satu diantaranya, adalah disarankannya untuk mengurangi berat badan.
Dalam kasus Sulistijo Atmodjo tersebut, motif ingin sembuh
muncul dan berkembang karena ada rangsangan dari
luar, khususunya yaitu figur ayahnya yang masih memiliki kemampuan dalam
menjalankan aktivitas sosial dan ekonomi secara baik. Perspesi yang diterima
dari hasil pengamatan terhadap orang lain itulah, yang merupakan faktor
eksternal yang menumbuhkan motif ingin sembuh dalam diri Sulistijo.
Berdasarkan informasi dari responden tersebut, dapat
dirumuskan beberapa simpulan penelitian mengenai moti ingin sembuh ini.
Merujuk pada informasi yang tersedia, dapat dikatakan bahwa
tindak perilaku sakit seseorang dipengaruhi oleh motif ingin sembuh yang tumbuh dalam diri
pasien. Motif ingin sembuh adalah
motif dasar seseorang yang sedang sakit,
untuk mencari keseimbangan psikis, fisik dan sosialnya. Motif ingin sembuh
seseorang muncul dan berkembang sebagai aksentuasi dari adanya motif tidak
sadar dan discursus dengan lingkungannya,, sehingga memunculkan sebuah motivasi
yang kuat dalam dirinya untuk berusaha mencari upaya-upaya penyembuhan terhadap
penyakit yang sedang dideritanya.
Untuk kepentingan teoritisasi, motif ingin sembuh ini, perlu dibedakan dalam dua kategori. Hal demikian, dikaitkan dengan teoriti perilaku kesehatan (health behavioral) sebagaimana dikembangkan oleh ilmu kesehatan.
Pertama, motif ingin sembuh. Motif ini muncul dari orang yang
sedang menderita suatu penyakit. Motif ini dapat disebut, motif dasar dari perilaku sakit (ill
behaviour) seseorang. Orang yang ingin sembuh, mempersepsikan dirinya
sedang sakit, dan berusaha untuk mencapai kesembuhan.
Kedua, berbeda dengan motif ingin sembuh, ada gejala yang muncul dari informasi responden itu, yaitu motif ingin sehat. Motif ingin sehat, muncul dan berkembang bukan bagian dari perilaku sakit, tetapi motif dasar dari perilaku sehat. Motif ingin sehat adalah motif yang muncul dan berkembang dalam diri orang yang mempersepsikan dirinya dalam keadaan sehat.
Dengan pembedaan kategorial
seperti itu, maka dapat dibedakan antara motif dasar seorang yang sedang sakit,
dan orang yang dalam keadaan sehat. pada sekala yang lebih luasnya, kedua motif
tersebut, dalam penelitian ini disebut
dengan kebutuhan untuk sehat atau need for health (nHel).
Berdasarkan kategorisasi seperti ini, maka kebutuhan ingin sehat (nHel) adalah konsepsi dasar dari perilaku seseorang dalam memberikan respon terhadap kondisi dirinya, memerankan perilaku sehatnya dan atau melakukan praktek sosial dalam pemanfaatan layanan kesehatan.
Analisa ini berbeda dengan
pemikiran ranah kebutuhan dari Abraham Maslow (Sunaryo, 2004:139). Setiap
orang, menurut Maslow memiliki kebutuhan fisiologis, misalnya makan, dan
kebutuhan seksual. Dalam konteks ini, kebutuhan untuk sehat, bukan hanya
membicarakan –misalnya-- makan apa, tetapi lebih dari itu mengedepankan masalah
‘makanan mana yang sehat ?”
Imas (24 tahun) mengatakan
dengan tegas, bahwa bertahannya rasa sakit dalam dirinya, salah satu
penyebabnya adalah dirinya tidak mau disiplin dalam soal makanan, sehingga
kerap melanggar peraturan yang ditentukan oleh dokter atau tabib. Hal demikian
dialami pula oleh Mulyani (24 tahun). Dengan kata lain, kedua responden ini
lebih kuat kebutuhan fisiologisnya, dibandingkan dengan nHel, sehingga
mengabaikan kebutuhannya untuk sembuh.
Fenomena tersebut, memberikan gambaran bahwa nafsu makan yang tinggi, dalam perspektif Maslow merupakan wujud dari kebutuhan fisiologis bisa. Tetapi, dalam perspektif nHel, pola makan yang tidak tepat, akan menyebabkan malnutrisi atau munculnya berbagai penyakit dalam dirinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk makan (pandangan Maslow), namun tidak semua manusia memiliki kesadaran untuk mampu memilah dan memilih jenis makanan yang cocok untuk menjaga kesehatannya. Hanya mereka yang sadar, dan memiliki motif sehat sajalah, yang mampu menunjukkan pengambilan keputusan perilaku sehat dalam memilih makanan sehat. Inilah yang disebut dengan nHel, yang berbeda dengan ranah kebutuhan fisiologis sebagaimana dikemukakan Maslow.
Kebutuhan merokok
bagi sebagian kalangan orang, menganggap sebagai kebutuhan fisiologis yang ‘setara dengan
kebutuhan makan’. Kelompok perokok ini, banyak yang mengetahui akibat dari
merokok. Namun, karena libido fisiologisnya yang tinggi dibandingkan kebutuhan untuk sehat, maka
mereka menanggap tidak bisa (atau tidak
mungkin) meninggalkan rokok. Perilaku
seks bebas, atau liberalisasi keintiman
manusia, merupakan respon manusia terhadap kebutuhan fisiologis. Sehingga
muncul perlaku heterseksaul dan homoseksual. Para pelaku, melupakan kebutuhan untuk dalam seks, sehingga lahirnya mewabahnya
penyakit AIDS yang disebabkan karena hubungan seksual yang bebas. Gejala sosial
seperti ini memberikan gambaran bahwa kebutuhan fisiologis (libido seksual)
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan untuk sehat, menyebabkan
masyarakat modern terjangkit wabah AIDS.
0 comments:
Posting Komentar