Kritis bukan demo, dan demo tidak
selamanya kritis. tetapi, alergi dengan salah satu bentuk ekspresi
demokratis dan kritis, merupakan bentuk kesalahpahaman fatal bagi
seorang mahasiswa.
Bagaimana menurut pembaca ?"Ya, lumayan Pak, daripada demo...." ungkapnya dengan penuh rasa bangga. Dia, katakan seperti itu, dalam posisi sebagai salah satu mahasiswa di Kota Bandung, saat menawarkan produk jualan caira berbotol ke madrasah ini.
Sebagai bagian dari lembaga pendidikan ini, dan memiliki kewenangan untuk mengawangi proses pembelajaran di dalam kelas, sudah tentu, tidak semudah yang dibayangkan oleh mahasiswa itu untuk mendapatkan kesempatan promosi di madrasah ini."apa nilai pendidikannya bagi anak-anak kami...?"
"pendidikan kewirausahaan. Kami akan memberikan pencerahan kepada mereka untuk bisa berwirausaha. salah satu diantaranya dengan terlibat dalam kegiatan produk kami..."Mendengar paparan itu, saya sedikit mengkernyitkan dahi. Maklum. Sudah tua, jadi agak susah untuk memahami sesuatu yang dijelaskan secara berbunga-bunga. "memangnya, pendidikan kewirausahaan apa ? produk apa yang akan dibelajarkan kepada anak-anak kami?"
"kami akan mempromosikan produk kami...?""produk yang mana ?" pikirku. Sesaat agak kaget. Karena, sang Mahasiswa itu, hanya membawa sebuah produk cairan berbotol dengan merk yang sudah familiar di mata dan lisan masyarakat. "bukankah brand itu sudah ada, apa yang dimaksud dengan produk dari mahasiswa tersebut?"
"iya, kami memiliki sejumlah produk. Selain yang ini, ada juga produk-produk yang lainnya..." ungkapnya."wah, kalau begitu mah, bukan produk mahasiswa kali. tapi, mahasiswa jadi distributor dari produsen yang lain..." bantahku...
"ya., ini juga lagi belajar Pak. Belajar wirausaha.." kilahnya, "Ya, lumayan daripada demo.."Mendengar komentar itu, sontak saja, emosi ini menguat. Untuk tidak menyebut mendidih dan tersinggung dengan pertanyaan itu. Namun, karena dalam situsi yang tidak jelas posisinya, akhirnya pikiran yang bermaksud hendak marah ini, malah melemah lagi.
"lha...kok gitu.. Jangan salah paham lho.. salah satu kekuatan mahasiswa itu, adalah sikap kritis. salah satu bentuk nyata dari sikap kritis adalah demo.." bantahku."buat apa, apa manfaatnya demo?.." jawabnya lagi, "mendingan usaha ada manfaatnya bagi kita..."
-o0o-
Saya tidak akan melanjutkan dialog dengan mahasiswa tersebut. Saya pikir, kendati tidak dilanjutkan pun, gagasan pokok dari mahasiswa itu sudah jelas.
Pertama, dia memandang bahwa berbisnis adalah cara terbaik dibandingkan demo. Ini adalah pikiran dari mahasiswa tersebut.
Kedua, ada persepsi yang kurang tepat mengenai demo. akibat salah paham itu, kemudian menyebabkan ada sebagian mahasiswa yang antipati atau alergi dengan demo. bisa jadi, bukan salah mahasiswa tadi, melainkan adanya kesalahan dari aktivias mahasiwa dalam mengekspresikan perjuangannya.
terakhir, hal yang paling mengkhawatirkan, salah paham terhadap sejarah. Negeri ini, lahir dari kontribusi mahasiswa (aktivis). Sikap kritis mahasiswa itulah, yang memberikan sumbangan besar terhadap perubahan bangsa ini. Dengan kata lain, jika mahasiwa sudah kehilangan kekriisannya, maka nasib bangsa ini akan sulit diprediksi...
Suatu hari, jalan-jalan di pelosok kota Bandung. Kemudian, terjebak pada rangkaian perumahan yang konon akan kena gusur oleh sebuah projek. Tidak kaget, kalau ada perumahan rakyat yang kena gusur. itu adalah hal biasa di negeri kita ini. Namun, saat membaca sebuah teks, "kemana mahasiswa, saat rumah-rumah kami kena gusur?" sebuah tulisan, yang entah kapan ditulisnya, masih terpampang hingga saat ini.
Membaca teks serupa itu. saya hanya terdiam. Ingatan masa mahasiswa dulu, terbayang, tapi hanya bisa membayangkan saja.
Kritis bukan demo, dan demo tidak selamanya kritis. tetapi, alergi dengan salah satu bentuk ekspresi demokratis dan kritis, merupakan bentuk kesalahpahaman fatal bagi seorang mahasiswa.
Bagaimana menurut pembaca ?
0 comments:
Posting Komentar