Just another free Blogger theme

Senin, 09 Desember 2019


Hasil gambar untuk siapa aku"Seiring perkembangan zaman, identitas manusia mulai terkuak. Satu persatu, identitas diri kita, sebagai manusia mulai terbaca, terpahami, terpetakan, dan dapat dijelaskan secara kritis.  Beragam sudut pandang dan analisis, mengemuka ke permukaan, dan kemudian memberi gambaran umum mengenai karakter dari identitas manusia saat ini.

Manusia sempat disebut makhluk yang penuh misteri. IDentitas dirinya dan karakter dirinya, sulit dipetakan dan dijelaskan. Kendati demikian, terus saja memancing kepenasaran banyak pihak dan banyak disiplin ilmu untuk mengkajinya. Hingga pada akhirnya, kemudian melahirkan ragam sudut pandang atau paradigm keilmuan yang menjelaskan manusia dan hakikat manusia.
Dalam kepustakaan kita, ada gerak perkembangan pemikiran tentang manusia. Pertama, manusia lebih dianggap sebagai bagian dari alam. Pemahaman ini, dapat disederhanakan bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam. Bahkan, menurut Peursen (1988:81) kehidupan psikis manusia primitif, diproyeksikan ke dalam benda-benda mati dan dengan demikian sampai pada anggapan bahwa dunia  di sekitarnya memiliki jiwa[1].
Variasi pemikiran yang serbatunggal ini, ada yang berbentuk monisme dan pantheisme. Spinoza, (Wulf, Pedersen, dan Rosenberg, 2007:341) adalah tokoh pemikir modern yang mengembangkan paham monisme, sekaligus menjadi kritik terhadap paham dualisme[2]. Pandangan monisme, menganggap bahwa ruh (dewa) ada dalam alam, dan antara yang mengadakan dan diadakan adalah identik. Kemudian ada yang juga mengedepankan paham pantheistik, artinya ruh ada dalam alam. Dalam pandangan ini, dewa bukan saja memenuhi atau meresapi alam, tetapi ia pun melebihinya[3].
Implikasi pemahaman dan kesadaran ini, maka praktek kesehatan yang dilakukan atau yang berkembang di lingkungan masyarakat tradisional (primitif) lebih mengarah pada teori personalistik. Pada teori ini, menurut Anderson/Foster, yaitu menganggap bahwa kualitas kesehatan seseorang dipengaruhi atau mempengaruhi alam. Alam atau makhluk (ghaib) yang lain, kerap dijadikan ’oknum tertuduh’ sebagai penyebab menurunnya kualitas kesehatan seseorang.
Kedua, muncul pemikiran dualisme manusia. Descartes (1596-1650) adalah tokoh utama yang memisahkan antara jiwa dan tubuh. Pemikir yang dikenal sebagai filosof modern ini, mempertentangkan antara rohani dan jasmani. Jiwa adalah sesuatu yang tidak bisa dibagi, sedangkan jasmani adalah sesuatu yang bisa dibagi. Tubuh diibaratkan sebagai mesin tanpa jiwa, sedangkan jiwa adalah substansi yang ditandai dengan adanya aktivitas berfikir atau merasa.
Pemikiran inilah yang kemudian berkembang dan banyak dianut oleh ahli kesehatan modern. Ilmu kedokteran modern,kerap dianggap sebagai ilmu-mesin manusia, dan memosisikan manusia sebagai mesin, sedangkan dokter dianggapnya sebagai montir yang memperbaiki kerusakan  mesin. Maka tidak mengherankan, bila kemudian, ilmu kedokteran pun lebih dianggap sebagai ilmu eksakta (natural science), daripada sebagai ilmu manusia. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman kelompok tersebut, lebih mengarah pada pemahaman dualisme descartesian, atau menganggap tubuh manusia sebagai mesin.
Ketiga,  protes terhadap pemahaman dualisme ini terus mengalir dan hidup sampai sekarang. Silang sengketa pemikiran mengenai eksistensi manusia ini, kemudian merenggang menjadi dua arus pemikiran yang lainnya. Pada satu sisi, ada yang berfikiran dengan serba-materi, dan pada sisi lain serbaspiritual.
Kelompok serbazat (serbamateri) atau materialisme, menganggap bahwa  materi (zat) dan sifat yang ditimbulkannya hakekat dari pada kenyataan yang beranekaragam. Materialismo menganggap bahwa segala keadaan dan kejaian, ahíla keadaan dan kejaina yang langsung dari pada  materi. Pandangan ini menurut Peursen adalah bentuk dari pandangan yang tidak berimbang, sebab mereka menganggap bahwa aspek rohani manusia sebagai produk sampingan dari aspek jasmani.
Lawan dari materialisme adalah spiritualisme, atau meminjam istilah Sutan Takdir Alisyahbana yaitu  serbaspiri).  Dalam pandangan ini, hakikat kenyataan yang serbaragam dan rupa itu terjadi dari roh, sukma, budi atau yang sejenis dengan itu. Pendeknya seustu yang tiada berbentuk, yiada mkenempati ruang. Menurut pandangan spiritualisme, materi atau zat hanya suatu jenis daripada penjelmaan roh.
Fichte (Sutan Takdir Alisyahbana, 1981:39) mengatakan, “budi itu ialah satu-satunya keadaaan dan hidup mungkin ada, yang bergantung kepada dirinya sendiri, dan yang memikul dirinya sendiri. Segala sesuatu yang lain yang rupanya ada dan hidup, hanyalah sesuatu jenis, sesuatu perupaaan, sesuatu perubahan dan sesuatu penjelmaan daripadanya.”
Keempat, manusia sebagai makhluk multidimensi. Murtadho Muthahhari (1992),menyebut manusia sebagai multidimensi.[4] Dalam diri manusia, ada dimensi pribadi, social dan sebagai makhluk berketuhanan. Manusia adalah makluk yang tumbuhkembang secara unik dengan karakternya sendiri. Oleh karena itu, manusia tidak bisa disederhanakan pada aspek fisik, atau jiwa belaka. Bahkan, manusia pun tidak bisa hanya dianggap makhluk berketuhanan, karena manusia memiliki konteks pribadi dan sosial.
Walaupun mungkin, dari perjalanan seperti ini, kemudian melahirkan Pertanyaan, apakah identitas manusia ini semakin jelas, atau semakin kompleks ? bersifat evolustif-linear atau sporadic-beragam ?
Siapa diri Anda ? adalah sebuah Pertanyaan klasik, yang harus terus dikaji. Sebab, meminjam pandangan Ukleja dan Lorber, jika kita tidak sanggup atau tidak mau mendefinisikan diri kiat sendiri, maka orang lain akan mendefinisikannya. [5] Pernyataan ini, senada dengan filosofi, bahwa jika kita tidak mau membentuk karakter sendiri, maka lingkunganlah yang akan membentuk karakter diri kita.
Untuk kepentingan inilah, ada satu kebutuhan mendesak bagi kita untuk menjelaskan mengenai identitas manusia ini, dengan harapan dapat memberikan landasan umum untuk perkembangan kajian selanjutnya.


[1] C. Anthonio van Peursen. 1988. Tubuh, Jiwa, Roh : Sebuah Pengantar dalam Filsafat Manusia. Penerjemah K Bertens. Jogjakarta :BPK Mulia.
[2] Henrik R. Wulf, Stig Andur Pedersen, dan Raben Rosenberg. 2007. Filsafat Kedokteran : Suatu Pengantar. Jogjakarta: Palmall. Penerjemah Saut Pasaribu.hal 341
[3] Sutan Takdir Alisyahbana. 1981. Pembimbing Ke Filsafat. Jakarta : Dian Rakyat.
[4] Murtadho Muthahhari. Masyarakat dan Sejarah. Bandung : Mizan.  1992 : 15.
[5] Mick Ukleja and Robert L. Lorber, Who Are You? What Do You Want? : Four Questions That Will Change Your Life.  New York : A Perigee Book (Penguin Group), 2009. Hal. 32.

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar