Sebagaimana diketahui
bersama, di jaman Orde Baru, bahasa politik para pejabat publik kerap tidak seimbang.
Kalau mengkritik orang lain, menggunakan pendekatan pengerasan bahasa bahkan
sarkasme, sedangkan bila menceritakan tindakan dirinya kerap menggunakan
pelembutan bahasa. Sehingga tidak mengherankan bila ada yang protes terhadap
kebijakan pemerintah, disebutnya sebagai anti pemerintah, tidak nasionalis, dan
tidak mendukung pembangunan. Bahkan, yang melakukan kritik kepada pemerintah
disebutnya teroris atau anti kestabilan. Sedangkan, bila terkait dengan tindakan
pemerintah dalam mengamankan kebijakannya,
pemerintah kerap menggunakan bahasa yang halus atau lembut (pleonasme). Kenaikan BBM disebut
penyesuaian, penangkapan tersangka disebut diamankan.
Penyakit inilah, yang kita sebut penyakit orde baru masih teridap dalam diri kita saat ini.
Pada sisi lain, mungkin
ini adalah kehebatan masyarakat kita (lebih jelasnya lagi, pejabat kita) dalam
memproduksi sebuah kata guna mendeskripsikan perilaku politik dirinya dihadapan
masyarakat. Namun demikian, publik saat itu, sudah bukan lagi publik orde baru
yang menjadi masyarakat yang pasif atau
pendiam (silent majority). Sedikit
saja kepentingan masyarakat tergores,
maka reaksi dan resistensi masyarakat terhadap perilaku politik atau perilaku
aparat akan semakin menguat.
Ucapan terima kasih,
adalah sebuah kesadaran personal terhadap pihak lain. Dan kesadaran ini
merupakan sebuah kesadaran tulus yang muncul dari jiwa atas adanya kebaikan
pihak lain yang diterima oleh dirinya. Tetapi kemudian, kenapa menjadi
sesuatu hal yang negatif dalam masyarakat kita ?
Tindakan
keberterimakasihan, secara normatif merupakan sebuah reaksi psikologis,
emosional dari dalam diri. Tindakan ini bukan sebuah tindakan yang terstruktur
secara formal, disebabkan karena adanya keterpaksanaan, atau ditunggangi oleh unsur
kepentingan.
Menjelang
lebaran ini, ucapan terimakasih akan banyak bermunculan di masyarakat. Untuk
sekedar mengingatkan, parcel adalah contoh lain dari ucapan terima kasih.
Bahkan parcel adalah bentuk nyata dari rasa penghormatan, penghargaan, dan
usaha untuk membangun kebersamaan. Namun kemudian, ternyata budaya
parcel pun dikukuntit
(ditunggangi) oleh kepentingan politik
atau kepentingan ekonomi si pemberinya. Ngasih parcel, karena adanya ’mau’nya.
Ketika
bertemu dengan sahabat penulis yang menjadi guru di salah satu SMP di Kota
Bandung, dia bercerita bahwa bila datang musim pembagian buku raport (buku laporan), seorang wali
kelas biasanya mendapatkan hadiah yang cukup banyak dari orangtuanya. Ada yang
memberi kue, baju, buku, vandel atau bentuk kenangan yang lainnya. Alibi
orang tua murid saat itu adalah sekedar ucapan terimakasih.
Menunjukkan
tanda keberterimakasihan dengan bentuk material, adalah tidak ada salah. Bahkan
mungkin itu adalah salah satu kreasi budaya hidup bermasyarakat di lingkungan kita.
Namun demikian, bila ucapan terima kasih diberikan sebelum lahirnya sebuah
kebijakan, maka nilai ucapan terimakasih tersebut akan memiliki makna yang
berbeda.
Suap,
adalah oknum yang membuat rusaknya sistem birokrasi di Indonesia. Dengan
lihainya politisi dan aparat Orde Baru (sekedar menunjuk saja, karena bisa jadi
aparat sekarang pun masih melakukan perbuatan ini !!) mengatakan bahwa
pemberian itu adalah hanya sekedar ucapan terima kasih. Tetapi, akankah sebuah
ucapan terimakasih akan bermuatan netral, sosial dan tulus tanpa ditunggangi
kepentingan lain, di saat pemberian ucapan terima kasih itu dilakukan di
sebelum kebijakan publik itu dilakukan ?
Dalam
konteks ini, kasus percaloan di DPR harus diusut sampai tuntas. Kendatipun Irma H salah satu anggota DPR,
mengatakan bahwa dirinya hanya menjadi mediator, dan kemudian hanya mendapatkan
ucapatan terima kasih saja. Tidak lebih
dari itu.
Publik
tidak mau melihat pemerintah kecolongan untuk yang kesekian kalinya. Kita semua
berharap, pihak kejaksaan ataupun para penegak hukum tidak melandaskan status
nilai hukum hanya dari sebuah istilah yang digunakan, melainakn dari sisi
substansi. Artinya, apapun pernyataannya, baik itu ucapan terima kasih,
kesalahan prosedur, kekhilafan, di bawah
kendali, ataupun menggunakan kata ’tidak ada perintah formal dari lembaga’,
para penegak hukum tidak boleh surut dalam
menuntaskan pengusutan masalah ini.
Kasus
yang lain, yang mencuat di bulan suci
Ramadhan ini adalah pemotongan rapel capeg (calon pegawai) sebesar Rp. 250.000
untuk golongan II, dan Rp. 400.000 untuk golongan III, yang memantik kasus
tersebut mencuat ke permukaan. Kasus ini terjadi di lingkungan Depag Kota
Bandung. Menurut tuturan media massa (PR, 17/18 Oktober) kejadian yang
sesungguhnya yaitu bukan pemotongan rapel, melainkan hanya sebuah kebijakan
bersama kalangan capeg terhadap aparat, atau dalam istilah yang lain, hanya
sekedar ucapan terimakasih.
Konsep
terimakasih, lagi-lagi menjadi benteng untuk menutupi peristiwa yang terjadi
sesungguhnya. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa, tuturan kita di sini, bukan
berpretensi bahwa Depag Kota Bandung bersalah, bukan ini maksudnya. Melainkan
ingin menunjukkan bahwa konsep terima kasih, menjadi sebuah konsep yang absurd
didalam persepsi aparat kita saat ini.
Dari
kasus Depag Kota Bandung ini, (dengan catatan : jika peristiwa benar), maka
ucapan terima kasih mengalami pengembangan karakter, yaitu (1) ucapan
terimakasih dapat dilakukan secara formal, (2) dilakukan secara kolektif, dan
(3) ditentukan bentuk dan nilainya. Efek dari penerapan konsep terimakasih
seperti ini, maka ruang ketulusan dan
kesadaran pribadi dalam menunjukkan sikap keberterimakasihan menjadi sesuatu
hal yang absurd.
Mungkin
ada satu pihak yang berpendirian, apakah memang tidak boleh kita menunjukkan
keberterimakasihan kita dalam bentuk material atau uang kepada para pejabat ? sepanjang
sesuai dengan koridor hukum maka jawabanya terhadap pertanyaan itu sudah jelas,
yaitu ”boleh”. Tidak ada satu pihak pun
yang bisa melarang orang untuk menyatakan terima kasih kepada orang lain, dalam
bentuk apapun. Hanya yang menjadi masalah itu adalah kesejatian atau ketulusan
dari ucapan keberterimakasihan tersebut. Sebab, laiknya pengalaman dalam
transaksi ekonomi, ucapan terimakasih adalah ucapan akhir dari
sebuah transaksi yang sudah menunjukkan adanya kerjasama mutualis. Seperti
seorang penjual yang mengucapkan terima
kasih kepada si pembeli, atau sebaliknya. Mereka dengan tulus mengucapkan
terimakasih, karena kedua belah pihak merasa mendapat keuntungan dari proses transaksi
tersebut.
Sekali
lagi perlu ditegaskan, bahwa sebuah komunikasi atau kerjasama yang mencapai
titik kesepakatan antara dua pihak, atau dua kepentingan secara menguntungkan maka
akan menuntut lahirnya tindakan keberterimakasihan. Sementara bila ada interaksi
atau komunikasi yang tidak berimbang, maka ucapan keberterimakasihan tidak akan
muncul. Keberterimakasihan dalam konteks ini, merupakan tahap akhir dari adanya
kesadaran duabelah pihak atau lebih, yang telah mendapatkan keuntungan.
Implikasi
dari pemikiran seperti itu, maka manakala ada ucapan terima kasih yang diterima
oleh aparatur pemerintah atau politisi, maka pertanyaan dasarnya adalah ”apa
yang sudah didapat oleh si pemberi ucapan terima kasih?”
Mindset
bangsa kita, masih diliputi oleh ketidakpercayaan kepada perilaku aparat. Mindset
bangsa kita masih mengidap analisis bahwa pemerintah belum mampu menunjukkan
kesadarannya untuk tidak korupsi. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang
mendapatkan ucapan terima kasih, maka secara serta merta akan muncul spekulasi,
”apa yang telah dilakukannya?”
Setelah
mencermati uraian tadi, publik dapat mencatat bahwa terdapat beberapa modus KKN
yang masih berkembang di negara ini. Dengan kata lain, dari peristiwa tersebut
diatas, publik disadarkan terhadap adanya beberapa modus korupsi, yang
potensial terus tumbuh dimasyarakat kita saat ini.
Pertama, KKN tidak
dilakukan secara formal. Oleh karena itu, publik akan mengalami kesulitan untuk
menemukan bukti nyata dari transaksi KKN. Andaipun KPK berwenang untuk mengecek
rekening si pejabat, namun kita menduga bahwa si pelaku pun sudah tahu trik KPK
tersebut. Artinya, kepemilikan rekening bisa direkayasa, yaitu dengan
menggunakan atas nama orang lain.
Kedua, KKN tidak dilakukan secara kelembagaan. Dengan kata lain,
alibi mengenai tidak ada kebijakan dari lembaga/organisasi bukanlah sebuah indikasi
bahwa penyelewengan kewenangan itu tidak dilakukan. Tindakan KKN adalah sebuah
mafia, maka tidak mungkin dilakukan dengan menggunakan model kelembagaan secara
formal. Dugaan penulis, lebih banyak dilakukan secara fungsional. Artinya,
antara pelaku memiliki kesadaran dan kesepahaman yang sama, dan bersedia untuk
saling menutupi.
Terakhir, rumus bahwa pencuri
lebih waspada daripada penjaga pos siskamling, tampaknya harus menjadi kesadaran para penegak
keadilan di negeri ini. Pelaku tindak
kejahatan akan tetap dan senantiasa terus memikirkan strategi melakukan tindak
kejahatan dan juga berikhtiar untuk terhindar dari jebakan hukum. Oleh karena
itu, bukan hal yang mustahil pihak-pihak yang berpeluang atau sedang korup di hari
ini pun, sedang merenungkan bagaimana caranya melakukan tindak korupsi yang
aman.
Dan
kita akan merasa aneh, bila ujug-ujug si pencuri itu mengucapkan terima kasih
kepada penjaga pos siskamling ? Artinya, ucapan terima kasih itu, apakah karena
si penjaga pos yang tidak disiplin menjalankan tugas keamanan lingkungan atau
ada kerjasama yang saling menguntungkan. Inilah problema ucapan
terima kasih, di masyarakat kita.
Kembali
ke awal tulisan ini, penulis ingin menyatakan bahwa masyarakat kita adalah
masyarakat yang produktif mereproduksi sebuah kata dengan makna yang lain.
Namun sayangnya, untuk konteks kasus ”ucapan terima kasih” ini, reproduksi makna tersebut cenderung bermakna negatif.
0 comments:
Posting Komentar