Seorang petani, bekerja di sebuah kebun. Sedari pagi hari, sang petani ini sudah mencangkuli tanah beberapa petak di kebun tersebut. Dia bekerja tidak sendirian. Ada lima atau enam petani yang lain pun turut bekerja di tempat tersebut. Seperti hari-hari yang lainnya, pada hari itu si petani memiliki kewajiban untuk bekerja di lading sang Majikan, selama 10 jam, yaitu mulai dari pukul 07.00 hingga 17.00 WIB. Kendati demikian, si Majikan tidak melarang bila ada yang datang bekerja lebih pagi, dan pulang agak telat. Malahan, tuan Majikan memberikan nilai lebih kepada mereka yang memiliki semangat kerja yang tinggi, juga menjunjung tinggi produktivitas.
Tak ayal lagi, berdasarkan pengalamannya dia bekerja, sang petani kita ini, datang lebih pagi dari pada rekanan kerja yang lainnya. Dalam benaknya, tertanam keinginan untuk menunjukkan hasil kerja yang baik, sehingga lahan kebun Majikannya tersebut dapat ditanami secara baik, yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil kebun yang melimpah. Pada bayangan petani kita ini, bila hasil kebunnya melimpah, dan Majikan bahagia dengan hasil pertaniannya, bukan hal yang mustahil akan ada limpahan rijki kepadanya juga. Oleh karena itu, motivasi dasar seperti ini, menjadi sesuatu hal yang kuat dalam jiwanya untuk terus bekerja keras selama satu minggu ini.
Untuk sekedar
diketahui, para petani di kebun ini diberi upah sesuai dengan kehadiran dan
diberikannya setiap seminggu sekali. Kendati demikian, kadang pula Si
Majikan memberikan upah lebih, bila
hatinya sangat berkenan terhadap hasil pekerjaan para pegawainya.
Pada hari kemudian,
hari berbagi upah pun tiba. Setiap orang dipanggil, satu per satu. Si A
mendapat upah sekian, karena bekerja sekian hari dengan semangat kerja bernilai
demikian. Si B mendapat upah segitu, karena bekerja selama seminggu dengan
semangat kerja seperti itu. Terus berulang sampai pada gilirannya saudara kita ini.
Sang Petani kita ini,
terdiam diri. Termenung sejenak. Setelah beberapa menit menanti, namanya tidak
pula dipanggil-panggil. Kemudian dengan penuh kepercayaan diri, dia maju ke
depan menghadap Majikannya dengan tujuan
untuk meminta upah.
“Tuan, kenapa saya
tidak dipanggil ? kenapa saya belum juga dikasih upah, padahal saya sudah bekerja di kebun tuan selama seminggu kemarin, tapi kenapa tidak
diberi upah ?” pintanya dengan penuh harap.
Mendengar ungkapan
seperti itu, si Majikan sedikit kerung
(mengkernyitkan dahi) tanda sedang berfikir. Kemudian bertanya, “benarkah kamu
bekerja di kebun saya ?” mendengar
pertanyaan itu, si Petani mulai sumringah dan kemudian menganggukkan kepala
tanda mengiyakan pertanyaan Majikannya. “Tapi, kenapa tidak ada nama kamu
didaftar karyawan kami ? mungkin kamu salah tempat, salah kebun, atau salah
Majikan. Saya mohon maaf, bukan tidak ingin memberikan upah pada anda yang
sudah bekerja di kebunku, tapi mungkin kamu salah alamat, karena namamu tidak
ada daftar pegawainya”. Subhanallah.
Mendengar jawaban seperti itu, si petani ini terkaget-kaget. Dengan perasaan
sedih dan duka dalam jiwa, kemudian orang ini pergi menuju rumahnya sendiri.
Registrasi
dan pengakuan
Kisah di atas memberikan sebuah keterangan,
bahwa dalam mencari pengakuan seseorang perlu melakukan registrasi. Langkah
hidup seperti ini, layak dan perlu dilakukan, dengan maksud supaya dalam
langkah hidupnya di masa yang akan datang tidak mengalami kekeliruan langkah
dan strategi. Cobalah bayangkan, apa jadinya jika kita sudah melakukan berbagai
tindakan yang seperti orang lain, seprti manusia pada umumnya, tapi kemudian
ketika akan meminta upah dari kerja tersebut, kita ditolak dengan dinyatakan
sebagai orang yang tidak terdaftar dalam daftar karyawannya ?
Masyarakat Sunda
menyebutnya, inilah yang disebut dengan hese
cape teu kapake. Mungkin benar, secara pribadi anda sudah merasakan ada
kepuasan diri telah melakukan banyak aktivitas, tapi aktivitas seperti ini
tidak mendapat pengakuan dari orang yang dianggapnya sebagai majikan. Seorang
lelaki usia 15 tahunan, ikut belajar di kelas, bahkan juga ikut mengerjakan
soal ujian akhir nasional. Namun yakinlah, bila nama dan identitas dirinya
tidak tercantum dalam daftar tetap peserta ujian akhir nasional, maka dia tidak
memiliki hak untuk mendapat nilai, dan tidak berhak untuk mendapatkan ijazah.
Mengapa ? jawabannya sangat sederhan, karena tidak terdaftar sebagai anggota
ujian akhir nasional di sekolah tersebut.
Bila demikian adanya,
mungkinkah kita akan mendapatkan pahala dari Allah Swt atas berbagai perbuatan
kita di dunia ini ? Akankah kita dapat meminta imbalan kepada Allah swt atas
berbagai amal selama ini ?
Pertanyaan ini sangat
sulit untuk dijawab, namun mudah untuk direnungkan. Artinya, penulis tidak
bermaksud untuk menjawab pertanyaan ini, karena dalam hemat penulis memiliki
kesulitan makna yang sangat tinggi. Namun penulis memiliki harapan besar untuk
mengajak melakukan perenungan terhadap pertanyaan ini.
Dengan menggunakan
analogi kasus si Petani itu, dan atau siswa yang meminta nilai kepada panitia
ujian akhir, sesungguhnya kita dapat merenungkan substansi dari pertanyaan
tersebut tadi. Benar bila kita katakan, bahwa masalah keagamaan tidak dapat
disederhanakan sebagaimana yang dialami oleh sang Petani. Namun kisah ini,
sesungguhnya dapat mengantarkan kita pada perenungan hidup dan makna hidup kita
selama ini. Sederhana, kasus kecil dan kasus sederhana ini, sedikit banyak
dapat dijadikan sebagai landasan awal untuk menemukan makna hidup yang lebih
tepat.
Registrasi
ilahiah
Tidak ada pengakuan,
bila tidak ada pendaftaran (registrasi).
Inilah pelajaran pertama yang dapat dipetik dari kisah si petani atau anak usia
15 tahunan tersebut. Sebuah pengakuan
dan atau tuntutan akan hak, bukanlah karena kewajiban yang sudah dilakukannya.
Melainkan lebih karena adanya pengakuan dan pendaftaran yang sudah dilakukannya.
Si petani sudah
melakukan kewajiban hidupnya untuk mengelola kebun, dan si lelaki usia 15 tahun
sudah melaksanakan kewajibannya dalam mengerjakan soal. Namun kenapa mereka
tidak mendapatkan hak upah (petani) atau ijazah (lelaki) ? hak dan kewajiban
memang sesuatu hal yang datang berbarengan. Cuma sayangnya, kita hilap mengartikan kewajiban. Kedua orang
yang tengah kita bicarakan itu, adalah contoh orang yang salah paham terhadap
kewajiban.
Dalam kasus kita, kewajiban itu bukan perbuatan
yang dilakukan seseorang yang berkesesuaian dengan orang yang akan kita
contoh. Kewajiban itu bukan tindakan
seperti itu. Mungkin dalam pandangan si Petani kewajiban dirinya adalah
mengelola kebun sebagaimana 5 rekanan yang lainnya, dan si lelaki usia 15 tahunan
menganggap mengerjakan soal ujian adalah kewajiban dirinya. Sudah sangat jelas,
persepsi dan pandangan seperti ini sangat tidak tepat. Atau minimalnya,
persepsi serupa itu merupakan contoh pandangan yang tidak pada tempatnya.
Pada kontek kita
ini, kewajiban itu muncul karena kita
memiliki status. Dengan adanya status tertentu, orang memiliki peran, sementara
dengan adanya peran tersebut yaitu lahirnya hak dan kewajiban. Oleh karena itu,
kewajiban belajar dan mengikuti ujian itu, adalah kewajibannya orang yang
memiliki status sebagai pelajar, dan mendapatkan ijazah adalah haknya orang
yang sedang belajar. Bekerja di kebun adalah kewajibannya sang petani, dan
mendapatkan upah adalah haknya seorang karyawan yang sudah melaksanakan
kewajiban. Oleh karena itu, kewajiban dan hak erat kaitannya dengan status
seseorang dalam kelompok tersebut .
Sampai saat ini, kita
mengakukan diri sebagai orang yang sudah melaksanakan amal ibadah. Dalam satu
hari satu malam, kita sudah melaksanakan sholat, dzikir, tadarusan, shaum,
infaq shodaqoh serta amal jariah yang lainnya. Tindakan-tindakan ini sudah kita
lakukan. Dengan penuh kesadaran diri,
dan penuh kesungguhan, kita
lakukan semua hal tersebut dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari
Allah Swt.
Berbagai hal yang kita
lakukan ini, merupakan tindakan yang kita lakukan, sebagaimana orang lain pun
banyak melakukannya. Melihat orang lain
sholat jum’at maka kita pun sholat jum’at, melihat orang lain infaq shodaqoh
kita melakukan hal yang sama. Pada intinya, berbagai hal yang kita lakukan itu,
kita lakukan sebagaimana orang lain pun melakukannya.
Pada akhirnya, bila
suatu waktu tiba, dan waktu itu adalah saatnya orang mendapatkan pahala
sebagaimana yang Allah janjikan kepada hambanya, maka seluruh manusia pun
berkumpul di sana. Mereka berbaris dengan harapan kena panggilan untuk menerima
upah atas amal hidupnya di muka bumi.
Allah Swt berjanji,
bahwa di yaumil akhir itu, akan ditampakkan segala amal perbuatan manusia. Barang siapa mengerjakan kebaikan,
kendatipun sebesar biji zarrah, maka dia akan melihat balasannya. Dan barang
siapa melakukan satu kejahatan kendatipun sebesar biji zarrah, diapun akan
melihatnya pula[1].
Janji inilah yang dipegang oleh manusia yang berkumpul di padang mahsyar saat
itu. Dengan harap-harap cemas, mereka menanti pembagian upah kehidupan. Apakah
kitab kerja di dunia lalu itu, akan diberikannya dari sebelah kanan, atau
sebelah kiri ? misteri ini masih teka-teki.
Di luar masalah itu,
ada satu hal yang perlu kita cermati dengan seksama. Khususnya terkait dengan
masalah kita kali ini, akankah kita termasuk orang yang kena panggil oleh Allah
Swt dan kemudian mendapatkan upah atas berbagai tindakan kita di dunia ini ?
Scenario
jawaban
Ada dua kemungkinan
mengenai jawaban ini. Dan dari berbagai jawaban tersebut, mungkin salah satunya
dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang muncul dalam jiwa kita.
Pertama, scenario paling
buruk yaitu kita tidak akan mendapatkan apa-apa atas berbagai tindakan yang
kita lakukan selama di dunia ini. Mengapa
? untuk sekedar informasi, mungkin jadi scenario ini terjadi karena kita memang
tidak pernah registrasi kepada Allah Swt untuk mengabdikan diri kita sebagai
hamba Allah.
Secara kodrati kita
adalah hamba Allah. Namun pernah kita melakukan regsitrasi terhadap Allah Swt
untuk menjadi hamba-Nya ? pernah setiap amal kita ini, ditujukan untuk Allah
Swt ? pernah berbagai tindakan yang kita lakukan itu sebagai wujud bakti kita
kepada Allah ?
Islam memberikan
arahan. Bahwa inti dari ibadah itu adalah la
ilaha ila allah, tiada tuhan selain Allah, tiada majikan hidup selain
Allah, tiada tuan yang wajib dijunjung tinggi selain Allah. La maqshuda ilallah, jangan ada tujuan
lain kecuali untuk Allah, jangan ada arahan lain selain menuju Allah, jangan
ada maksu lain selain kepada Allah. Untuk sekedar contoh, dengan dua arahan ini
sesungguhnya kita dapat bertanya atas berbagai tindakan kita di muka bumi.
Adakah amal kita kemarin itu, ditujukan
untuk Allah atau untuk hawa nafsu ? ibadah yang kemarin kita lakukan ini apakah
untuk memenuhi tugas kita sebagai hamba Allah atau hanya untuk memenuhi gengsi
pribadi ?
Subhanallah. Jika amalan kita
ditujuan untuk memuaskan hawa nafsu, gengsi pribadi, pacar, mertua, atau bos di
kantor, maka kenapa minta upah kepada Allah Swt ? mengapa menuntut haknya
kepada Allah Swt ? apa tidak malu, bila bekerja di pabrik si A tetapi minta
upah ke si B ? apa tidak salah alamat, bila kita minta upah ke pabrik si C ?
Penulis khawatir,
dengan kejadian seperti ini, karena akherat itu adalah wilayah kekuasaan Allah
(maliki yaumiddin)[2], maka
kita akan terusir dari tempat yang dimuliakannya, dan kepada kita disediakan
tempat di daerah yang tidak sesuai dengan harapan kita. Di akherat itu, kita
tidak bisa memilih majikan yang lain. Syetan sudah tidak memiliki kekauasaan.
Bos pabrik yang didunia punya kekuasaan, di sana sudah kehilangan
kewenangannya. Hawa nafsu manusia pun, mati seketika. Maka satu-satunya yang
berkuasa di yaumil akhir itu, adalah Allah Swt. Dimana kita akan tinggal, bila
pahala dan pengakuan dari Allah Swt tidak kita dapatkan ?
Scenario
kedua,
mereka akan mendapatkan syafaat dari Allah Swt terhadap statusnya hari itu.
Tidak aneh, dalam kehidupan dunia ini pun, kadang ada orang yang mendapatkan
anugerah upah dadakan akibat tindakannya terhadap orang lain. Kendatipun tidak
kenal, tetapi bila suatu saat memberikan pertolongan pada seseorang di tengah
jalan yang sedang mendapat kesusuhan, maka bukan hal mustahil dia pun mendapat
upah atas tindakannya tersebut.
Kejadian seperti ini,
bisa saja terjadi pada manusia di akherat nanti. Setidaknya, Allah memberikan
jaminan, bahwa kelompok majusi, shabi’in, dan nasrani sepanjang mengharapkan
ridlo Allah, takut kepada-Nya, dan melaksanakan amal sholeh, maka kendatipun mereka
tidak mengenal Islam akan mendapatkan berita gembira di akherat. Kelompok orang
ini, dalam Islam dikategorikan sebagai kelompok orang yang bukan Muslim namun
memiliki status yang sama disisi Allah Swt, dan mereka mendapatkan pahala,
serta tidak ada kekhawatiran dan juga mereka tidak (perlu) bersedih.[3]
Harus
daftar ke mana ?
Setelah memahami hal
tersebut, maka renungan yang terpenting lagi adalah mengetahui tempat
pendaftaran, kapan dan ke mana ? pertanyaan-pertanyaan ini penting buat kita
saat ini. Minimalnya, memahami
pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengetahui kejelasan kita dalam tata kehidupan
di dunia saat ini. Karena tanpa mengetahui hal ini, maka sejatinya kita belum
memiliki kejelasan diri mengenai status kita di dunia.
Hal yang pertama,
harus ditentukan dari sekarang. Kita mau daftar menjadi apa, muslimkah, yahudi,
Kristen, ataukah mau menjadi kelompok penganut kepercayaan ? bila pertanyaan
ini sudah terjawab, maka kita lanjutkan pada tahap yang kedua, yaitu kepada
siapa kita mendaftar. Dalam kesempatan ini, akan diuraikan tentang pendaftaran
kepada Allah Swt.
Pada hakikatnya,
setiap manusia sudah pernah mendaftarkan diri menjadi hamba Allah. Hal ini
terungkap dalam firman Allah Swt, yang menyatakan ketegasan dan kejelasan
status seseorang. Alastu bi robbikum
? bukankah Aku adalah Tuhanmu ? kemudian di jawab oleh ruh manusia di alam
barzah dengan kalimat, “ya kami bersaksi demikian, bahwa engkau alah Tuhanku”.
Ini artinya, bahwa kita sudah mendaftarkan diri sebagai hamba Allah Swt. Tahap inilah yang penulis sebut sebagai registrasi transcendental, pendaftaran
hakiki yang dilakukan manusia di hadapan Allah Swt.
Persoalan ini, tahapan
kehidupan manusia berbeda. Perjanjian itu dulu dilakukan di alam arwah dan
dilakukan dengan ruh manusia. Sementara tahap kehidupan manusia kemudian
berganti, dan kini manusia hidup di dunia (alam fana). Mirip dengan masa studi,
seorang siswa harus registrasi. Mirip dengan STNK seorang pemilik kendaraan
harus memperpanjang STNK. Dan begitu pula dengan kehidupan manusia di dunia.
Manusia pun dituntut untuk melakukan registrasi, sehingga berbagai tindakan
didunianya tetap diakui sebagai bagian dari penghambaan dirinya kepada Allah
Swt.
Untuk melakukan
registrasi hidup ini, seorang muslim berkewajiban untuk mengawalinya dengan
Bismillah. Kandungan makna dari kalimat bismillah, adalah sebuah pengakuan sadar
dari seseorang bahwa apa yang dilakukannya tersebut dilandasi oleh kepatuhan
dan ketaatannya pada Allah Swt. Kalimat ini mengandung makna bahwa perbuatan
kita dilakukan atas nama Allah, dan bukan atas nama harta, jabatan, hawa nafsu
atau pun variable hidup yang lainnya.
Kalimat Bismillah
adalah kunci untuk melakukan registrasi kepada Allah, sehingga Allah
mencatatkannya sebagai amal ibadah. Dengan kata lain, dengan Bismillah di
setiap awal kegiatan, sesungguhnya orang tersebut sudah menekadkan diri untuk
mengabdi kepada Allah dan menjadikan perbuatannya sebagai bagian dari ibadah.
Oleh karena itu,
ucapkan Bismillah sebelum baca buku, karena itu tandanya registrasi kepada
Allah. Ucapkan Bismillah sebelum tidur, karena itu tandanya registrasi kepada
Allah. Ucapkan Bismillah sebelum makan, karena itu tadanya registrasi kepada
Allah. Dengan Bismillah itulah, kita sudah mendaftarkan diri kepada Allah
sebagai hamba Allah, dan kelak kemudian hari atau pada saat ini pula kita
berhak untuk memanjatkan doa untuk mengharapkan pahala dari Allah Swt.
Pada konteks inilah,
kita dapat menemukan pentingnya niat dalam berbagai tindakan. Sesungguhnya
segala perbuatan itu bergantung pada niatnya (innamal ‘amalu bi niyat). Sehubungan dengan ini, niat yang
dikemukakan di setiap awal perbuatan adalah bentuk registrasi ilahiah manusia
dalam hidup. Bila niat hijrah itu adalah untuk mendapatkn harta rampasan, maka
imbalan yang akn didapatnya yaitu harta rampasan itu semata. Sedangkan bila
hijrah itu adalah untuk mendapatkan ridlo Allah, maka Allah Swt jualah yang
akan memberikan imbalan kepadanya. Bila niat sholat itu adalah mendapat
perhatian dari mertua, maka pujian mertua itulah yang akan kau dapatkan, dan
Allah Swt tidak akan memberikan pahala apapun terhadap sholat yang dilakukannya,
karena orang itu sudah mendaftarkan amal sholatnya untuk mertuanya semata.
Dalam Islam
ditegaskan, Allah Swt tidak mau dipersaingkan dengan majikan lainnya. Tidak ada
sesuatu pun yang menyerupainya (laisa
kamistlihi syaiun) atau setara dengan-Nya (wa lam yakun lahu kufuan ahad)[4]..
Oleh karena itu, manusia harus memiliki
perilakunya tersebut, diniatkan (diregistrasikan) untuk dipersembahkan kepada
Allah Swt atau selain itu. Karena hanya dengan seperti inilah, sebuah amalan mendapat pengakuan
sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
Penutup
Ulasan ini, tidak
bermaksud untuk memberikan resep pendaftaran ilahiah yang jitu. Uraian ini, hanya
untuk mengajak hati dan pikiran kita dalam merenungkan perjalanan hidup ini.
Kita khawatir, atau setidaknya penulis khawatir, kita belum terdaftar sebagai
hamba Allah akibat niat ibadah itu bukan dialamatkannya kepada-Nya. Karena
sesungguhnya, mungkinkah kita mendapatkan hak bila kita tidak memiliki status
tertentu yang membuatkan berkewajiban dalam melaksanakan sesuatu ?
Namun demikian, untuk
menjadi awal dalam melakukan kegiatan di dunia ini, ada dua cara registrasi
ilahiah yang dapat dilakukan manusia. Pertama, yaitu dengan mengucapkan
bismillahirrahmanirrahim, dan kedua yaitu memantapkan niat untuk ibadah. Kedua
hal tersebut, merupakan pintu awal menyambungkan (koneksitas) antara seorang
hamba dengan Tuhannya. Inilah yang disebut dengan registrasi ilahiah mengenai
berbagai hal perbuatan manusia.
-o0o-
0 comments:
Posting Komentar