Just another free Blogger theme

Minggu, 31 Januari 2021

 


Dilihat dari karakteristik data atau pendekatannya, penelitian dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Kedua pendekatan ini, merupakan arus utama dalam pelaksanana penelitian, baik di kalangan ilmuwan sosial maupun ilmu alamiah.

Penelitian kuantitatif banyak digunakan dalam ilmu alamiah (natural science). Walaupun kalangan ilmu sosial juga kerap menggunakan pendekatan ini, tetapi pendekatan kuantitatif lebih banyak digunakan oleh ilmuwan eksakta. Karakter dari penelitian kuantitatif itu adalah menggunakan data yang terukur, terindra dan bisa dikendalikan.  Asumsi yang dimilikinya, yaitu menganggap bahwa data bisa dibedakan, dipisahkan dan dijaga jaraknya dari si peneliti.  Jenis data yang digunakannya, yaitu data-data angka atau statistik.

Praktek penelitian, sebagaimana yang dikembangkan oleh para pengelola quick count, adalah contoh dari data kuantitatif.  Kesimpulan ditarik dari jumlah responden yang memberikan pilihan jawaban, sebagaimana yang diajukan oleh peneliti. Kesimpulan penelitian pada quick count itu amat sangat bergantung pada jumlah individu yang memberikan respon terhadap satu pilihan yang diajukan. Misalnya, seorang kandidat yang mendapat respon (dukungan) sebanyak 75 %, diposisikan sebagai kandidat yang populer dibandingkan dengan kandidat lainnya.

Kritik terhadap penelitian kuantitatif, terdiri dari beberapa aspek. Pertama, ketidaktepatan dalam memahami masalah jarak antara objek denga peneliti. Asumsi adanya netralitas sains, sebagaimana yang dianut kalangan penelitia kuantitatif atau positivisme logis pada umumnya, adalah sebuah ‘khayalan’. Karena pada dasarnya, peran subjek dalam penelitian sangat tinggi, khususnya dengan adanya asumsi atau paradigma pemikiran dalam keilmuan. Kedua, masalah sosial, termasuk di dalamnya masalah politik tidak bisa disederhanakan, tidak sesederhana data-statistik. Masalah sosial, bukan soal angka, tetapi juga soal pemaknaan. Oleh karena itu, kita akan mudah terjebak, bila memahami perilaku politik sekedar melihat angka. Mari perhatikan, jika ada dua orang yang demonstrasi menolak kenaikan harga BBM, apakah hal itu menunjukkan bahwa aspirasi penolakan kenaikan harga BBM itu adalah ide yang buruk dan tidak perlu direspon secara bijak ?

Karakteristik penelitian seperti ini, sudah tentuk dianggap tidak relevan untuk melakukan kajian dalam ilmu sosial. Hal itu seiring dengan karakteristik masalah sosial, yang tidak bisa diulang, tidak bisa dikendalikan. Jarak antara penelitia dengan yang diteliti bersifat bias, dan baur. Objek penelitian ilmu sosial bukanlah objek yang netral dan bisa dipisahkan secara “kaku” dari si peneliti.

Dengan demikian, penelitian yang banyak dikembangkan dalam ilmu sosial yaitu  jenis penelitian kualitatif, yaitu berusaha untuk menemukan makna, pemahaman, dan nilai dari perspektif pelaku dan peneliti secara ilmiah. Menurut Marsh dan Stoker (2010:240), walaupun agak diremehkan, namun penelitian kualitatif merupakan arus utama dalam penelitian ilmu politik.

Kritik terhadap penelitian kualitatif, berkisar pada beberapa aspek. Pertama, adanya krisis representasi. Informan yang digunakan dalam penelitian kualitatif, kadang bersifat kasuistik, atau sampel terbatas. Dengan demikian, segabai seorang peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif, akan mengalami kesulitan untuk melakukan representasi. Misalnya saja, dalam  studi kasus dengan pendekatan kualitatif, sulit untuk diposisikan sebagai representasi dari sebuah fenomena politik. Kedua, krisis legitimasi. Karena  lemahnya representasi sumberdata, menyebabkan legitimasi keilmiahannya menjadi diragukan, dan dianggap tidak bisa digeneralisasi. Ketiga, adanya kecurigaan terhadap subjektivisme. Para pengguna pendekatan kualitatif, kerap dicurigai memiliki kepentingan subjektif dalam  melakukan dan atau menjelaskan fakta sosial yang sedang dikaji. Bahkan, secara lebih luas, pembiasan informasi atau pemaknaan itu, bisa terjadi karena ada subjektivisme dari informan, atau peneliti tersebut.

Dalam melaksanakan proses penelitian kualitatif dilakukan proses-proses penelitian sebagaimana dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (Moleong, 2000: 4-8)[1].

Pertama,  penelitian ini menggunakan latar alamiah lingkungan social tempat masalah penelitian itu terjadi. Dengan kata lain, penelitian ini memperlakukan kondisi alamiah kondisi sosial, suasana interaksi sosial,  serta kondisi fisik lingkungan masyarakat secara alamiah. Tujuan dari penerapan strategi ini adalah  untuk menjelaskan konteks menyeluruh dan bersifat timbal balik, antara elemen  masyarakat dan factor lingkungan masyarakat dalam konteks lingkungan alamiahnya.

Kedua, menggunakan  manusia sebagai instrumen. Teknik ini merupakan hal yang paling pokok dari penelitian kualitatif.  Kelebihan utama dari human instrument dibandingkan dengan kuesioner atau instrumen yang lainnya adalah adanya kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial di lapangan.

Ketiga, penelitian tidak menggunakan data-data yang bersifat  numerik, melainkan  secara kualitatif.  Tujuan penerapan metode ini adalah untuk memahami realitas  masyarakat dan atau perilaku sehat  yang dilakukan masyarakat.

Keempat, setelah data terkumpul maka dianalisis dengan menggunakan pendekatan induktif (inductive data analysis). Cara ini dilakukan agar dapat digambarkan secara deskriptif, kaya data, dan bersifat kontekstual.  Sebagaimana dikemukakan pula oleh Moleong (2000:5) pendekatan ini, digunakan supaya lebih dapat   menguraikan  latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan kepada suatu latar yang lainnya.  Selain itu, penggunaan cara induktif  ini dapat  menemukan pengaruh bersama  dalam mempertajam hubungan-hubungan antara data yang ditemukan di lapangan.

Kelima, teknik pengumpulan data dan pembuatan rancangan, dipandu dengan  rancangan penelitian. Namun, rancangan yang dibuat ini lebih bersifat sementara (emergent design), artinya  dalam penelitian kualitatif melihat realitas bersifat ganda dan kompleks itu sulit dikerangkakan atau dipolakan sebelumnya.  Oleh karena itu, mengkaji realitas sosial itu baru bisa dipolakan apabila sudah memasuki lapangan penelitian.

Keenam,  peneliti memfokuskan pada gejala khusus yang terkait objek penelitian.  Namun demikian, penentuan fokus kajian (focus determined boundaries) objek  penelitian tidak tidak dieliminasi, dibatasi  secara tegas dan dispesifikan, tetapi didekati secara holistik. Sehingga,  kenyataan ganda yang ada dilapangan tidak dihilangkan tetapi dihimpun menjadi satu bagian dalam menganalisis masalah penelitian.

Ketujuh, setelah mendapatkan data dan melakukan kajian di lapangan, peneliti merumuskan sejumlah kreteria derajat kepercayaan (creteria for trusworthiness) untuk mengukur objektivitas penelitian. Dalam penentuan pendekatan pengukuran derajat kepercayaan ini, peneliti merujuk pada pendapat Guba dan Lincol (Moleong, 2000:7)  yang menyatakan bahwa pengujian tingkat kepercayaan pendekatan kuantitatif berbeda dengan  pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini, akan digunakan kriteria kredibilitas (diakui dan mumpuni), transferabilitas (dapat dialihkan pada kasus atau konteks lain), independabilitas (saling keterkaiatn dan ketergantungan) dan konfirmabilitas (dapat dicek ulang) sebagai kriteria kepercayaan penelitian kualitatif.

Kedelapan, process oriented.  Peneliti, tidak berusaha untuk mengumpulkan data secara lengkap dalam melakukan pembahasan. Melainkan, dilakukan secara bertahap, dan intensif di dalam proses  pelaksanaan penelitian itu sendiri. Teknik ini, sejalan dengan pendapat Moleong (2000:7) dan Muhadjir (2000:43)[2]  yang mengatakan bahwa pendekatan kualitatif lebih mendahulukan proses daripada hasil. Oleh karena itu, pencatatan dan penganalisis data akan dilakukan sepanjang proses penelitian ini dilakukan.

Kesembilan, negotiated outcome atau confirmated.   Dalam langkah kesembilan ini, peneliti melakukan negosiasi dan konfirmasi terhadap responden kepada informan. Dalam langkah ini, hasil data yang dimaknakan atau ditafsirkan merupakan kesepakatan antara peneliti dengan informan atau responden. Asumsinya adalah responden lebih memahami dan mengetahui masalah penelitian. Sementara, peneliti hanyalah merekonstruksi gejala sosial yang ada dilapangan, sebagai rumusan untuk menjawab masalah penelitian.

Kesepuluh, untuk mengecek informasi yang terkumpulkan, peneliti dapat melakukan  focus group discussion (FGD) dengan pihak terkait dengan tema sesuai objek penelitian. Tujuan dari teknik ini yaitu untuk melakukan check and balance terhadap sejumlah informasi yang didapat dari  subjek penelitian, sehingga rumusan penelitian ini dapat dijaga validitasnya.

Sebagai implikasi dari penggunaan metode kualitatif, maka laporan penelitian  akan berupa deskripsi data dari berbagai sumber data yang digunakan dalam penelitian, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara utuh tentang gejala sosial yang sedang diteliti. Dengan demikian, penelitian kualitatif yang dilakukan ini, dapat dikatakan pula sebagai penelitian yang menerapkan pendekatan grounded theory (teori dari dasar). Hal ini disebabkan bahwa peneliti kualitatif lebih menghendaki  bimbingan penyusunan teori substantif yang berasal dari data.  Dengan kata lain, pendekatan ini lebih menekankan teori yang diangkat dari fakta-fakta empirik. Bangunan teori yang ingin dibentuk bukanlah bersifat nometetik yaitu penentuan hukum yang bersifat umum, melainkan yang bersifat ideografik yaitu penggambaran-penggamabran yang bersifat khusus. Pendekatannya tidak dimulai dari apriori  tetapi berangkat dari aposteriori.

Dalam kaitannya dengan pengembangan pendekatan kualitatiif di bidang kajian sosiologi, ada beberapa konsep yang memperkaya model penalaran yang dikembangkan sosiologi. salah satu pandangan yang digunakan dalam sosiologi itu, yaitu dikenal dengan penalaran etik dan emik. Sudut pandang etik, yaitu menggunakan standar dan prosedur ilmiah dalam menganalisis perilaku atau fenomena sosial. Sedangkan sudut pandang emik, yaitu berusaha  memahami makna perilaku atau budaya sosial sesuai dengan perspektif para pelakunya. Dengan kata lain, sudut pandang itu lebih berpihak pada kerangka standar baku keilmuan, sedangkan perspektif emik adalah berusaha memahami apa yang dipahami masyarakat.

Bagi mereka yang kurang cocok dengan salah satu pendekatan tersebut, maka dapat dilakukan dengan cara memadukan kedua sudut pandang tersebut, atau dapat disebut dengan istilah model etmi, yaitu pendekatan yang berusaha menengahi antara sudut pandang etik dan sudut pandang emik.

Anthony Giddens, telah melihat adanya pertentangan kedua sudut pandang yang berkembang dalam sosiologi selama ini. Oleh karena itu, dalam menafsirkan perilaku sosial tersebut, Giddens menyebutkan dengan istilah hermeneutika-ganda. Yang dimaksud dengan hermenutika ganda yaitu :analisis relasi dan perbandingan antara teoritik dengan empirik. Lebih jelasnya, Giddens mengatakan bahwa hermeneutika ganda[3] :

The intersection of two frames of meaning as a logically necessary part of social science, the meaningful social world as constituted by lay actors and the metalanguages invented by social scientists; there is a constant 'slippage' from one to the other involved in the practice of the social sciences.

Pitirim Sorokin dalam mengembangkan sosiologinya menggunakan metode ”logico-meaningful’. Metode ini mencakup upaya penemuan prinsip sentral tempat tersusunnya sebuah sistem dan yang memberi arti terhadap setiap unsurnya. Jadi prinsip sentral ini mengintegrasikan berbagai susbsistem ke dalam satu sistem yang utuh[4]. Dengan menerapkan prinsip  ini, maka praktek pemanfaatan layanan pengobatan, perlu dipahami dalam kerangka sistem sosial yang lebih luas lagi. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dipahami Emile Durkheim.

Max Weber memberikan keterangan bahwa untuk menafsirkan suatu makna atau arti perlu dibedakan dua kategori penjelasan, yaitu (1) penjelasan yang berupa pemahaman langsung, tanpa melakukan pendalaman, dan (2)  pemahaman yang bersifat penjelasan atau ”erklarendes verstehen”. Pada jenis yang kedua ini, seseorang harus melakukan kajian pendalaman terhadap motivasi dan makna kegiatan dari si pelaku kegiatan itu sendiri. Sehingga penjelasan tersebut dapat menggali makna dibalik apa yang dilakukan si pelaku[5].

Emile Durkheim (1858-1917) berpendapat bahwa dalam melakukan kajian budaya masyarakat, perlu memahami secara mendalam apa yang terjadi dan bagaimana masyarakat memahami perilaku sosial-budayanya sendiri. Bahkan dalam mengembangkan analisa antropologisnya tersebut, Durkheim berpegang  pada prinsip kunci ”jelaskan fakta sosial dengan fakta sosial yang lainnya”[6]

Dalam memahami fakta sosial pun, sosiologi lebih menekankan pada aspek ”apa yang terjadi (das sein)”, dan bukan apa yang seharusnya (das sollen). Oleh karena itu, sosiologi tidak bekerja untuk menilai namun lebih bertujuan untuk mendeskripsikan. Sudah tentu, pola pikir seperti ini tidak menafikan pentingnya sikap kritis terhadap apa yang terjadi dimasyarakat. Oleh karena itu pula, dalam mempelajari apa yang terjadi di  masyarakat itu, sosiologi bukan hanya  melihat apa yang tampak, tetapi memahami hukum sosial dibalik apa yang tampak. Untuk mencapai tujuan ini, maka kembali ke konsep sebelumnya, bahwa dalam menggunakan analisa sosiologis ini, setiap sosiologi dituntut untuk mengembangkan sikap etmik.

Di luar jenis penelitian itu, ada dua jenis penelitian lain yang berkembang saat ini. Yaitu pendekatan mixed approach, atau pendekatan pemadukan (integrated) antara kuantitatif dan kualitatif.  Hanya saja, persoalan dalam penelitian tidak berarti bahwa pendekatan itu dilakukan secara campur-aduk. Tekniknya ada yang berupa dominan-satu teknik dibandingkan dengan pendekatan lainnya.

Marsh dan Stokker (2010), menyebutkan jenis lain, yaitu jenis pendekatan komparatif.  Melakukan studi penelitian politik dengan memandingkan antara satu fakta politik dengan fakta politik lain, atau antara fenomena politik pada satu negara dengan fakta politik di negara yang lainnya. Inilah yang disebut dengan studi komparasi dalam ilmu politik. Salah satu hasil dari pendekatan ini, yaitu adanya perbandingan sistem politik, atau perbandingan lembaga politik. Robert Dahl dan Gabriel A. Almond (Masoed dan MacAndrews, 1995:21-32) adalah dua tokoh yang getol dalam melakukan analisis perbandingan antara sistem politik satu negara dengan negara yang lainnya.[7]



[1] Moleong, L.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : CV. Remaja Karya

[2] Moehadjir, Noeng.  2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin.

[3] Lihat Giddens, Anthony.   2003. The Constitution of Society : Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Penerjemah Adi Loka Sujono. Yogyakarta : Pedati

[4] Robert H. Lauer. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Bina Aksara.1989

[5] Anthony Giddens. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. UI Press. : 1985. Penerjamah Soeheba Kramadibrata.

[6] Lihat Victor Karady. “Emile Durkehim” dalam dalam Adam Kupper dan Jesisca Kupper. Ensikloperdia Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : Rajawali Press. 2000:249.

[7] Mohtar Masoed dan Colim MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik. Jogjakarta : UGM Press.

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar