Dilihat dari
karakteristik data atau pendekatannya, penelitian dapat dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Kedua pendekatan
ini, merupakan arus utama dalam pelaksanana penelitian, baik di kalangan
ilmuwan sosial maupun ilmu alamiah.
Penelitian kuantitatif banyak digunakan dalam ilmu alamiah (natural science). Walaupun kalangan ilmu sosial juga kerap menggunakan pendekatan ini, tetapi pendekatan kuantitatif lebih banyak digunakan oleh ilmuwan eksakta. Karakter dari penelitian kuantitatif itu adalah menggunakan data yang terukur, terindra dan bisa dikendalikan. Asumsi yang dimilikinya, yaitu menganggap bahwa data bisa dibedakan, dipisahkan dan dijaga jaraknya dari si peneliti. Jenis data yang digunakannya, yaitu data-data angka atau statistik.
Praktek penelitian,
sebagaimana yang dikembangkan oleh para pengelola quick count, adalah
contoh dari data kuantitatif. Kesimpulan
ditarik dari jumlah responden yang memberikan pilihan jawaban, sebagaimana yang
diajukan oleh peneliti. Kesimpulan penelitian pada quick count itu amat sangat
bergantung pada jumlah individu yang memberikan respon terhadap satu pilihan
yang diajukan. Misalnya, seorang kandidat yang mendapat respon (dukungan)
sebanyak 75 %, diposisikan sebagai kandidat yang populer dibandingkan dengan
kandidat lainnya.
Kritik terhadap
penelitian kuantitatif, terdiri dari beberapa aspek. Pertama, ketidaktepatan
dalam memahami masalah jarak antara objek denga peneliti. Asumsi adanya
netralitas sains, sebagaimana yang dianut kalangan penelitia kuantitatif atau
positivisme logis pada umumnya, adalah sebuah ‘khayalan’. Karena pada dasarnya,
peran subjek dalam penelitian sangat tinggi, khususnya dengan adanya asumsi
atau paradigma pemikiran dalam keilmuan. Kedua, masalah sosial, termasuk di
dalamnya masalah politik tidak bisa disederhanakan, tidak sesederhana
data-statistik. Masalah sosial, bukan soal angka, tetapi juga soal pemaknaan. Oleh
karena itu, kita akan mudah terjebak, bila memahami perilaku politik sekedar
melihat angka. Mari perhatikan, jika ada dua orang yang demonstrasi menolak
kenaikan harga BBM, apakah hal itu menunjukkan bahwa aspirasi penolakan
kenaikan harga BBM itu adalah ide yang buruk dan tidak perlu direspon secara
bijak ?
Karakteristik
penelitian seperti ini, sudah tentuk dianggap tidak relevan untuk melakukan
kajian dalam ilmu sosial. Hal itu seiring dengan karakteristik masalah sosial,
yang tidak bisa diulang, tidak bisa dikendalikan. Jarak antara penelitia dengan
yang diteliti bersifat bias, dan baur. Objek penelitian ilmu sosial bukanlah
objek yang netral dan bisa dipisahkan secara “kaku” dari si peneliti.
Dengan demikian,
penelitian yang banyak dikembangkan dalam ilmu sosial yaitu jenis penelitian kualitatif, yaitu berusaha
untuk menemukan makna, pemahaman, dan nilai dari perspektif pelaku dan peneliti
secara ilmiah. Menurut Marsh dan Stoker (2010:240), walaupun agak diremehkan,
namun penelitian kualitatif merupakan arus utama dalam penelitian ilmu politik.
Kritik terhadap
penelitian kualitatif, berkisar pada beberapa aspek. Pertama, adanya krisis
representasi. Informan yang digunakan dalam penelitian kualitatif, kadang
bersifat kasuistik, atau sampel terbatas. Dengan demikian, segabai seorang
peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif, akan mengalami kesulitan untuk
melakukan representasi. Misalnya saja, dalam
studi kasus dengan pendekatan kualitatif, sulit untuk diposisikan
sebagai representasi dari sebuah fenomena politik. Kedua, krisis legitimasi.
Karena lemahnya representasi sumberdata,
menyebabkan legitimasi keilmiahannya menjadi diragukan, dan dianggap tidak bisa
digeneralisasi. Ketiga, adanya kecurigaan terhadap subjektivisme. Para pengguna
pendekatan kualitatif, kerap dicurigai memiliki kepentingan subjektif
dalam melakukan dan atau menjelaskan
fakta sosial yang sedang dikaji. Bahkan, secara lebih luas, pembiasan informasi
atau pemaknaan itu, bisa terjadi karena ada subjektivisme dari informan, atau
peneliti tersebut.
Dalam melaksanakan proses penelitian
kualitatif dilakukan proses-proses penelitian sebagaimana dikemukakan oleh Guba
dan Lincoln (Moleong, 2000: 4-8)[1].
Pertama, penelitian ini menggunakan latar alamiah
lingkungan social tempat masalah penelitian itu terjadi. Dengan kata lain,
penelitian ini memperlakukan kondisi alamiah kondisi sosial, suasana interaksi
sosial, serta kondisi fisik lingkungan
masyarakat secara alamiah. Tujuan dari penerapan strategi ini adalah untuk menjelaskan konteks menyeluruh dan
bersifat timbal balik, antara elemen
masyarakat dan factor lingkungan masyarakat dalam konteks lingkungan
alamiahnya.
Kedua,
menggunakan manusia sebagai instrumen.
Teknik ini merupakan hal yang paling pokok dari penelitian kualitatif. Kelebihan utama dari human instrument
dibandingkan dengan kuesioner atau instrumen yang lainnya adalah adanya
kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial di lapangan.
Ketiga, penelitian tidak menggunakan data-data yang
bersifat numerik, melainkan secara kualitatif. Tujuan penerapan metode ini adalah untuk memahami
realitas masyarakat dan atau perilaku
sehat yang dilakukan masyarakat.
Keempat, setelah data terkumpul maka dianalisis
dengan menggunakan pendekatan induktif (inductive
data analysis). Cara ini dilakukan agar
dapat digambarkan secara deskriptif, kaya data, dan bersifat kontekstual. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Moleong
(2000:5) pendekatan ini, digunakan supaya lebih dapat menguraikan
latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang
dapat-tidaknya pengalihan kepada suatu latar yang lainnya. Selain itu, penggunaan cara induktif ini dapat
menemukan pengaruh bersama dalam
mempertajam hubungan-hubungan antara data yang ditemukan di lapangan.
Kelima, teknik pengumpulan data dan pembuatan rancangan, dipandu dengan rancangan penelitian. Namun, rancangan yang
dibuat ini lebih bersifat sementara (emergent
design), artinya dalam penelitian kualitatif melihat realitas
bersifat ganda dan kompleks itu sulit dikerangkakan atau dipolakan
sebelumnya. Oleh karena itu, mengkaji
realitas sosial itu baru bisa dipolakan apabila sudah memasuki lapangan
penelitian.
Keenam, peneliti memfokuskan pada gejala
khusus yang terkait objek penelitian.
Namun demikian, penentuan fokus kajian (focus determined boundaries)
objek penelitian tidak tidak
dieliminasi, dibatasi secara tegas dan
dispesifikan, tetapi didekati secara holistik. Sehingga, kenyataan ganda yang ada dilapangan tidak
dihilangkan tetapi dihimpun menjadi satu bagian dalam menganalisis masalah
penelitian.
Ketujuh, setelah mendapatkan data dan melakukan kajian di lapangan, peneliti
merumuskan sejumlah kreteria derajat kepercayaan (creteria for trusworthiness) untuk mengukur objektivitas
penelitian. Dalam penentuan pendekatan pengukuran derajat kepercayaan ini,
peneliti merujuk pada pendapat Guba dan Lincol (Moleong, 2000:7) yang menyatakan bahwa pengujian tingkat
kepercayaan pendekatan kuantitatif berbeda dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini,
akan digunakan kriteria kredibilitas (diakui
dan mumpuni), transferabilitas (dapat
dialihkan pada kasus atau konteks lain),
independabilitas (saling keterkaiatn dan ketergantungan) dan konfirmabilitas (dapat dicek ulang)
sebagai kriteria kepercayaan penelitian kualitatif.
Kedelapan, process oriented. Peneliti, tidak berusaha untuk mengumpulkan
data secara lengkap dalam melakukan pembahasan. Melainkan, dilakukan secara
bertahap, dan intensif di dalam proses
pelaksanaan penelitian itu sendiri. Teknik ini, sejalan dengan pendapat
Moleong (2000:7) dan Muhadjir (2000:43)[2] yang mengatakan bahwa pendekatan kualitatif
lebih mendahulukan proses daripada hasil. Oleh karena itu, pencatatan dan
penganalisis data akan dilakukan sepanjang proses penelitian ini dilakukan.
Kesembilan, negotiated
outcome atau confirmated. Dalam langkah kesembilan ini, peneliti
melakukan negosiasi dan konfirmasi terhadap responden kepada informan. Dalam
langkah ini, hasil data yang dimaknakan atau ditafsirkan merupakan kesepakatan
antara peneliti dengan informan atau responden. Asumsinya adalah responden
lebih memahami dan mengetahui masalah penelitian. Sementara, peneliti hanyalah
merekonstruksi gejala sosial yang ada dilapangan, sebagai rumusan untuk
menjawab masalah penelitian.
Kesepuluh, untuk mengecek informasi yang
terkumpulkan, peneliti dapat melakukan focus
group discussion (FGD) dengan pihak terkait dengan tema sesuai objek penelitian.
Tujuan dari teknik ini yaitu untuk melakukan check and balance terhadap
sejumlah informasi yang didapat dari
subjek penelitian, sehingga rumusan penelitian ini dapat dijaga
validitasnya.
Sebagai implikasi dari penggunaan
metode kualitatif, maka laporan penelitian
akan berupa deskripsi data dari berbagai sumber data yang digunakan
dalam penelitian, sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran secara utuh
tentang gejala sosial yang sedang diteliti. Dengan demikian, penelitian
kualitatif yang dilakukan ini, dapat dikatakan pula sebagai penelitian yang
menerapkan pendekatan grounded theory
(teori dari dasar). Hal ini disebabkan bahwa peneliti kualitatif lebih
menghendaki bimbingan penyusunan teori
substantif yang berasal dari data. Dengan kata lain, pendekatan ini lebih menekankan teori
yang diangkat dari fakta-fakta empirik. Bangunan teori yang ingin dibentuk
bukanlah bersifat nometetik yaitu penentuan hukum yang bersifat umum, melainkan
yang bersifat ideografik yaitu penggambaran-penggamabran yang bersifat khusus.
Pendekatannya tidak dimulai dari apriori tetapi berangkat dari aposteriori.
Dalam kaitannya
dengan pengembangan pendekatan kualitatiif di bidang kajian sosiologi, ada
beberapa konsep yang memperkaya model penalaran yang dikembangkan sosiologi.
salah satu pandangan yang digunakan dalam sosiologi itu, yaitu dikenal dengan
penalaran etik dan emik. Sudut pandang etik, yaitu menggunakan standar dan
prosedur ilmiah dalam menganalisis perilaku atau fenomena sosial. Sedangkan
sudut pandang emik, yaitu berusaha
memahami makna perilaku atau budaya sosial sesuai dengan perspektif para
pelakunya. Dengan kata lain, sudut pandang itu lebih berpihak pada kerangka
standar baku keilmuan, sedangkan perspektif emik adalah berusaha memahami apa
yang dipahami masyarakat.
Bagi mereka yang
kurang cocok dengan salah satu pendekatan tersebut, maka dapat dilakukan dengan
cara memadukan kedua sudut pandang tersebut, atau dapat disebut dengan istilah
model etmi, yaitu pendekatan yang
berusaha menengahi antara sudut pandang etik dan sudut pandang emik.
Anthony Giddens,
telah melihat adanya pertentangan kedua sudut pandang yang berkembang dalam
sosiologi selama ini. Oleh karena itu, dalam menafsirkan perilaku sosial
tersebut, Giddens menyebutkan dengan istilah hermeneutika-ganda. Yang dimaksud
dengan hermenutika ganda yaitu :analisis relasi dan perbandingan antara
teoritik dengan empirik. Lebih jelasnya, Giddens mengatakan bahwa hermeneutika
ganda[3] :
The intersection of two frames of meaning as a logically necessary part of
social science, the meaningful social world as constituted by lay actors and
the metalanguages invented by social scientists; there is a constant 'slippage'
from one to the other involved in the practice of the social sciences.
Pitirim Sorokin
dalam mengembangkan sosiologinya menggunakan metode ”logico-meaningful’. Metode ini mencakup upaya penemuan prinsip
sentral tempat tersusunnya sebuah sistem dan yang memberi arti terhadap setiap
unsurnya. Jadi prinsip sentral ini mengintegrasikan berbagai susbsistem ke
dalam satu sistem yang utuh[4].
Dengan menerapkan prinsip ini, maka
praktek pemanfaatan layanan pengobatan, perlu dipahami dalam kerangka sistem
sosial yang lebih luas lagi. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dipahami
Emile Durkheim.
Max Weber
memberikan keterangan bahwa untuk menafsirkan suatu makna atau arti perlu
dibedakan dua kategori penjelasan, yaitu (1) penjelasan yang berupa pemahaman
langsung, tanpa melakukan pendalaman, dan (2)
pemahaman yang bersifat penjelasan atau ”erklarendes verstehen”. Pada jenis yang kedua ini, seseorang harus
melakukan kajian pendalaman terhadap motivasi dan makna kegiatan dari si pelaku
kegiatan itu sendiri. Sehingga penjelasan tersebut dapat menggali makna dibalik
apa yang dilakukan si pelaku[5].
Emile Durkheim
(1858-1917) berpendapat bahwa dalam melakukan kajian budaya masyarakat, perlu
memahami secara mendalam apa yang terjadi dan bagaimana masyarakat memahami
perilaku sosial-budayanya sendiri. Bahkan dalam mengembangkan analisa
antropologisnya tersebut, Durkheim berpegang
pada prinsip kunci ”jelaskan fakta sosial dengan fakta sosial yang
lainnya”[6]
Dalam memahami
fakta sosial pun, sosiologi lebih menekankan pada aspek ”apa yang terjadi (das sein)”, dan bukan apa yang seharusnya (das
sollen). Oleh karena itu, sosiologi tidak bekerja untuk menilai namun lebih
bertujuan untuk mendeskripsikan. Sudah tentu, pola pikir seperti ini tidak
menafikan pentingnya sikap kritis terhadap apa yang terjadi dimasyarakat. Oleh
karena itu pula, dalam mempelajari apa yang terjadi di masyarakat itu, sosiologi bukan hanya melihat apa yang tampak, tetapi memahami
hukum sosial dibalik apa yang tampak. Untuk mencapai tujuan ini, maka kembali
ke konsep sebelumnya, bahwa dalam menggunakan analisa sosiologis ini, setiap
sosiologi dituntut untuk mengembangkan sikap etmik.
Di luar jenis penelitian itu, ada dua
jenis penelitian lain yang berkembang saat ini. Yaitu pendekatan mixed
approach, atau pendekatan pemadukan (integrated) antara kuantitatif dan
kualitatif. Hanya saja, persoalan dalam
penelitian tidak berarti bahwa pendekatan itu dilakukan secara campur-aduk.
Tekniknya ada yang berupa dominan-satu teknik dibandingkan dengan pendekatan
lainnya.
Marsh dan Stokker (2010), menyebutkan
jenis lain, yaitu jenis pendekatan komparatif.
Melakukan studi penelitian politik dengan memandingkan antara satu fakta
politik dengan fakta politik lain, atau antara fenomena politik pada satu
negara dengan fakta politik di negara yang lainnya. Inilah yang disebut dengan
studi komparasi dalam ilmu politik. Salah satu hasil dari pendekatan ini, yaitu
adanya perbandingan sistem politik, atau perbandingan lembaga politik. Robert Dahl
dan Gabriel A. Almond (Masoed dan MacAndrews, 1995:21-32) adalah dua tokoh yang
getol dalam melakukan analisis perbandingan antara sistem politik satu negara
dengan negara yang lainnya.[7]
[1]
Moleong, L.J. 2000. Metodologi Penelitian
Kualitatif.
[2] Moehadjir,
Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif.
[3]
Lihat Giddens, Anthony. 2003. The Constitution of Society : Teori
Strukturasi Untuk Analisis Sosial. Penerjemah Adi Loka Sujono.
[4] Robert
H. Lauer. Perspektif Tentang Perubahan
Sosial. Jakarta : Bina Aksara.1989
[5] Anthony Giddens. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. UI
Press. : 1985. Penerjamah Soeheba Kramadibrata.
[6] Lihat Victor Karady. “Emile
Durkehim” dalam dalam Adam Kupper dan Jesisca Kupper. Ensikloperdia Ilmu-Ilmu Sosial.
[7] Mohtar Masoed dan Colim MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik.
Jogjakarta : UGM Press.
0 comments:
Posting Komentar