Mungkin ini, sekedar komentar pinggiran. Tak bermaksud untuk mengulas sejarah atau konsep mengenai deep learning. Tersebab, konsep deep learning itu, bukan hal yang baru dalam dunia pendidikan, pemikiran atau sejarah intelektualitas. Setidaknya, itulah yang dapat kita simpulkan dari pemikiran Ian Goodfelow, dkk (2016). Dalam pandangannya itu, pemikiran mengenai deep learning sudah berevolusi, setidaknya sejak 1940-an.
Saat ini, masyarakat kita, khususnya dunia pendidikan, sedang diramaikan dengan bincangan mengenai rencana baru Kementerian pendidikan dasar dan menengah. Mereka sedang menggodok rancangan kurikulum deep learning, yang diharapkan akan meningkatkan kualitas dan layanan pendidikan di Indonesia.
Bahkan, untuk konteks pemikiran Islam, misalnya, Pemikir Turki, yang sempat popular di tahun 2000-an, yakni Harun Yahya, sudah pula mengenalkan konsep deep thinking. Begitupula dengan Gary Kasparov (2016). Apakah konsep deep thinking ini akan membersamai konsep deep learning ? bisa, ya, bisa tidak !
Tetapi, hal yang menarik untuk
disampaikan di sini, adalah mendiskusikan mengenai kepatutan penggunaan konsep
tersebut. Sekali lagi, kita tidak dimaksudkan untuk mengulas sejarah pemikiran
atau evolusi pemikirannya. Ulasan ini, lebih mengarah pada penggunaan
istilahnya. Mohon, maaf, mungkin hal ini, akan terasa mengada-ada, atau dangkal.
Tetapi, dalam hemat penulis, narasi ini tetap penting untuk disampaikan di
sini.
Pada mulanya, istilah deep learning digunakan untuk menggambarkan pola kerja computer yang bersifat logis, dan algoritmis. Sifatnya structural dan dengan pola yang kompleks, atau mendalam. Pola pikir serupa ini, secara filosofi merujuk pada karakter berpikir manusia, namun kemudian hari ini dianggapnya sebagai pola pikir khas komputasional. Kira-kira demikianlah, sederhananya mengenai deep learning.
Untuk menanggapi konsep deep
learning, kita akan terrangsang untuk menggunakan pola pikir dikhotomis.
Artinya, jika ada yang deep (mendalam), berarti ada pula pola pembelajaran yang
‘tidak mendalam’, tetapi meluas (broad learning).
Mengapa demikian ?
Ya, setidaknya, bila kita meniru
pandangan Edward de Bono. Saat dia mengajukan pandangan mengenai lateral
thinking, pun kemudian diiringi dengan pemikiran mengenai vertical thinking. Rasanya,
tidak jauh dengan pemahaman serupa itu, deep learning memiliki karakter yang
selaras dengan vertical thinking, sedangkan lateral thinking akan bersamaan
dengan pemikiran mengenai broad learning.
Artinya, untuk pembelajaran di kelas, yang kita butuhkan itu adalah pembelajaran mendalam atau pembelajaran meluas (deep learning atau broad learning). Lebih baik tahu banyak tentang sesuatu hal, atau mengetahui lebih banyak sesuatu hal, walaupun sedikit-sedikit ? bisa jadi, kurikulum selama ini, dinilai broad learning. Banyak mata pelajarannya, banyak pokok bahasannya, namun hanya sedikit terkuasainya. Sehingga, orang memandangnya, tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang peserta didik.
Atau kalaupun hendak dipikir ulang, sejak kapan kita belajar mendalam, dan kapan kita membutuhkan model pembelajaran yang luas. Pertanyaan ini, penting diajukan, dengan maksud, untuk menjaga kualitas dan karakter peserta didik itu sendiri.
Namun demikian, pertanyaannya, mempersiapkan generasi muda masa depan ini, deep learning atawa broad learning, sebuah pilihan !!
0 comments:
Posting Komentar