Just another free Blogger theme

Minggu, 18 Agustus 2013

Popularitas opor ayam, sudah tidak disanksikan lagi. Di hari lebaran lalu, makan ini, menghiasi tiap rumah, dan juga menjadi impian pemburu kuliner.

Hal unik,  kendati bersifat tradisi, tetapi memiliki banyak arti. Kendati sudah biasa, tetapi sarat dengan makna. Kendati sudah berulang, tetapi menyimpan sejumlah kenangan.

Opor Ayam, selain memiliki kekhasan momentum, juga sarat dengan pengaruh keruangannya, dan itu adalah tanda dari keruangan keindonesiaan.





Lebaran baru saja berlalu. Aroma lebaran sudah mulia sayup-sayup. Baju baru sudah mulai redup. Harumnya opro ayam pun sudah mulai lenyap. Sayang memang. Keindahan dan kemenangan lebaran itu seolah hanya sesaat. Kemenangan lebaran itu hanya sehari. Selanjutnya kita kembali ke medan perjuangan, dengan resiko entah akan menang lagi atau kalah ?!

Walaupun sudah mulai sayup-sayup, tetapi kenangan dan memori mengenai makanan, masih saja tersisa. Seolah ada cincangan daging ayam yang tertinggaldi sela-sela gigi kita. “emm, walaupun sudah tidak terasa lagi, tetapi enaknya masih bisa dibayangkan..”.

Sebagaimana yang dikatakan Anthony Giddens,  ada sebagian tindakan kita yang sifatnya tindakan tidak di sadari. Tindakan itu bersifat tradisional, rutin dan formalitas.  Kegiatan dan tindakan itu, tanpa melibatkan kesadaran dan pemahaman mengenai apa yang dilakukannya. Seperti halnya, saat kita makan opor ayam di hari lebaran.

Mengapa hal itu dilakukan, dan mengapa harus opor ayam, kenapa tidak bubur ayam atau ketan bakar ?
Pertanyaan sederhana, dan cenderung dianggap konyol. Tetapi, bagi Anthony Giddens, hal itu adalah hal alamiah dan ilmiah. Sejatinya, kita memang patut mempertanyakan, berbagai hal yang terkait dengan kita, termasuk tradisi makan di hari lebaran.

Deidreâ D. Matthee (2004), adalah salah satu dari peneliti yang memberikan perhatian terhadap tradisi makan.[1] Deidreâ D. Matthee melakukan penelitian mengenai ritual makan di Provinsi Western Cape di Afrika Selatan. Salah satu diantara pertanyaannya itu adalah apa makna dari ritual makan yang mereka lakukan ? ritual makan, mulai dari proses mencari bahan makanan, memasak, sampai pada praktek makan yang dilakukan seseorang atau komunitas, sudah tentu perlu ditemukan tafsir sosialnya, sehingga didapat makna yang relevan dengan konteks keruangannya.

Sebagaimana yang juga diasumsikan oleh Deidreâ D. Matthee, ritual makan itu pada dasarnya perlu dipahami dalam konteks ruang (spatial context). Ritual makan tidak bisa dilepaskan dari ruang. Perbedaan ruang melahirkan adanya perbedaan ritual makan dan komoditas makanan yang dikonsumsinya.

Bagi masyarakat  Indoensia, misalnya, opor ayam menjadi mudah ditemukan di saat lebaran. Tetapi, kita akan melihat dan menemukan fakta, bahwa opor ayam itu akan sulit ditemukan di luar Indonesia.  Kendati satu Indonesia, opor ayamnya bisa sama ‘nama’ tetapi, menu dan makanan pendampingnya akan berbeda.

Dalam kaitan itulah, geografi emosi (emotional geography) dari ritual makan itu menjadi penting untuk dicermati. Tampaknya, muncul dan maraknya ritual makan opor ayam di Indonesia itu, terkait dengan beberapa fakta keruangan yang ada di negeri ini. Pertama, membuat opor ayam tidak akan terasa nikmat, kalau tidak pakai ketupat. Sementara, media membuat ketupat, yaitu daun kelapa adalah khas kawasan tropis. Seiring perkembangan memang ada perubahan media yang digunakan dalam membuat ketupat itu, tetapi asal dari proses pembuatan ini adalah daun (kelapa).

Kedua, opor ayam memiliki kandungan gizi, 75% lemak, 6% karbohidrat, 19% protein. Kandungan kalori yang termuat dalam opor ayam, sekitar 253,6 Kal/porsi.  Apakah hal ini, juga ada kaitannya dengan tradisi pekerja pada masyarakat Indonesia, yang kemudian seolah membutuhkan kalori besar ?

Masalah terakhir, yaitu sumberdaya bumbu masaknya, berbasiskan pada rempah-rempah dan racikan santan. Bumbu masak itu adalah khas Indonesia. Karena itu,  popularitas opor ayam, selain memiliki kekhasan momentum, juga sarat dengan pengaruh keruangannya, dan itu adalah tanda dari keruangan keindonesiaan.



[1] Deidreâ D. Matthee . 2004. Towards an Emotional Geography of Eating Practices: an exploration of the food rituals of women of colour working on farms in the Western Cape. Gender, Place and Culture,  Vol. 11, No. 3, September 2004. Penerbit Taylor & Francis Ltd.
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar