“mana japrem…!!” sambil menyodorkan
tangan secara terbalik, tanda meminta sesuatu. Japrem atau jatah preman, adalah
istilah yang digunakan oleh para pemalak di pinggir jalan. Mereka merasa
memiliki hak untuk mendapatkan jatah pendapatan, dari siapapun yang menggunakan
fasilitas di lokasi tempat dia berkuasa, misalnya di persimpangan jalan, di
keramaian, atau di pusat kegiatan. Japrem, itulah istilah yang biasa
digunakannya.
Istilah japrem ini,
tidak sedikit yang menggunakannya. Seorang teman, yang mau mutasi dari satu
instansi ke instansi lainnya, menuturkan, bahwa dirinya habis sejumlah rupiah
dalam mengurusinya. “tidak ada yang gratis di negeri ini…” ujarnya, sambil
membawa SK (Surat Keputusan) mutasi. Memang
tidak ada aturan, dan tidak ada ucapan jelas dari si pemegang kekuasaan, tetapi
saat SK itu tidak kunjung tiba ke pemiliknya, itu menandakan ada masalah “bensin”
yang tidak memuluskannya.
Untuk kenaikan pangkat, seorang pegawai negeri harus membayar. SK yang sudah ada dipihak kepegawaian, tidak kunjung dibagikan. Biasanya argumentasi yang disampaikan adalah belum selesai, dan belum selesai. Anehnya, beberapa teman yang lain, sudah turun. Persoalannya ternyata bukan belum selesai, tetapi “belum selesai masalah bensinnya”. Japremnya belum ada.
Cermati informasi yang
diturunkan oleh sejumlah media massa yang ada di tanah air kita ini.
Pekanbaru.
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Riau melakukan pungutan liar terhadap
CPNS formasi tahun 2009 yang akan mengambil Surat Keputusan (SK) sebagai PNS.
Satu CPNS minimal membayar Rp 200 ribu per orang dengan jumlah CPNS sebanyak
452 orang.[1]
Dugaan praktik pungutan liar (pungli) kembali mencuat di lingkup Pemkab Sidrap. Kali ini menimpa pegawai honorer dan sosial, baik tenaga guru maupun staf pegawai dan bujang sekolah yang dibawahi Dinas Pendidikan (Disdik).Dari pengakuan sejumlah tenaga honorer, mereka dipungut pembayaran sebesar Rp100 ribu per orang saat memperpanjang SK (surat keputusan) pengangkatan. Bahkan informasi yang diperoleh, sudah ada 100 orang lebih tenaga honorer yang terlanjur membayar sebesar itu. Pembayaran tebusan perpanjangan SK itu sudah berlangsung sejak bulan lalu.[2]
Sejumlah guru madrasah yang lulus sertifikasi di lingkungan Kementrian Agama Aceh Utara, mengeluhkan uang setoran Rp 200 ribu yang diminta oleh sejumlah kepala sekolah madrasah yang tergabung dalam Kelompok Kerja Kepala Madrasah (K3M) dengan dalih untuk biaya pengurusan SK Dirjen di Jakarta.[4]Pengambilan Surat Keputusan (SK) 100% Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Medan diwarnai praktik pungutan liar (Pungli). Informasi dihimpun Harian Orbit, Selasa (7/8), pengutipan liar itu dilakukan oleh oknum PNS Disdik Medan yang bertugas menyerahkan SK itu. Setiap PNS dikutip biaya Rp100 ribu. [3]
Informasi-informasi itu menunjukkan bahwa praktek japrem masih terjadi, diberbagai kota di Indonesia. Untuk mengurusi CPNS, PNS, Kenaikan Pangkat, masih saja diwarnai oleh pungutan-pungutan liar, dengan besaran yang tidak kepalang tanggung. Fenomena dan praktek seperti inilah, yang kita sebut sebagai praktek pendapatan bawah tanah, atau underground income.
[1] Diunduh
dari http://www.medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2011/04/19/29652/ambil-sk-cpns-di-riau-harus-bayar-rp-200-ribu/#.VShT1_CcjHw
[2]
Kejadian di Sulawesi Selatan, tahun 2015, informasi diunduh dari http://beritakotamakassar.com/sulselbar/item/11959-perpanjang-sk-honorer-bayar-rp100-ribu
[3] Diunduh
dari http://www.harianorbit.com/ambil-sk-pns-disdik-medan-bayar-rp100-ribu-segera-tindak-tegas/
[4] Berita
diturunkan tahun 2013, informasi ini dikutip dari http://www.jpnn.com/read/2013/12/19/206479/Urus-SK-Sertifikasi,-Guru-Harus-Setor-Rp-200-Ribu
0 comments:
Posting Komentar