Dalam
seminggu terakhir ini, khususnya di media massa dan media sosial, banyak yang
membincangkan mengenai foto selfie. Foto selfie yang banyak dikomentari itu,
khususnya yang menampilkan perilaku atau
situasi aneh-aneh. Ada yang selfie di jalan raya, selfi di jembatan, bahkan
selfie shalat berjamaah di jalan raya.
Sebagaimana
kita ketahui bersama, bahwa di era teknologi informasi, setiap orang memiliki
kebebasan yang luas untuk mempublikasikan pikiran, perasaan, dan juga
dokumentasi fotonya. Termasuk masalah foto selfie tersebut. Hadirnya foto selfie itu, kemudian memancing respon yang beragam dari
masyarakat. Seperti mudah ditebak, ada yang pro. Kontra, atau malah abai terhadap fota selfie
tersebut.
Dalam kesempatan ini, kita akan mencoba melihat foto selfie dari sisi ruang (space atau place), atau lebih ‘ilmiahnya’, akan memanfaatkan perspektif geografi perilaku, dalam memahami perilaku selfi dari anak muda sekarang ini.
Place atau space (tempat atau ruang) memiliki makna tersendiri. Keunikan
tempat akan menjadi cerita keunikan tersendiri, dan melahirkan persepsi serta
apresiasi yang berbeda. Sebuah ruang akan diapresiai beda, oleh setiap orang,
termasuk oleh para pelaku selfie.
Gejala itu adalah gejala objektif dalam kehidupan manusia. Bahkan, karena pengaruh ruang dan tempat, sesuatu bisa bermakna beda. Beli tahu sumedang di Jakarta, akan berbeda makna budaya dengan beli tahu Sumedang di kota Sumedangnya langsung. Beli Dodol Garut akan memiliki makna-budaya luar biasa, bila dibandingkan dengan beli dodol Garut di Bandung. Seorang yang baru pulang haji, akan diapresiasi tinggi oleh tetangganya, bila membawa air zam zam yang langsung dibawa dari Tanah Suci, dibandingkan zam zam yang ketahuan dapat beli di Tanah Abang Jakarta, misalnya. Hal itulah, yang kita sebut, bahwa ruang atau tempat (space atau place) memiliki cerita tersendiri bagi manusia.
Melalui
dokumentasi tertentu, tempat atau ruang bisa menjadi penggenap dari sebuah
pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Dari konteks itulah, maka mudah
dipahami, jika banyak orang berupaya untuk selfie di tempat-tempat yang unik.
Keunikan sudah tentu, bukan sekedar dilihat dari destinasi wisata. Keunikan bisa dilihat dari sisi keekstriman, berbahaya, tidak biasa, aneh, atau belum pernah. Istilah unik, tidak bisa kita batasi dalam persepsi kita. Keunikan tempat itu, diambil dari persepsi pribadi dari pelakunya itu sendiri.
Selfi
di depan kelas adalah biasa, bagi sebagian orang. Tetapi selfi di kelas saat
guru lengah, akan menjadi cerita luar biasa. Selfi di mall adalah biasa bagi
sebagian orang, tetapi selfi di mall saat ada pegawai (Sales Promotion Girls/PG) cantik atau gagah, akan menjadi peristiwa
luar biasa. Selfi di keramaian kota adalah biasa, tetapi selfie di tengah
keramaian penggerebekkan terorisme adalah hal luar biasa. Keunikan tempat,
peristiwa atau situasi, akan menjadi pemantik dan sekaligus pemancing para
selfi untuk mendokumentasikannya.
Dengan demikian, apakah jika ada yang berselfi di tengah keramaian jalan raya dapat dianggap wajar ? mungkin tidak wajar. Tetapi, dengan ketidakwajarannya itu, mereka sudah merasa ‘dapat’ keunikannya. Itulah target dari selfie. Berselfie di tempat keramaian, sudah mereka dapatkan keunikannya, dan menjadi ‘berita’ bagi siapapun yang melihat atau menikmati foto tersebut.
Ramainya
media social dalam membincangkan masalah selfie ini, biasanya terkait dengan
adanya anak muda yang selfie di tempat yang tidak wajar, atau malah menggangu
emosi, norma atau nilai social. Berselfie di jalan raya, adalah salah satu
diantaranya. Berselfi di jalan dan
shalat berjamaah di jalan, adalah contoh yang lainnya.
Bagaimana
kita mengartikan hal ini ?
Kita, sebagai bangsa yang berbudaya, memang tengah mengalami transisi budaya. Kita, bangsa Indonesia, beralih dengan cepat, tak terkendali dari tradisi agraris menjadi budaya masyarakat informatik. Kekagetan budaya, kegamangan budaya, atau kesalahkaprahan sikap dalam berbudaya kerap kali terlihat di masyarakat kita. Berselfie adalah salah satunya.
Kita
perlu tegaskan di sini, berselfie adalah hak setiap orang. Setiap orang
memiliki kewenangan yang luas untuk mendokumentasikan diri, peristiwa atau
gejala sesuai dengan ekspektasinya.
Tetapi, kebebasan itu, tidak bersifat anarkhis.
Publik insya Allah masih ingat, bagaimana masyarakat Amerika Serikat mengecam foto selfie Barack Obama di tempat berkabung, Nelson Mandela di Afrika Selatan. Amerika Serikat yang kita kenal berbudaya liberal, dengan keras mengecam selfienya Pemimpin Negaranya.
Aspek
yang dikecam bukan aspek kebebasan individual Barack Obama. Bukan itu.
Persoalannya bukan pada pribadi Obamanya. Persoalan pokoknya adalah pada
situasi dan tempatnya. Di lokasi berkabung, saat orang dirundung duka, secara
‘etika’ bukan tempat yang cocok untuk berselfie.
Dalam konteks itulah, lembaga pendidikan dan media massa, hendaknya menjadi bagian penting dalam menceramahkan selfie yang ramah budaya, atau ramah lingkungan. Artinya, perlu ada sosialisasi dan pencerahan kepada anak muda, bahwa selfie itu adalah hak, tetapi selfie yang ramah budaya, seperti penghargaan terhadap nilai dan norma masyarakat, harus tetap diperhatikan.
Pada
sisi lain, selfie pun harus ramah lingkungan. Setiap orang berhak untuk
berselfi, tetapi perhatikan ruang dan tempatnya. Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, ruang akan menggenapkan makna pesan dari selfie itu sendiri, tetapi
jika ada kontradiksi ruang, maka akan menjadi gunjingan orang. Berselfi di tempat berkabung, berselfi di
rumah duka, berselfi di keramaian jalan raya, berselfi saat orang lain
beribadah, adalah beberapa tempat yang bisa menuang kontradisi ruang. Terlebih lagi, bila berselfi yang mengganggu
ketentraman dan kenyamanan ruang publik.
0 comments:
Posting Komentar