Just another free Blogger theme

Minggu, 31 Mei 2015



“Mang Ade, tolong bunga yang ada di pot itu, disiram, ya..” pintaku padanya. Mang Ade ini, adalah salah satu cleaning service yang ada di sekolah. Ada sekitar 7 (tujuh) orang yang menjadi CS di sekolah ini. Tetapi, untuk urusan yang satu ini, yakni rawat merawat tanaman, banyak pihak percaya pada Mang Ade yang satu ini.

“baik, Pak…” ungkapnya sambil tersenyum, “kayaknya, bapak kesengsem banget ya, sama bunga yang satu ini…!”  goda Mang Ade, padaku. Dikomentari begitu, saya hanya tersenyum. Agak malu sih, dibilang begitu, tapi apalah artinya rasa malu, daripada melihat bunga itu layu, bisa-bisa alamat yang tidak inginkan bakalan terjadi lebih buruk lagi.

“jangan lupa, tiap hari, siramin…?” pintaku sekali lagi.
“ember ada kok, pak, di belakang kelas, dekat kamar mandi siswa, kalau mau siram-siram, he..he..…” tawanya lagi, “biar, bisa siram-siram sendiri…”

Sambil mengucurkan tetesan air ke atas bunga-bunga yang ada di sekitar sekolah, Mang Ade pun menuturkan kisah hidupnya dalam merawat bunga. Cukup banyak bebungaan yang ada di sekitar kampus Madrasah itu. Sebagai salah satu tenaga pendidik yang sudah mengajar sejak tahun 2008, hampir tidak bisa menghitung jumlah bebungaan yang ada di kampus itu. Tetapi, hal pasti, hanya Mang Ade inilah, yang dipercaya menyiraminya.

Saat itu, saya sendiri, tengah mengajar di kelas XII IPS-3. Di sela-sela mengajar, selalu menyempatkan diri, melirik, dan menikmati salah satu bunga yang indah, yang ada di sekitar kelas itu. Sudah hampir satu tahun terakhir, saya tertarik dengan bunga tersebut. Kata orang, bunga itu, adalah bunga Melati. Melatih warna putih atau disebut jasminum sambac.

Dari jauh kelihatan cerah. Dari dekat tercium harum. Daunnya hijau menyejukkan, serat dan urat daunnya tegas mengkilat. Enak di lihat, harum dicium, dan membuat segar mata, untuk menatapinya.

Kendati sudah lima tahun lebih mengajar di madrasah ini, tetapi hanya setahun terakhir inilah, perasaan ini terikat kuat pada melati yang ada di depan ruang kelas ini. Sebelumnya, biasa-biasa saja. Padahal di taman madrasah ini, cukup banyak bebungaan yang tumbuh. Bahkan, disetiap semester, kerap kali ada pelajaran PLH (pendidikan Lingkungan Hidup) mengajak siswa untuk menanam jenis tanaman atau bunga baru, di sekitar sekolah. Karena itu, tidak mengherankan, bila kemudian banyak tumbuh bunga di sekitar itu. Seperti yang ada di depan kelas XII IPS-3 tahun ini.

Entah apa yang terjadi dalam diri ini. Untuk bunga yang satu ini, terasa sangat kuat magnetnya. Jika liburan panjang pun, pikiran ini, senantiasa ingin sekali untuk segera balik lagi ke kampus untuk mengajar. “bukan mengajar sih, tetapi hanya melihat bunga melati yang ada di taman itu..”.

Untuk sekedar mengisi kekangenan pada bunga itu, saya sempat-sempat menelpon Mang Ade untuk bisa merawat dan menyirami bunga itu. “Siap pak, si Melati itu, sudah saya siram…” ungkapnya, “aman, masih segar dan tetap putih mengkilat,…” paparnya kepadaku, dari ujung telepon yang dia pegang.

Ada yang sempat komentar. “Kenapa begitu gila terhadap bunga itu ?” mereka berkomentar yang beragam, dan seolah, saya termasuk orang yang sedikit tidak rasional, aneh, gila, saat mencintai bunga melati itu. Saya sendiri hanya berkomentar, “apa bedanya, dengan kegilaan orang lain terhadap batu akik…!” ungkapku, “setiap detik, ngegosok, setiap saat bicara batu. Hampir di setiap ada butiran tergeletak, kendati itu adalah biji salak, dikiranya batu akik saja…” ungkapku.

Mendengar komentar itu, mereka pun tersenyum. Memang, untuk sebuah hobi, kadang nalar itu, tidak ada gunanya. Rasalah yang banyak berfungsi dalam membincangkan masalah itu. Termasuk apa yang sedang kurasakan saat itu.

Hingga suatu hari, seorang pelatih Lingkung Seni saat hendak tampil dalam salah satu event madrasah, bermaksud untuk menghiasi salah satu penari tari merak, dengan bunga, aku pun sempat cemberut dibuatnya. “kenapa harus bunga itu, yang dipetik…!” hardikku padanya.
Melihat dan mendengar reaksiku seperti itu, dia hanya hanya tersenyum. “lho, bukankah bunga itu, yang paling indah di sini…?” ungkapnya singkat.

“tapi, yang jangan dipetik sekarang dong, biarkan tumbuh dulu…”
“ha..ha…” dia malah tertawa, “bapak ini, sekarang menjadi aneh, kok emosional begitu…” koment-nya lagi, “katanya, bunga ini adalah bunga yang terindah di madrasah kita ini, kalau memang terindah, dan kemudian dikenakan pada penari merak nanti, akan tampak lebih indah lagi…” katanya lagi, “coba nanti, nikmati keindahan tarian dari bunga itu….”?

“emang siapa, yang akan menjadi penarinya…?” tanyaku padanya.
“adalah, nanti lihat saja, pokoknya, bakalan tampil sangat  menarik…” jaminya padaku. Mendengar penjelasan serupa itu, perasaan ini sedikit reda, dan mulai membayangkan, apa yang akan terjadi di esok hari, saat tim upacara adat mengenakan bunga melati, yang ada di taman kelas itu.

Sedikit emosional. Itulah yang dirasakan, saat mendengar dan melihat pelatih ekstrakurikuler lingkung seni madrasah bermaksud memetik bunga melati, untuk dijadikan taburan bunga di perhelatan upacara adat. Perhelatan yang kali ini, dilakukan, adalah perhelatan upacara adat Wisuda atau acara perpisahan anak kelas XII Tahun 2014-2015.

Wisuda kelas XII Tahun 2014-2015 beberapa detik lagi akan dimulai. Para penari upacara adat, sudah disiapkan oleh sang pelatih, dari balik panggung. Tampak para penari, yang terdiri dari anak-anak kelas X dan XI Madrasah, terlihat cantik dan lucu dibuatnya. Hampir ada 35 orang personil yang tampil dalam upacara adat itu. Sebagian diantaranya, ada yang menjadi tim musiknya.

Saya sendiri tidak memperhatikan mereka. Fokus saya, tetap saya, kepada para penari, khususnya penari merak, dan para dayang, yang akan menaburkan melati ke wisudawan. Inilah peristiwa yang menjadi awal kegelisahan itu terjadi.

Saat, gong mulai berbunyi. Alunan sinden mulai mengudara. Rangkaian tarian pun mulai tampak. Tampillah, ‘pengantin wisuda’ yang diiring oleh pimpinan madrasah,dan juga para guru, berjalan lamban, menuju panggung yang sudah disediakan sebelumnya. Upacara adat kali ini, dan upacara wisuda kali ini, dilaksanakan di lapangan olahraga madrasah, persis di depan kelas XII madrasah.

Mereka berjalan santai, anggun tetapi berwibawa masuk ke lapangan upacara prosesi wisuda. Musik pun mengalun sendu dan merdu, mengiring jalannya pasukan pengantin wisuda. Dan, saat itu pula, sesaat itu pula, gemulainya penari merak mulai meriuhkan para penonton.

Prok…prok..prok…
Tepuk tangan, dan riuhnya siulan menggema di ruangan tersebut. Para penari merak keluar, dengan menaburkan bunga melati, mengharumkan perjalanan dan pejalan prosesi wisuda kali itu. Mataku terbelalak, melihat, sang melati terbang ke langit, dan kemudian melayang di udara, sesaat melayang-layang ke sana kemari, kemudian jatuh ke lantai.

‘ehmmmmm,…..” desah nafasku tak kuasa ditahan. Melihat bunga melati berjatuhan, tergeletak, dan bertebaran di lantai, terasa haru, dan sedikit mengiris hati. “mengapa harus begini, dan mengapa harus begitu…”ungkapku dalam batin.

Kadang tersenyum di buatnya, saat ada beberapa helai melati, nempel ditubuh penari, penari merak yang cantik jelita, atau pengantin yang mengiringinya. “wah, selamat, bunga melati itu tidak jatuh ke tanah…”, ungkapku dalam hati.

Prosesi wisuda memakan waktu lama, hampir 40 menit. Tetapi, perasaan ini, merasa haru, kaget, gelisah dibuatnya, lebih lama dari praktek upacara adat tersebut.
Karena, orang lain bertepuk tangan gembira dan bersuka cita, bahkan, sang pelatih lingkung seni pun, melirik ke wajahku, sambil tersenyum, tandanya bahagia, aku pun terpaksa tersenyum, dengan maksud untuk tidak mengubah suasana.

Prosesi wisuda ini, adalah perhelatan terakhir, anak kelas XII. Di tahun ini. Setelah perhelatan ini, tidak ada kegiatan lain lagi, bagi anak kelas XII, dan mereka resmi menjadi alumni dari madrasah ini.
Peristiwa itu tidak bisa diingkari, dan tidak perlu disesali. Itu adalah hal biasa. Tetapi, ada satu peristiwa yang mengerikan, dari peristiwa di ujung ini.

“bapak, dan ibu, yang kami hormati..” ujar pimpinan madrasah, “sebagai tanda terima kasih kepada orangtua atau wali siswa, secara resmi, kami serahkan kembali putra-putri ini, kepada orangtuanya di rumah. Kami sudah memberinya bekal pengetahuan selama 3 tahun, dan kini, akan kami kembalikan kepada orangtua masing-masing…”ujarnya.

Ungkapan itu, ternyata belum berakhir. Hingga menjelang bubar, datang seorang ibu muda, dengan mengaku sebagai seorang bibi dari seorang siswi di kelas XII IPS-3.  Dia langsung menghadap ke wali kelas, dan mengajukan permohonan untuk meminta izin, membawa bunga melati yang ada di depan kelas itu.

Luar biasanya lagi, sang wali kelas, yang dikenal baik, dan santun, kemudian berkata, “oh, boleh, bunga melati itu memang ada di depan kelas. Banyak kok, bunga seperti ini di madrasah ini. Kalau berminat, silahkan ambil satu sebagai kenangan, buat ibu…”

Saya tidak melihat transaksi itu. Tetapi, itulah cerita yang dituturkan wali kelas kepadaku, saat menceritakan akhir dari kisah bunga melati itu. Hingga, sore itu, dihari wisuda itu, mata saya, hanya melihat lambaian dedaunan melati, yang kini pergi dari madrasah, dan tidak pernah yakin dia bisa balik lagi.

Punggung dua perempuan berkebaya kuning, membelakangiku. Mereka tampak ceria, dan bahagia, berjalan meninggalkan kampus madrasah, sambil membawa bunga melati, yang menjadi hadiahnya dari wali kelas tadi. Seolah tak kan pernah kembali. Mereka membelakangi terus, dan tidak sedetik pun menoleh lagi ke belakang, ke kerumunan orang yang masih sibuk dengan acaranya masing-masing. Sore itu, sekitar pukul 14.00 WIB, mereka pergi, entah kemana.

Selamat jalan melati, kau pergi mungkin akan menjadi milik dari orang yang membawamu kini, yang tertinggal, sebait puisi, sebagai kenangan untuk melati dari IPS-3 tahun ini.

di jalan itu, hanya ada satu bunga
entah siapa yang menanam, atau yang menyirami
hal pasti, setiap pejalan kan menikmati indahnya dari jarak yang berbeda diantara mereka

bunga mekar, menuju sinar mentari
tangan melambai, asa menjulang
menjulur ke langit, bermaksud menyentuhnya
walau tidak ada yang tahu, kapan akan tergapainya

di bumi,
jejak akar masih tampak basah
bahkan, bisa basah untuk waktu yang sangat lama,
yang kutahu,
pak ade, masih menyiraminya
berharap lahir kembali bunga,
yang kan mekar di taman kelas
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar