“ayo, kita beradu muncang…!” ajak
Akbar, padaku.
“oke. Siapa takut…!” jawabku
singkat, tapi diliputi keraguan. Ragu, karena selama ini, belum pernah
mengikuti kegiatan “ngadu muncang”. Ragu, karena belum pernah memegang muncang,
untuk beradu dalam sebuah permainan. Selama ini, hanya tahu, bahwa muncang itu
adalah satu bahan bumbu masak, yang biasa dipakai sama ibu di dapur.
Pernah dengar nama permainan ini.
Tetapi, hingga sore itu, belum pernah hadir di tempat permainan itu. Karena,
agak ragunya juga, untuk menyahuti tantangan Akbar. Tapi, walau demikian, demi
sebuah persahabatan, dan juga perkenalan dengan hal baru, kesempatan yang baik
ini, tidak boleh diabaikan begitu saja.
“datang aja, ya, minggu pagi ke Gang
Misna…” ujarnya, sambil menunjukkan salah satu lokasi, yang biasa digunakan
untu adu ketangkasan dalam beradu muncang.
Di malam minggunya, tidak tenang hati. Tidak nyaman untuk tidur. Maklum, pertandingan besok, adalah pertandingan baru, yang belum pernah dijajakinya. Karena tidak tahu, apa yang harus dilakukan, akhirnya, kantuk tak bisa dilawan, lelahpun tak bisa dihadang. Tidurlah sudah. Malam itu.
Berbeda dengan Akbar. Selepas shalat
isya, kemudian dia mengambil beberapa biji muncang (kemiri) yang akan dipertandingkan
besok. Kulit muncangnya dibersihkan, hingga bersih. Untuk menguatkan dan
mengkilatkan warna muncang, kemudian direndamnya muncang itu. Sebenarnya,
perendaman itu, tidak perlu lama, ada yang setengah jam, ada satu jam, tapi
Akbar rada nekad, merendamnya dalam semalaman, dengan maksud supaya besok hari
bisa tampil perkasa, dan memesona.
Matahari pun belum sempurna muncul. Tetapi, beberapa anak muda, dibawah usia 17 tahunan sudah mulai berdatangan ke lokasi permainan ngadu muncang. Lokasi ini, ada di Gang Misna, tepatnya dibelakang sebuah rumah bermotifkan tradisional, dengan ukuran tipe 36.
Akbar pun sudah hari di lokasi. Menurut
tuturan teman-temannya, dia sudah hadir selepas subuh ke lokasi itu. Sangat semangat.
Kehadiran Akbar, kemudian dibuntuti oleh teman-temannya yang lain. Bukan hanya
anak-anak, beberapa orang yang sudah
berumur pun, hadir juga ke lokasi itu. Bahkan, bukan saja kaum pria, perempuan
muda, gadis belia pun ada yang hadir ke lokasi itu.
“Abi, ayo, kita siapkan permainannya…” ajak Akbar. Ajakan itu tidak ditangguhkan terlalu lama. Saya dan beberapa, kemudian bergerak mempersiapkan bilahan bambu yang sudah dibelah, dan kayu berukuran sekepalan tangan orang dewasa untuk alat pemukulnya. Perlengkapan itu, dipersiapkan di sebuah lahan yang terbuka cukup luas, di belakang rumah.
Drajat menjadi wasit, dan Gilang
berkesempatan untuk menjadi pemukul muncang. Kesempatan pertama, adalah
pertandingan antara muncangnya, Yosef melawan muncang Misbah.
“Misbah, mana muncangmu…” pinta Gilang. Misbah pun menghadap, dan kemudian menyerahkan muncang yang akan diadukannya. Selanjutnya, Yosef pun menyerahkan muncang yang akan ditandingkannya. Warna muncang Yosef cukup menarik. Agak kehitaman, dan mengkilat. Sedangkan muncangnya Misbah, putih memucat, namun memunculkan jiwa kalem, yang misterius.
Dengan cekatannya, Gilang
memasang kedua muncang itu. Muncang disusun berumpak dalam sebuah bilahan
bambu. Muncang Misbah dibagian bawah, dan Muncang Yosef dibagian atas.
“satu…dua…” Drajat memberikan aba-aba. Gilang pun, sudah mulai mengayunkan kayu dengan tangannya yang kekar ke atas, dan ..”tiga…” ungkap Drajat, lalu terdengar bunyi yang mengagetkan semua yang hadir di lokasi.
“prak !...” muncang dalam bilahan
bambu itu ada yang remuk. Suara itu, kemudian disahuti dengan tepuk tangah,
sorak sorai, dan juga desahan nafas. Bercampur, bersimpang siur, antara galau,
harus dan juga senang melihat permainan sederhana dan tradisional ini.
“luar biasa, walaupun kelihatan putih memucat, ternyata memiliki kekuatan misterius yang luar biasa…….” Ungkap Gilang, sambil membuka bilahan kayu, yang ternyata menunjukkan muncangnya Misbah yang lebih kuat dibandingkan dengan muncangnya Yosef.
Permainan itu terus berlanjut. Semakin
siang semakin banyak. Giliran permainan pun terus bergulir. Hampir semua orang
yang sudah merasakan permainan itu, dan mereka bisa menemukan nasib dari
muncang jagoannya sendiri. Ada yang senyum, ada yang kecut, ada yang senang,
ada yang berang. Sekedar sebuah permainan, mereka bisa tertawa, tetapi sebagai
sebuah pertandingan, ada ‘dendam’ diantara mereka, mereka menyimpan dendam
untuk bisa membalasnya dalam permainan di minggu depan.
“babak selanjutnya, silahkan, Abi maju ke depan…” panggil Akbar. Dipanggil begitu, aku merasa degdegan. Maklum, tidak memiliki muncang sebagaimana yang orang lain miliki. Tidak ada muncang jagoan. Muncang yang kupunya pun, adalah beli dadakan, di lokasi permainan, dengan harga Rp. 5.000/buah. “Lawannya siapa, …?”
Tidak ada yang maju. Atau setidaknya,
dalam beberapa menit, tidak ada yang maju ke depan untuk menjadi lawan Abi. Saya
menyadari, mungkin mereka menganggapnya, saya adalah pemain baru, yang belum
banyak tahu, atau tidak memiliki kemampuan dalam bermainan adu muncang ini.
Namun tidak lama kemudian, muncul seorang gadis dari sudut timur lapangan itu. “saya mau coba melawannya….!” Ungkapnya. Mata yang hadir hari itu, melongo menatap gadis belia yang bermaksud ngadu muncang.
“Wah, ini dia, si Ratu Muncang
kampung kita….” Ujar Drajat. Akbar pun, kemudian berdiri tengah dan
memperkenalkannya. Akbar mengatakan, bahwa gadis yang disebut Ratu Muncang ini,
memiliki nama Rita, anak SMA jurusan Ilmu Sosial, yang kenal gaul.
Saya sendiri melongo. Tidak percaya, bahwa dalam permainan tradisional ini, ada perempuan yang ikut nimbrung didalamnya. Bukankan permainan seperti ini, adalah permainan kaum laki ? bukankah ini, adalah permainan orang kampung ? tetapi, mengapa dan bagaimana hal ini bisa terjadi ?!
“ayo..mana muncangnya..?” tantang
Rita, Si Ratu Muncang. Di tantang begitu, saya hanya diam seribu basa. Tidak ngomong,
dan tidak berulah apapun. Kaget, dan terkesima oleh tampilan si Ratu Muncang.
“eh, mau main, apa mau kenalan ??” rayu Rita. Sebuah pertanyaan, yang kemudian, diikuti oleh gelak tawa yang hadir di lokasi itu. Orang yang hadir di lokasi, mungkin tidak asing dengan Ratu Muncang ini. Mereka sudah tahu, bahwa Rita adalah Gadis Muncang yang rajin tampil dalam permainan ini. Tetapi, bagiku sendiri, ini adalah asing. “Gak usah, takut, ini hanya permainan kok…” ungkapnya lagi.
Daripada malu, dan ditertawakan
orang lagi, akhirnya ku serahkan muncang itu ke Gilang, untuk diperadukan
dengan muncangnya Rita. Prosesnya tidak sulit, dan juga tidak membutuhkan waktu
yang lama. Saat hati masih belum nyaman, dan belum tenang, kemudian terdengar
suara “prak..prak…”,
“yes…” suara itu keluar dari
mulut sang Ratu Muncang. Dia merasa senang, karena mampu meluluhlantahkan muncangku.
“Kau sudah meluluhlantahkan muncangku, seperti kau luluhlantahkan hatiku….” Gumamku, dalam rasa yang kian bergemuruh melihat tingkahnya yang semakin mengg,da
“Bagaimana, masih ada muncang jagoannya…”
katanya, sambil membalikkan tubuh mundur ke pinggir arena permainan.
Muncang demi muncang dipertandingkan. Setiap orang yang hadir, bisa menyaksikan bentuk permainan tradisional itu. Orang yang hadir pun cukup banyak. Antara permainan satu dengan permainan lainnya, kadang diselingi dengan hiburan komedian, yang dipandu Gilang dan Akbar. Segar dan menyegarkan, sehingga yang hadir pun, tidak terasa lelah dan cape. Beberapa saat menjelang dzuhur, permainan itu baru berakhir.
Aku pun pulang ke rumah.
Aku pulang ke rumah. Tapi bukan
membawa lelah. Aku pulang ke rumah dengan membawa impian. Impian untuk bisa hadir
kembali di minggu depan, dalam sebuah permainan ngadu muncang. Tapi bukan ngadu
muncang yang didambakan. Impian yang diminatinya, adalah bertemu kembali dengan
si Ratu Muncang berhidung Mancung.
“bukan permainannya, yang disukai, tetapi keadaan itulah yang memancingnya untuk kembali…” ujarku dalam hati,,!
0 comments:
Posting Komentar