Just another free Blogger theme

Rabu, 04 Januari 2017


Pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang melarang orang lain berpendapat. Inilah, salah satu dari asas demokrasi (freedom of speech). Dengan ruang kebebasan yang luas, dan setiap orang berhak menunjukkan keunikan, kekhasan dan karakter pemikirannya sendiri. Hanya pada masyarakat yang feodal, tata urutan berbicara dijadikan landasan etika manusia. Dan hanya pada masyarakat yang otoriter, perbedaan pendapat dan pemahaman dijadikan sasaran hokum. Selain kedua kelompok itu, tampaknya gaya bicara, isi pembicaraan dan hasil dari pembicaraan, akan lahir sebagai sebuah karya intelektual yang berkualitas manusiawi dan kemanusiaan.

Socrates, dihadapkan pada tiang gantungan, karena dianggap mempengaruhi generasi muda dengan pemikiran kritis dan berani melontarkan kebebasan pemikiran. Galileo Galilei, dihadapankan pada tiang gantungan karena melontarkan pemikiran tentang heliosentrisme, yang berbeda dengan pemikiran Gereja yang geosentrisme. Tan Malaka di era Orde Lama, diancam penjara karena dihadapkan dengan mayoritas pendapat rakyat Indonesia. Deliar Noer dipecat dari kedudukannya sebagai rector IKIP Jakarta, karena berbeda pendirian dengan Pemerintah Orde Baru. Gus Dur dan Cak Nur dianggap nyeleneh dalam pemikiran keagamaan oleh masyarakat Islam Indonesia. Mereka semua itu, adalah tokoh-tokoh yang mengedepankan kebebasan berbicara, kendatipun berhadapan dengan resiko ‘ancaman’ terhadap jiwa dan raganya.
Terhadap berbagai kasus dan peristiwa tersebut, dapat dikemukakan sejumlah catatan kritis berikut ini.

Pertama : menulis adalah hak. Mau tidak mau, menuliskan pengalaman, pemikiran dan pendapat adalah hak pribadi. Tidak ada seorang pun, yang bisa melarang atau memerintahkan. Apapun yang dilakukan oleh dirinya (si penulis) adalah dilandasi oleh kesadaran dirinya, untuk menuangkan pemikirannya. Inilah yang kita sebut dengan istilah, menulis adalah hak.

Kedua : setiap orang memiliki keunikan pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman dalam meneliti, mencermati, memahami dan mengartikan, adalah sebuah keunikan yang dimiliki oleh manusia. Keunikan pola pikir seperti ini, tidak mesti disesuaikan dengan model pemikiran yang sudah ada.
Bronislaw Malinowski menurut Koentjaraningrat, pada mulanya tidak mengintrodusir sebuah metode antropologi. Dia hanya berusaha menggambarkan, menjelaskan dan mengaitkan antara satu aspek budaya dengan budaya lain. Pola dan tata tulis seperti ini, tidak lazim dilakukan dilakukan oleh antropolog. Tetapi, kemudian ternyata, tata tulis dan tata pikir seperti itu melahirkan pro kontra atau reaksi dari kalangan antropolog yang sudah mapan. Pada akhirnya, pola pikir Malinowski ini bukan tambah tenggelam dan lenyap, melainkan tambah berkibar, hingga saat ini, yang kemudian disebut dengan terosi fungsionalisme .

Dengan kata lain, sejalan dengan teori perubahan sosial, perkembangan dan dinamika sosial (termasuk dinamika pemikiran) diawali oleh adanya kesadaran dan kemauan untuk berfikir dengan paradigma yang berbeda, dengan mainstream yang sudah ada.

Ketiga : berdasarkan catatan ini, maka menunjukkan pola pikir dan pemahaman sendiri, menjadi sesuatu hal yang penting, untuk dijadikan bahan wacana dan pengembangan ilmu. Perbedaan diantara kita, mungkin (1) keluasan deskripsi, (2) kekokohan argumentasi, (3) kohesivitas antar argumentasi, (4) kekuatan praksis dari model pemikiran, dan (5) kealamiahan.

Orang yang cerdas, adalah orang yang mampu menunjukkan keluasan penggambaran (deskripsi) mengenai sesuatu, sehingga seolah-olah tahu. Bukan hanya tahu banyak hal, tetapi alur penjelasan dan pemaparannya masuk akal, dan mudah dipahami. Antara satu penjelasan dengan penjelasan bersifat saling menguatkan (kohesif), bahkan mudah dijadikan rujukan untuk dijadikan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Buku Seven Habits karya Stephen Covey, Accerelated Learning karya David Meier, Quantum Learning karya Bobbi dePorter, adalah buku-buku best seller dalam pendidikan, pembelajaran dan pembinaan manusia. Salah satu ciri khusus dari buku ini, adalah mudah dicerna (alamiah), alur pikir dari awal sampai akhirnya jelas tidak berbelat-belit (kohesif), dan mudah dilaksanakan (praksis), dan mampu memberikan bukti atau contoh yang sangat kaya. Sehingga, seolah-olah, semua hal dapat dijelaskan dengan menggunakan ‘teori’ sebagaimana yang dituturkan dalam bukunya tersebut.

Keempat : salah satu sifat demokrasi adalah memberi ruang kepada perbedaan pendapat. Hakikat demokrasi adalah musyawarah, dan musyawarah adalah mendekatkan dua kepentingan yang berbeda. Musywarah adalah kerelaan diri, untuk terbuka pada adanya perbedaan pendapat. Sejalan dengan pemikiran seperti ini, maka menuliskan pendapat dan atau pengalaman sendiri, menjadi sesuatu hal yang penting dalam membangun dan mewujudkan masyarakat demokratis.
Kelima : kalau demikian, apa urgensinya penilaian terhadap pendapat seorang mahasiswa atau pelajar ? apakah seorang instruktur/dosen/guru berhak menyematkan kata “salah” terhadap keunikan pola pikir mahasiswanya ?

Dalam hal ini, perlu diingat kembali kelima hal yang ditulis pada bagian 3. Rincian rambu-rambu ini, boleh berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Namun, dalam perspektif penulis, kelima hal ini menjadi sangat penting, yaitu universalitas, rasionalitas, kohesifitas, praksis dan naturalitas.
Tanpa karakter itu, pandangan kita menjadi sangat subjektif (vs universal), rapuh dalam menjawab kasus (vs rasio/kokoh), kacau atau berbenturan antar penjelasan (vs kohesif), teoritik (vs praksis) dan utopis (vs alamiah).

Argumentasi kedua, untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu dalam proses pembelajaran maka dialog adalah upaya sharing dan melatih keakurasian dalam berpendapat. Pada posisi ini, instruktur/dosen/guru adalah partner untuk menguji keakurasian nalar kita. Tidak ada yang salah, yang mungkin terjadi dalam diri kita adalah pendapatnya masih kasuistik/subjektif, lemah, dan tidak mengakar. Oleh karena itu, perlu belajar dan memperluas kemampuan penalaran. Disinilah, perannya belajar dan dialog.

Keenam : mau tidak mau, memang dalam kehidupan akademik, ada aturan dan norma khusus dalam menulis dan menuangkan pemikiran. Kerangka dan metodologi ilmiah menjadi rambu-rambu khusus, dan alat ukur dalam menguji kualitas sebuah tulisan atau pendirian. Kenyataan ini, adalah sebuah realitas keilmuan yang ada saat ini. Sebagai catatan saja, kendatipun ada rambu-rambu keilmuan, namun pada prakteknya, rambu-rambu keilmuan itu tidak sedisiplin atau seangker yang diduga. Sungguh sangat banyak metode keilmuan. Antara satu dengan yang lainnya ada yang bahkan berbeda pendekatan.

Sikap kita terhadap masalah ini, (1) pahami masalah, (2) pahami alur masalah/kerangka pikir, dan (3) gunakan pendekatan yang relevan dengan masalah dan pola pikir yang akan dikembangkan. Dengan demikian, maka keunikan metode penulisan dan pendekatan wacana, akan menjadi sangat wajar.

Terakhir : berbeda pendapat, tidak selamanya ‘salah’. Berbeda cara, bukanlah hal yang ‘haram’. Bahkan, bisa jadi dari ‘kesalahan’ tersebut, akan lahir ilmu dan pendekatan baru yang lebih benar.

Merujuk pada paparan tersebut di atas, maka dapat diungkapkan kembali, bahwa menuliskan sesuatu kepada wahana teks, adalah sebuah upaya ekspresifnya seseorang. Sebagai manusia, keunikan pola pikir adalah sesuatu hal yang nyata. Dan sejatinya, demokrasi, adalah mengakui adanya perbedaan. Kualitas pendapat dan argumentasi, akan diukur oleh kemampuannya dalam menyelesaikan atau menjelasakan masalah yang sedang dihadapi.

-o0o-
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar