Sepuluh
tahun sudah, menjalani profesi sebagai tenaga pendidik di madrasah yang di
kelola Negara. Sebagai salah satu,
lembaga pendidikan negeri, hilir mudik pegawai, khususnya di puncuk pimpinan,
sudah biasa dan wajar terjadi. Potensi serupa itu, sulit dihindari, dan harus
diterima tanpa koreksi.
Mengapa
disebut tanpa koreksi ? alasannya sangat klasik, guru atau aparat, tidak
memiliki kewenangan untuk menolak keputusan atasan. Hingga 2016, pimpinan
sekolah/madrasah, lebih merupakan otoritas pemerintah dibandingkan dengan hak
demokratis warga sekolahnya. Dengan kata lain, pimpinan yang datang, dengan
kualitas apa adanya, harus diterima.
Penilaian
yang terakhir ini, mungkin dianggap terlalu ceroboh. Penilaian yang terakhir
itu, seolah menyimpan prasangka, bahwa pemerintah yang mengirim pimpinan
sekolah itu, tidak memiliki standar kompetensi khusus kepala sekolah. Analisis
itu, menggambarkan seolah pemerintah mengangkat
dan mengirim kepala sekolah itu asal-asalan.
Bagi saya pribadi, sesungguhnya tidak demikian. Komentar itu, hanya ingin menegaskan bahwa “di lembaga pendidikan kita ini, pimpinan sekolah bukan hasil demokrasi pendidikan. Itu saja, point pemikirannya. Kepala sekolah lebih merupakan otoritas pemerintah, dan bukan seleksi social di lembaga pendidikan itu sendiri.” Implikasi dari hal itu, alangkah wajarnya, jika kemudian muncul fenomena kualitas dan kualifikasi seorang kepala sekolah, tidak sesuai dengan harapan dari keluarga besar sekolah yang dikunjungi atau dipimpinnya.
Imbas
dari itu, hiruk pikuk pengelolaan sekolah sangat terasa. Meminjam istilah
geografi, tidak jarang suhu di sekolah itu, menghangat, memanas dan bahkan
mendidih. Jika tidak demikian adanya, malah mendingin dan membeku !
Kadang saya suka teringat, ikan salmon. Kendati arus besar dan kuat, dan tantangan melawan arus sangat terasa, tetapi dengan kekuatan fisik, dan kemampuan memainkan irama arus deras, ikan salmon mampu melahirkan generasi ikan yang sangat kuat dan gigih dalam berjuang.
Kadang
saya suka teringat kura-kura. Walaupun dinilai lambat dalam berjalan, tetapi
memiliki ketahanan fisik yang kuat dari tekanan zaman dan iklim, sehingga
kura-kura dikenal sebagai salah satu hewan purba yang mampu bertahan dari
tekanan perubahan iklim dunia.
Dengan gambaran dan bayangan serupa itu, pimpinan yang cerdas itu, adalah pribadi yang mampu mengikuti irama air sungai, tetapi tetap mengarah pada ketercapaian misi dan visinya sendiri.
Dari
sepuluh tahun lamanya itu, saya melihat, mendengar, merasakan, dan juga ikut
menjalani sebagian dari kebijakan pimpinan. Hal yang paling sangat terasa, di
setiap perubahan pimpinan, khususnya di setiap rapat kerja dan rapat dinas,
kerap kali muncul ragam usulan, pemikiran, dan rekomendasi untuk memperbaiki
madrasah/sekolah.
Namun demikian, mungkin hal ini pun terjadi di beberapa sekolah lainnya, kadang para pimpinan sekolah itu, tidak peduli dengan saran,usulan, atau rekomendasi itu. Gagasan yang muncul dalam forum, kerap kali diabaikan, bak angin lalu. Padahal, dalam pikiran guru, setidaknya, saya merasakannya, bahwa ada sejumlah gagasan orisinal dan cerdas yang disampaikan guru dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Karena
keegoisannya, seorang kepala sekolah, dengan mudahnya mengabaikan, melupakan
atau menolaknya secara halus gagasan yang disampaikan guru. Bahkan, dalam satu
periode, sempat ada pimpinan sekolah yang pura-pura demokratis, padahal hati
dan pikirannya tertutup. “biarkan dia ngomong, tapi semua keputusan itu tergantung
saya...”. ujar seorang informan yang menceritakan sikap pimpinan
sekolahnya. Sikap itu mereka ambil,
setiap menghadapi rapat dinas yang akan dihadiri guru kritis. Bagi mereka,
usulan dan koreksi guru, hanyalah suara bising dalam forum, yang bisa diabaikan
begitu saja.
0 comments:
Posting Komentar