Just another free Blogger theme

Rabu, 04 Januari 2017

Siapa yang tidak kenal mancing (ngusep) ? kendati tidak semua orang hobi mancing, tampaknya sangat jarang ada orang yang tidak mengenal mancing. Mancing, dalam kehidupan manusia, kini telah menjadi sebuah gejala sosial yang mewarnai agenda kehidupan manusia. Dengan kata lain, memancing telah menjadi salah satu budaya manusia dalam mengisi, mewarnai dan meningkatkan makna hidup dan kehidupannya.

Pada tataran yang lebih luas, merujuk pada hasil cermatan sepintas terhadap apa yang sedang tumbuh di masyarakat kita saat ini, kiranya dapat ditemukan bahwa perilaku memancing, bukan hanya persoalan “nganclomkeun eupan ka balong”. Memancing sesungguhnya memiliki kandungan makna sosial yang sangat luas, dan (mungkin) sangat mendalam.
Sekaitan dengan hal tersebut, ada beberapa makna memancing bagi masyarakat Indonesia (lebih tepatnya bagi pelaku mancing).
Pertama, mancing sebagai salah satu jenis mata pencaharian agraris. Bagi masyarakat agraris, atau masyarakat sederhana, memburu dan meramu, merupakan jenis kegiatan utama dalam memenuhi kebutuhan biologisnya (pangan). Pada masyarakat berbudaya sederhana (tradisional), mata pencahariaan mereka didominasi dengan cara menangkap hewan, ikan atau meramu dedaunan atau tumbuhan yang layak makan. Pada konteks inilah, mancing ikan, hanyalah satu tahap perkembangan menangkap ikan.
Bila dicermati, bisa jadi ‘mancing’ itu merupakan satu tahapan evolusi (perubahan secara perlahan) dari nangkap ikan, yang semula ditangkap hanya dengan menggunakan tangan atau menyelam secara langsung, kemudian dipukul (baik dengan batu atau kayu), ditombak, disair, dan kemudian dipancing. Perkembangan dan perubahan budaya menangkap ikan tersebut, sudah tentu, tampaknya lebih dipengaruhi oleh jenis ikan atau kondisi habitat ikan yang akan ditangkapnya. Walaupun demikian –maaf sampai detik ini, penulis belum menemukan buku yang mengulas mengenai sejarah mancing secara khusus---, penulis berkeyakinan bahwa pada mulanya memancing hanyalah salah satu variasi budaya manusia dalam menangkap ikan.
Dibandingkan dengan teknik menangkap ikan lainnya, teknik memancing dan menyelam langsung, merupakan dua teknik menangkap ikan yang memiliki nilai seni (wisata). Pembaca mungkin pernah melihat objek wisata di daerah taman laut atau di tempat hiburan, mengenai anak penyelam yang berusaha mendapatkan uang jajan dengan cara menemukan koin atau uang yang dilempar pelancong, wisatawan ke dasar laut ? objek budaya seperti itu, merupakan pengembangan budaya memancing sebagai bagian dari aset wisata. Dan, itulah perilaku mutual (saling menguntungkan) antara kedua belah pihak, karena satu pihak (si anak penyelam mendapat uang recehan yang dilempar ke laut), dan si pelempar uang mendapat kebahagiaan ketika melihat seni menyelam atau peilaku anak penyelam pencari uang di taman laut. Selain seni menyelam, menangkap ikan dengan cara memancing, ternyata memiliki nilai seni dan sosial yang lebih luas lagi.
Hanya saja, yang ingin ditegaskan dalam bagian pertama ini, pada awal “sejarahnya” jelas-jelas bahwa mancing merupakan salah satu bentuk pekerjaan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Maka tidak mengherankan, bila di daerah-daerah tertentu, seorang ibu rumah tangga, akan senantiasa menanti-nanti kehadiran suami tercintanya membawa ikan sehabis pulang ngecrik atau mancing. Karena dalam pandangan mereka, memancing adalah bagian dari mata pencaharian untuk menggenapkan kebutuhan pokok keluarga.
Kedua, mancing adalah aktivitas dalam memenuhi kebutuhan psikologis. Bagi mereka yang mencandu dengan mancing, praktek mancing salah satu usaha untuk menghilangkan ketegangan dan kepenatan setelah melakukan aktivitas rutin di kantor atau di tempat kerja. Memancing adalah sebuah usaha untuk melakukan refreshing. Memancing, adalah sebuah usaha untuk menenangkan kembali pikiran, setelah seharian atau seminggu penuh diisi dengan pekerjaan rutinnya.
Tidak mengherankan, bila para pelaku mancing itu, rela menghabiskan waktu berjam-jam, atau biaya berjuta-juta, hanya untuk melepaskan kepenatan. Dan, tidak mengherankan pula, bila kelompok kedua ini, kendatipun dapat raihan pancingan yang banyak, terkadang si pemancing itu sendiri (a) tidak suka makan ikan, (b) ikannya malahan dijual kembali, baik ke pasar, pemilik kolam atau diberikan ke orang lain. Dengan kata lain, mancing adalah sarana meditasi atau refleksi bagi mereka yang memiliki aktivitas yang padat. Untuk mewujudkan tujuan ini, bahkan seorang pimpinan perguruan tinggi negeri di Kota Bandung sampai memiliki kapal pesiar pribadi, hanya untuk sekedar mancing di laut.
Status nilai ini, sudah tentu, tidak akan menekankan pada berapa ikan hasil pancingan. Dalam nilai kedua ini, yang mereka cari adalah berapa cepat kepenatan menghilang atau lama jiwa-raganya dapat bugar kembali.
Ketiga, mancing adalah sarana sosialisasi. Di negara kita, juga negara lain, kerap kali, aktivitas yang berlandaskan pada hobi dijadikan sebagai wahana (tempat) untuk bersosialisasi. Di tingkat para politisi atau pengusaha, disebutnya dengan istilah tempat loby. Mirip dengan hoby tenis, atau golf, mancing sesungguhnya dapat dijadikan sebagai tempat untuk loby.
Pejabat pemerintah, yang baru dilantik, atau mau melaksanakan syukuran sebuah kegiatan, atau malahan, bila pejabat akan menghadapi sebuah rencana kegiatan, kerap kali menggunakan sarana tenis lapangan, golf atau mancing sebagai sarana untuk loby. Sudah tentu, pilihan jenis sarana loby ini, ditentukan oleh hoby dari si pejabat tersebut.
Pemanfaatan mancing (juga golf atau tenis lapangan) sebagai sarana sosialisasi ini, bukan hanya untuk loby dengan pejabat, melainkan dapat dikembangkan pula sebagai sarana untuk meningkatkan kebersamaan, kekeluargaan, dan kerekatan hubungan kerja antara teman sejawat. Di tingkat pelaksanaannya, pada saat mancing ini, biasanya hubungan-hubungan struktural mulai mengendur atau malahan melebur. Nilai yang muncul adalah sebuah kedekatan emosional, atau kekerabatan. Pada gilirannya, sesungguhnya memanfaatkan sarana hobi sebagai sarana pembinaan budaya kerja, dan penguatan solidaritas kelompok, merupakan sebuah pilihan strategis dalam meningkatkan kinerja sebuah organisasi.
Selain ketiga hal tersebut, memang ada pula, yang memanfaatkan sarana memancing sebagai sebuah sarana ‘permainan’. Misalnya saja, bila kita mendengar ada ucapan “beureuman”, maka yang dimaksudkan itu adalah perlombaan untuk mendapatkan ikan yang berwarna beureum (merah). Warna beureum, menjadi sebuah taruhan dalam permainan tersebut. Dalam kasus yang lain, bisa jadi bukan beureuman, melainkan dengan menggunakan tanda-tanda tertentu, misalnya ikan induknya ditandai dengan anting-anting.
Nilai yang keempat ini, memancing, sudah bukan lagi berorientasi pada seni semata, melainkan sudah menekankan pada sebuah bentuk permainan dalam menunjukkan teknik atau kemampuan (atau jangan-jangan keberuntungan) untuk mendapatkan ikan yang ditargetkan. Kompensasi atau hadiah dalam mendapatkan ikan yang ditargetkan tersebut, bisa berbentuk barang, uang atau jasa penghargaan yang lainnya. Bentuk atau jenis hadiah tersebut, bergantung pada kesepakatan atau janji si pengelola permainan.
Selain, yang dikemukakan di awal tulisan ini, tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa sejalan dengan nilai psikologis, memancing pun mengandung nilai seni, atau gejolak jiwa atau ekspresi yang sangat mendalam. Bagi mereka yang mampu menikmati seni memancing, perasaan ‘puas’ dan ‘nikmat’ dapat dirasakan ketika ada ikan yang terpancing, ‘ngunyunyud, nyet..nyet.. ah gelo siah, leupas deui euy..’ kemudian disusul dengan “hahaha….” Atau senyum dari rekanan pemancing yang lain. Itulah mungkin, sebagian ekspresi psikogis dan emosi kenikmatan seorang pemancing.
Berdasarkan hal tersebut, tidak mengherankan bila orang yang menggunakan perilaku memancing sebagai salah satu kiasan dalam dunia pendidikan, “jangan beri ikan, tetapi berilah kail”. Apa maknanya ? untuk konteks tulisan ini, makna yang terkandung dari kalimat itu, cukup sederhana, yaitu memancing memang memiliki kandungan nilai sosial yang cukup luas.
Walaupun pada ujungnya kita pun bertanya, adakah makna memancing dalam manajemen hidup ? atau mengembangkan kualitas organisasi ? bila masih penasaran, nantikan tema pada tulisan berikutnya. Terima kasih.

-o0o-
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar