Selama ini, masih ada yang
memosisikan Agama dengan karakter seperti halnya satu millenium lalu. Padahal,
zaman sudah banyak berubah. Karena ada perkembangan itulah, maka dibutuhkan
upaya pemaknaan ulang terhadap makna (tafsir) terhadap firman Allah Swt. Itulah
kira-kira, pokok pikiran dari Achman Chodjim, dalam buku “al-Falaq” terbitan
Serambi Ilmu Semesta (2008).[1]
Salah satu contoh, yang dikaji Achmad
Chodjim itu adalah Shihir. Sihir di masa lalu, kerap dihubung-hubungkan
dengan mistik, atau perdukunan. Salah satu praktek sihir yang paling mashur itu
adalah santet. Pemaknaan atau mendekatkan makna sihir dengan santet, mungkin
benar, dan mudah dipahami, bila dikaitkan dengan konteks keindonesiaan. Tetapi,
bila dikaitkan dengan konteks sejarah Arab, sihir itu bisa diartikan
memanipulasi. Kasusnya, misalnya, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa As di
hadapan Firaun, yang mengubah tongkat menjadi ular. “tongkat ular” atau “ular
tongkat” itu digunakan sebagai lawan terhadap sihir dari kelompok Fir’aun. Itulah yang disebut dengan sihir.
Dengan memperhatikan kebutuhan dan perkembangan zaman, maka konsep “sihir” tersebut, kemudian perlu ditafsirkan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Merujuk dan konsisten dengan pemahaman itulah, maka bentuk-bentuk sihir di zaman modern saat ini, bisa berbentuk hipnotis, pencucian otak dan iklan. Dengan kata lain, praktek negosiasi pun ‘potensial’ munculnya sihir, yaitu sihir-komunikasi. Seorang pembicara luhung, akan mampu menyihir lawan bicara melalui tata tuturnya. Banyaknya anak-anak remaja yang terjebak pada kelompok aliran ‘ekstrim’ pun, pada dasarnya adalah bentuk lain dari korban ‘sihir-komunikasi’ di tengah masyarakat modern.
Kemudian, pengertian dari
‘berlindung kepada Tuhan’ (‘audzu bi rabbil falaq) pun harus
dikontekskan dalam bentuk-bentuk terbaru. Zaman dulu, berlindung kepada Tuhan
dengan menggunakan jampi-jampi, maka
saat ini kita harus berlindung dari berbagai bencana modern itu, dengan
memanfaatkan teknologi modern. Teknologi modern ini, dimaknai Chodjim setara
‘jampi-jampi’ di era tradisional.
itulah, beberapa bentuk
penafsiran baru dari Achmad Chodjim terhadap konsep-konsep agama, dikaitkan
dengan konteks zaman modern. Membaca
pandangan-pandangan itu, kita seolah-olah diajak untuk memahami realitas
faktual dan terkini, dengan menggunakan konsep-konsep baku dalam ajaran agama.
Kendati demikian, bagi seorang geograf, sudah tentu pemikiran seperti itu, tidaklah lengkap. Kebutuhan kita saat ini, bukanlah sekedar memperhatikan aspek waktu, atau aspek perubahan zaman, tetapi juga harus memperhatikan aspek ruang (keruangan, spatial). Hal itu, terkait dengan realitas kehidupan kita saat ini, yang senantiasa terkait dengan masalah ruang-waktu.
Adalah Hidayat Nataatmadja (2000),
yang memberikan kritik terhadap pemikiran Anthony Giddens. Banyak kalangan
memandang bahwa pemikiran Giddens, yang dipayungi dengan pemikiran “Jalan
Ketiga” (the third ways) sebagai
pemikiran orisinal dan mencerahkan bagi masyarakat dunia saat ini. Bahkan,
pemikiran Giddens itu, dipandang oleh sebagian ilmuwan sosial Indonesia perlu
diadaptasikan dalam konteks upaya-upaya pembenahan tatanan sosial masyarakat
Indonesia.[2]
Sikap sebagian ilmuwan sosial Indonesia itu, yang berupaya untuk ‘menyerap’ ide-ide Giddens di Indonesia. Hal itu, selain karena ide-ide Giddens itu orisinal, juga sudah mendapatkan respon positif dari pemikir dan tokoh politik dunia. Tetapi, menurut Hidayat Nataatmadja, Pembaca buku itu perlu menyadari, bahwa apa yang baik dan relevan bagi Clinton dan Blair belum tentu baik dan relevan bagi Indonesia, karena kriteria “baik” dan “relevan” melekat pada konsep “sistem kedirian” (eigen system). Sehingga, yang penting kemudian adalah bagaimana kita menyari baik dan relevannya ide yang dikandung dalam buku itu dilihat dari sistem kedirian kita, karena mungkin saja yang baik dan relevan bagi Clinton dan Blair sebenarnya adalah sesuatu yang buruk dan tidak relevan dilihat dari sudut sistem kedirian dimana kita berada. [3]
Memperhatikan substansi pemikiran
Hidayat Nataatmadja tersebut, sejatinya, upaya melakuakn penafsiran terhadap
konsep, teori ataupun ajaran agama, tampaknya, bukan saja perlu memperhatikan
aspek perkembangan sejarah (waktu), tetapi juga harus memperhatikan aspek ruang-tempat.
Karena bisa jadi, penafsiran dan makna ajaran agama, untuk era Rasulullah
Muhammad Saw di Makkah, memiliki tuntutan ruang-waktu yang berbeda dengan
kebutuhan masyarakat muslim, atau masyarakat Indonesia saat ini.
Terkait hal ini, maka pandangan-pandangan Achmad Chodjim pada dasarnya, masih merupakan sebuah pandangan yang sepihak, yaitu baru memberikan perhatian terhadap dinamika waktu (perkembangan sejarah), dan belum memperhatikan aspek ruang waktu. Padahal, aspek-aspek keruangan inilah, yang menjadi bagian penting dari pemikiran-pemikiran Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan juga Cak Nur (Nurcholis Madjid), dengan ide-ide kontektualisasi dan/atau pribumisasi.
Bila diperhatikan kembali, maka gerak
aktif seorang muslim dan ataupun masyarakat Indoensia modern itu, khususnya
terkait dengan konsep dan ajaran agama itu adalah (a) intensionalitas, kaji
secara utuh mengenai konsep dasar agama, (b) reinterpretasikan terhadap
perkembangan zaman, dan (c) kontekstualisasikan terhadap ruang-waktu, dimana
kita tinggal (pribumisasi). Itulah, tiga rangkaian panjang transformasi
pemikiran-pemikiran keagamaan yang –mungkin—sangat dibutuhkan untuk zaman kita
saat ini.
[1] Achmad
Chodjim. 2008. Al-Falaq : Sembuh dari Penyakit Batin dengan Surah Subuh.
Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
[2] Lihat I Wibowo, dalam Kata Pengantarnya, dalam buku 2002. The Third Way : Jalan Ketiga Pembaharuan
Demokrasi Sosial. Terjemahan Ketut Arya Mahardika, dari The Third Way:
The Renewal of Social Democracy..Jakarta : Gramedia, juga Herry-Priyono, B. 2003. Anthony Giddens : Suatu Pengantar.
Jakarta : Kepustkaan Populer Gramedia.
[3]
Hidayat Nataatmadja. 2000. Membedah “The Third Ways” Anthony Giddens.
Artikel ini didownload dari http://hidayat-nataatmadja.blogspot.com/.
Dalam makalah yang dipublikasikan pada blog tersebut, dinyatakan bahwa Arsip
ini tidak disertai titimangsa. Namun, jika merujuk kepada buku yang dibahas, The
Third Way, yang versi terjemahannya terbit pertama kali pada 1999, maka
tulisan ini dibuat sekitar medio 1999-2000. Tulisan ini dibuat Dr. Hidayat
Nataatmadja untuk sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan oleh HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam), tapi tanpa keterangan HMI dari kampus mana. Arsip
ini diolah dari file yang berasal dari pengolah kata versiWS (wordstar),
yang diserahkan Dr. Hidayat kepada LANSKAP pada Agustus 2007 (TN). Makalah ini
diunduh (download) tanggal 1 Februari 2012.
0 comments:
Posting Komentar