Di sini. Aku termenung. Dalam situasi yang entah untuk berapa lama, atau untuk masalah sedalam apa. Saat ini, aku termenung. Dalam situasi yang entah untuk berapa jauh, atau seluas apa. Namun, nalar, nurani, dan ego, dipaksa untuk menyelam ke dalam lembah yang tak pernah diketahui sebelumnya.
Kau yang ada di alam sana, tersidang oleh ego yang ada di alam ini. Kau yang sedang terlelap istirahat menunggu giliran, tersidang ego yang juga menunggu giliran lain di alam ini. Kau yang tengah terbaring bisu, tersidang oleh ego yang tegak berdiri tegak di alam ini. Kau yang sudah lama membisu, tersidang oleh ego yang masih banyak bicara dan wacana.
Diawal nalar kita, langsung berujar, “itu kan cuma segitu, masa dia merasa keberatan…”, di titik itu, aku pun hanya sempat merenung “iya sih, tapi itu kan cuma segitu, masa sih, kita tidak mampu meringankannya…”
Kau bilang lagi, kan itu adalah kewajiban sebagai pengurus. Sontak pula, aku hanya sempat merenung, “iya sih, itulah kita, yang juga manusia yang terbatas waktu dan kekuatan...”
Kau bilang, “kan ada ahli waris,” tak bisa berpikir lama-lama lagi, aku pun sempat merenung, “iya sih, tapi apakah kita akan mewariskan masalah, atau mewariskan cinta kasih kita kepada keturunannya”
Kau bilang, “kan anak dan saudaranya yang bisa menolong dia”, jiwa ini pun langsung loncat memaksaku untuk sejenak merenung lagi, “iya sih, tapi bukankah kita pun adalah saudara beliau juga…”
Lantas dengan lantang, kau pun terus berujar dan bahkan berujar lagi, “di situlah tampak kesalahan dewan pengawas dalam mengevaluasi kinerja pengurus..”, ungkapnya tegas dan keras, “semua yang terjadi, adalah sebuah kesalaha dari dewan pengurus..” ungkapmu, sambil menujuk batang hidup orang yang dihadapanmu semua.
Untuk hal yang satu ini, sejenak aku berhenti. Rehat. Membatu, dan sedikit beku. Tak kuasa untuk memberikan jawaban lantang, tetapi jiwa ini pun tetap gamang, dan terus ingin berbicara mengenai apa yang kini masih terus membayang. Hingga satu waktu, akupun kembali termenung, “betul, di sinilah, kita salah. Di sinilah kita gagal paham. Di sinilah kita keliru. Kita gagal paham, membedakan musibah dan masalah” ungkapku lirih, hanya untuk sekedar memberi tahu terhadap egoku sendiri.
Jiwaku terus melayang. Melayang entah ke mana. Egoku pun tak mengetahuinya. Namun satu hal yang menyadarkan dan menghentakkan perasaan ini, sebuah bayangan cerita yang menegaskan bahwa masalah yang hadir selepas musibah, adalah ujian bagi kehidupan kita. Sementara, musibah yang lahir karena kita berbuat masalah, itulah bencana. Bencana yang sesungguhnya.
Kematian adalah musibah. Tetapi hadirnya kematian, bukanlah sebuah kesalahan. Andaipun ada masalah setelah ada kematian orang yang kita cintai hari itu, lebih merupakan sebuah tantangan hidup bagi yang masih hidup saat ini. Di sinilah, kematian nyata-nyata bukanlah sebuah kesalahan. Karena itu jugalah, patutkan kita, mengeluhkesahkan masalah selepas adanya sebuah kematian ?
Tampak nyata. Kita gagal paham, membedakan masalah dengan musibah. Masalah adalah akibat dari ulah tangan kita, sedangkan musibah tak selamanya buah dari perbuatan kita. Mengeluhkan masalah pasca kematian, adalah sebuah bencana moral bagi manusia masa kini.
Tampak nyata. Kita gagal paham, membedakan antara masalah dengan musibah. Masalah lahir dari sebuah musibah, adalah tantangan dan peluang mendewasakan diri kita. Inilah, lahan yang Tuhan ciptakan bagi kita, untuk membajak dan menanaminya dengan tanaman produktif sesuka hati kita.
Di sinilah, tampak jelas kita salah paham. Lahan kebaikan, malah dijadikan lahan perdebatan. Di sinilah, tampak jelas bagi kita, bahwa kita salah mengartikan, sebuah kewajiban dipojokkan dengan pemaksaan.
Hingga di titik inilah, aku kemudian memaksakan diri untuk kembali merenung, dan merenung lagi, tentang peristiwa hidup yang baru saja, terdengar, terlihat, terasa dan terjadi. Saat ini, di sini.
Selangkah demi selangkah, aku maju bergerak guna menyelesaikan masalah ini, dan menghadapi tantangan ini. Ku beranikan diri. Berjalan di atas koridor hidup, yang mungkin sempat terlupakan sebelumnya.
Di lorong yang sepi. Tanpa sebuah kesengajaan. Bertemu dengan sebuah bayangan yang menyentakkan nalar dan emosi, menarik paksa aku untuk kembali ke jalan yang benar, jalan awal, jalan renungan ini. Di lorong sepi itulah, terungkap pesan ghaib, “semua ini, bukan sebuah kesalahan, bukan sebuah kejahatan, tetapi lebih merupakan sebuah ketidakberdayaan”.
Sahabat kita sudah tidak berdaya di alam sana, tersidang oleh ego kita yang masih leluasa untuk bicara dan bergerak
Sahabat kita yang sedang berjuang sendiri, rersidang ole ego kita yang serampat mempertanyakan kepatutannya.
Sahabat kita yang sedang berjuang di ruang sepi, tersidang ego kolektif yang penuh sorak ceria
Sahabat kita yang sedang berhadapan dengan siding hidup dan kehidupannya, aku pun tak nyadar, apakah aku adalah penuntut umum, atau malah menjadi saksi yang turut memberatkan.
Aku terdiam. Terdiam. Bukan karena dibungkam, tetapi tenggelam dalam asa yang tak kunjung benderang.
Rasulullah saw bersabda, "Siapa yang meninggalkan utang atau kehilangan, maka Allah dan Rasul-Nya akan menanggungnya. Siapa yang meninggalkan harta, hendaklah dia wariskan. Jika dia tidak mampu membayarnya, maka Allah SWT akan melunasinya dan meridhai orang yang mengutanginya.
Demikianlah, Imam al-Qurthubi menerangkan dalam Kitabnya. Hingga, tak terasa, air mata terakhir terjatuh, dan aku malah tersenyum, melihat bibir tipis semua orang yang hadir, dengan penuh keceriaan dan kesadaran, merekah berbunga, dengan menuturkan kalimat, “insya Allah, kami mendoakan perjalanan panjang saudara kita, lancar sampai menuju pangkuan Ilahi…”
*cuplikan batin, di tengah RAT Koperasi Amanah MAN 2 Kota Bandung, 2019.
0 comments:
Posting Komentar