Gue sadar. Sadar
banget. Orang bilang, gak ada pengaruh setetes alkoholpun kepada pikiran ini.
Gue benar-benar dalam keadaan sadar 100 %. Tetapi, inilah masalah gue saat ini,
disebut sadar, tetapi tidak melakukan Tindakan yang nyata, sesuai dengan
kesadaran waktu itu.
Ini pun, bukan masalah
hipnotis. Karena memang, gue masih sadar. Gue sadar, dan terasa banget, kalau
telunjuk ini digigit, akan terasa nyeri.
Nyata, sakitnya. Tetapi, sekali lagi, gue termasuk orang yang sulit dipahami,
mengapa, hal itu dibiarkan terjadi.
Untuk dongeng ini, gue
gak peduli, kebenaran waktunya. Entah tahun berapa terjadinya, entah kapan
terjadi. Semua itu, bagi gue sih gak prinsip. Karena emang, gue bukan seorang arsiparis
atau seorang historian, yang amat sangat peduli pada angka, waktu dan tempat.
Gue bukanlah mereka, dan mereka pun bukanlah gue.
Hal prinsip yang gue pahami saat ini, adalah konteks peristiwanya. Konteksnya itulah yang tidak akan terlupakan, sampai kapanpun.
Andaipun ada proses
reinkarnasi tujuh siklus, rasa-rasanya, konteks kejadian ini, tidak bisa
dilupakan, dan tak akan terlupakan.
Lha, emang konteks apa
yach ?
Di awal kisah. Saat
gue bermaksud untuk menjadi seorang Openbare Ambtenaren. Keren kan, gue
tahu istilah ini. Openbare Ambtenaren adalah sebutan di
masa itu, zaman Belanda masih bercokol di
negeri yang indah ini. Kalau Bahasa kita hari ini, Openbare Ambtenaren adalah
seorang pejabat public (public service).
Kenapa juga, harus
menggunakan istilah itu, bukankah di negeri kita pun, sudah ada padaban katanya
?
Lha, kan biar
kelihatn keren. Atau setidaknya, biar imajinasi pembaca, tidak tendensius ke
arah ini, atau itu. Bila hal terakhir tadi terjadi, maka kisah ini tidak akan
menarik lagi, dan bahkan cenderun menjadi delik aduan, yang bisa menyebabkan
siapapun yang menuliskannya, akan terkena delik pidana atau perdata.
Tapi, tidak
perlu khawatir juga. Karena pengutupan
Bahasa asing itu, hanya sekali ini saja, dan obrolan kiat berikutnya akan tetap
menggunakan bahasa yang kita cintai ini.
Kalau dihitung
dari sekarang, mungkin sekitar 11 tahunan yang lalu. Tepat waktu kejadiannya, gue gak ingat lagi.
Tebakan itu pun, mungkin, mungkin dalam arti sebuah perkiraan manusia awam
saja. Kejadiannya, diduga di zaman itu, zaman kertasilitikum (eh,
pembanding dengan zaman paleolitikum, atau sejenisnya).
-o0o
“Bos, lhu bantu
gue dech di sini…?” ajak seniorku, saat gue main ke rumahnya.
Rumah dia berada
sekitar 40 menit perjalanan roda empat, dengan kecematan antara 50-60 menit.
Itu pun dengan catatan, tidak ada kemacetan, atau bocor ban di tengah jalan.
“aduh, gue belum
bisa…” jawabku pendek.
“jangan gitu, lho
kan sudah jadi Openbare Ambtenaren yang
diupah besar oleh negara…?”
“iya sih, tapi,
dapur gue belum bisa stabil…”
“emangnya,
tunjangan dari negara di kemain ? lhu pake macam-macam di luar rumah ?”
bentaknya.
“ngga
lah…percayalah sama gue..”
“terus, dikemanain
tuh gaji lu?”
“negara emang
sedang peduli kepada pegawainya, tapi, belum merata..” komenku menimpali
tanggapan dia. Komen ini, kemudian disambung dengan tangapan gue, mengenai
ketidakjelasan standar pemilihan pegawai negara yang berhak mendapat tunjangan.
Di tempat gue
kerja, ada orang yang baru nongol. Kemudian terpanggil Pendidikan dan
mendapatkan tunjangan. Ada orang, anak kemarin sore pun demikian adanya. Ada
pegawai, yang kerjanya tidur melulu, santai banget hidupnya, maklum sudah
memiliki kekayaan yang cukup melimpah di rumahnya, eh, begitu juga, malah
terpanggil Pendidikan dan kemudian mendapat tunjangan gaji berlipat.
“Nah, gue,
rasanya, gak buruk-buruk amat selama ini, sampai saat ini, belum tujga kebagian
tuh, kebaikan dari Pemerintah?!”
“You, jangan
nutup-nutupian rezeki, gak baik lha, berbuat begitu…?!” kritik seniorku saat
itu.
“emang, kenapa
gitu ?”
“justru gue yang
mau nanya, memangnya kenapa lo bilang begitu ? kalau sudah dapat tunjangan,
akui sajalah. Lagi pula, orang lain, gak mungkin minta bagian terhadap tunjangn
yang kita dapatkan tersebut…?”
“Bang, kalau gue
harus cerita jujur, ya apa lagi yang harus gue certain. Karena emang, gak ada
cerita lain lagi, Cuma segitu…!?”
“ntar..ntar…!” dia
berusaha untuk mencoba menenangkan obrolan pagi itu, di Rumah Dinas, yang sekaligus
rumah pribadinya di sebuah Kawasan Di Bandung Barat.
Gue kenal baek.
Dia adalah seorang pimpinan pada sebuah Lembaga Pendidikan swasta, yang
terkenal di negeri ini. Sekolahannya, sudah sangat-sangat moncorong. Bahkan,
dalam dua atau tiga tahun terakhir, sekolah ini mampu mengirimkan anak
didiknya, pada kejuaran internasional dalalm bidang pencak silat. Luar biasanya
lagi, dari kejuaraan internasional itu, sang putra didiknya itu meraih prestasi
Juara pertama.
Luar biasa !
Sudah hampir 6
tahun terakhir, guer akrab dengan Bos Lembaga Pendidikan ini. Bukan karena ada
hubungan kerja diantara kami, melainkan lebih disebabkan karena ada hubungan
emosional diantara kami.
Kami pernah dekat
dan merasa satu perjuangan. Karena alasan itulah, kami merasa dekat dan akran
bak sebagai saudarasa saja.
“Gue tahu banget.
Lho adalah orang ketiga, dalam urutan daftar pemanggilan dari negara untuk
mengikuti Pendidikan guna mendapatkan tunjang profesi..”
“Darimana tahu dan
merasa yakini begitu..?” tanya gue.
“Teteh lho.. tuh
tanya,..” ungkapnya sambil nunjuk ke belakang dengan maksud mengarah kepada
istrinya yang ada di dapur, “dia itu, Pendidikan sama dengan lue, Dia diposisi
pertama, dan loe anak muda, berada di posisi ketiga…” paparnya lagi.
“Maksudnya apa?”
“Saat itu, untuk
meyakinkan bahwa Tetah Loe kepanggil, gue datang ke kantor negara itu. Kemudian
gue dikasih tahu daftar orang yang berhak untuk mendapatkan kesempatan
Pendidikan guna mendapatkan tunjangan di tahun itu. Nah, disanalah, gue cari
nama istri gue, Teteh Loe itu, dan ternyata, dia berada di nomor 1 dan kemudian
nomor 3-nya adalah loe..?”
“Kenapa sampai
harus membaca nama-nama yang ada dibawahnya ?”
“lha kan, cuma ada
4 orang yang terpilih !” jawabnya singkat, “itu gampang kita baca dengan
cepat..?”
Kami terdiam
sejenak.
0 comments:
Posting Komentar