Just another free Blogger theme

Selasa, 05 Januari 2021

 


Gue sadar. Sadar banget. Orang bilang, gak ada pengaruh setetes alkoholpun kepada pikiran ini. Gue benar-benar dalam keadaan sadar 100 %. Tetapi, inilah masalah gue saat ini, disebut sadar, tetapi tidak melakukan Tindakan yang nyata, sesuai dengan kesadaran waktu itu.

Ini pun, bukan masalah hipnotis. Karena memang, gue masih sadar. Gue sadar, dan terasa banget, kalau telunjuk ini digigit, akan terasa  nyeri. Nyata, sakitnya. Tetapi, sekali lagi, gue termasuk orang yang sulit dipahami, mengapa, hal itu dibiarkan terjadi.

Untuk dongeng ini, gue gak peduli, kebenaran waktunya. Entah tahun berapa terjadinya, entah kapan terjadi. Semua itu, bagi gue sih gak prinsip. Karena emang, gue bukan seorang arsiparis atau seorang historian, yang amat sangat peduli pada angka, waktu dan tempat. Gue bukanlah mereka, dan mereka pun bukanlah gue.

Hal prinsip yang gue pahami saat ini, adalah konteks peristiwanya. Konteksnya itulah yang tidak akan terlupakan, sampai kapanpun.

Andaipun ada proses reinkarnasi tujuh siklus, rasa-rasanya, konteks kejadian ini, tidak bisa dilupakan, dan tak akan terlupakan.

Lha, emang konteks apa yach ?

Di awal kisah. Saat gue bermaksud untuk menjadi seorang Openbare Ambtenaren. Keren kan, gue tahu istilah ini.  Openbare Ambtenaren adalah sebutan di masa itu, zaman Belanda masih bercokol di  negeri yang indah ini. Kalau Bahasa kita hari ini, Openbare Ambtenaren adalah seorang pejabat public (public service).

Kenapa juga, harus menggunakan istilah itu, bukankah di negeri kita pun, sudah ada padaban katanya ?

Lha, kan biar kelihatn keren. Atau setidaknya, biar imajinasi pembaca, tidak tendensius ke arah ini, atau itu. Bila hal terakhir tadi terjadi, maka kisah ini tidak akan menarik lagi, dan bahkan cenderun menjadi delik aduan, yang bisa menyebabkan siapapun yang menuliskannya, akan terkena delik pidana atau perdata.

Tapi, tidak perlu  khawatir juga. Karena pengutupan Bahasa asing itu, hanya sekali ini saja, dan obrolan kiat berikutnya akan tetap menggunakan bahasa yang kita cintai ini.

Kalau dihitung dari sekarang, mungkin sekitar 11 tahunan yang lalu. Tepat  waktu kejadiannya, gue gak ingat lagi. Tebakan itu pun, mungkin, mungkin dalam arti sebuah perkiraan manusia awam saja. Kejadiannya, diduga di zaman itu, zaman kertasilitikum (eh, pembanding dengan zaman paleolitikum, atau sejenisnya).

 

-o0o

“Bos, lhu bantu gue dech di sini…?” ajak seniorku, saat gue main ke rumahnya.

Rumah dia berada sekitar 40 menit perjalanan roda empat, dengan kecematan antara 50-60 menit. Itu pun dengan catatan, tidak ada kemacetan, atau bocor ban di tengah jalan.

“aduh, gue belum bisa…” jawabku pendek.

“jangan gitu, lho kan sudah jadi Openbare Ambtenaren yang diupah besar oleh negara…?”

“iya sih, tapi, dapur gue belum bisa stabil…”

“emangnya, tunjangan dari negara di kemain ? lhu pake macam-macam di luar rumah ?” bentaknya.

“ngga lah…percayalah sama gue..”

“terus, dikemanain tuh gaji lu?”

“negara emang sedang peduli kepada pegawainya, tapi, belum merata..” komenku menimpali tanggapan dia. Komen ini, kemudian disambung dengan tangapan gue, mengenai ketidakjelasan standar pemilihan pegawai negara yang berhak mendapat  tunjangan.

Di tempat gue kerja, ada orang yang baru nongol. Kemudian terpanggil Pendidikan dan mendapatkan tunjangan. Ada orang, anak kemarin sore pun demikian adanya. Ada pegawai, yang kerjanya tidur melulu, santai banget hidupnya, maklum sudah memiliki kekayaan yang cukup melimpah di rumahnya, eh, begitu juga, malah terpanggil Pendidikan dan kemudian mendapat tunjangan gaji berlipat.

“Nah, gue, rasanya, gak buruk-buruk amat selama ini, sampai saat ini, belum tujga kebagian tuh, kebaikan dari Pemerintah?!”

“You, jangan nutup-nutupian rezeki, gak baik lha, berbuat begitu…?!” kritik seniorku saat itu.

“emang, kenapa gitu ?”

“justru gue yang mau nanya, memangnya kenapa lo bilang begitu ? kalau sudah dapat tunjangan, akui sajalah. Lagi pula, orang lain, gak mungkin minta bagian terhadap tunjangn yang kita dapatkan tersebut…?”

“Bang, kalau gue harus cerita jujur, ya apa lagi yang harus gue certain. Karena emang, gak ada cerita lain lagi, Cuma segitu…!?”

“ntar..ntar…!” dia berusaha untuk mencoba menenangkan obrolan pagi itu, di Rumah Dinas, yang sekaligus rumah pribadinya di sebuah Kawasan Di Bandung Barat.

Gue kenal baek. Dia adalah seorang pimpinan pada sebuah Lembaga Pendidikan swasta, yang terkenal di negeri ini. Sekolahannya, sudah sangat-sangat moncorong. Bahkan, dalam dua atau tiga tahun terakhir, sekolah ini mampu mengirimkan anak didiknya, pada kejuaran internasional dalalm bidang pencak silat. Luar biasanya lagi, dari kejuaraan internasional itu, sang putra didiknya itu meraih prestasi Juara pertama.

Luar biasa !

Sudah hampir 6 tahun terakhir, guer akrab dengan Bos Lembaga Pendidikan ini. Bukan karena ada hubungan kerja diantara kami, melainkan lebih disebabkan karena ada hubungan emosional diantara kami.

Kami pernah dekat dan merasa satu perjuangan. Karena alasan itulah, kami merasa dekat dan akran bak sebagai saudarasa saja.

“Gue tahu banget. Lho adalah orang ketiga, dalam urutan daftar pemanggilan dari negara untuk mengikuti Pendidikan guna mendapatkan tunjang profesi..”

“Darimana tahu dan merasa yakini begitu..?” tanya gue.

“Teteh lho.. tuh tanya,..” ungkapnya sambil nunjuk ke belakang dengan maksud mengarah kepada istrinya yang ada di dapur, “dia itu, Pendidikan sama dengan lue, Dia diposisi pertama, dan loe anak muda, berada di posisi ketiga…” paparnya lagi.

“Maksudnya apa?”

“Saat itu, untuk meyakinkan bahwa Tetah Loe kepanggil, gue datang ke kantor negara itu. Kemudian gue dikasih tahu daftar orang yang berhak untuk mendapatkan kesempatan Pendidikan guna mendapatkan tunjangan di tahun itu. Nah, disanalah, gue cari nama istri gue, Teteh Loe itu, dan ternyata, dia berada di nomor 1 dan kemudian nomor 3-nya adalah loe..?”

“Kenapa sampai harus membaca nama-nama yang ada dibawahnya ?”

“lha kan, cuma ada 4 orang yang terpilih !” jawabnya singkat, “itu gampang kita baca dengan cepat..?”

Kami terdiam sejenak.

Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar