Dalam
tradisi kita, kerap muncul pertanyaan, iman dulu, atau paham dulu ? akankah,
kita bisa mengimani sesuatu, bila kita tidak memahaminya ? ataukah, dapatkah
kita bisa memahami sesuatu, sebelum mengimaninya ? Dua pertanyaan itu, seakan
filosofis, dan masuk dalam tradisi ilmu kalam, dan terus menjadi bahan narasi
yang cukup mengganggu pikiran kita.
Namun,
bila ditelaah secara seksama, ada satu aspek keberagamaan yang masih belum
banyak terungkap. Aspek yang kita maksudkan ini, yakni merujuk pada firman
Allah Swt yang berbunyi :
﴿ ÙˆَÙ…َا Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù„َا تُؤْÙ…ِÙ†ُÙˆْÙ†َ بِاللّٰÙ‡ِ ۚÙˆَالرَّسُÙˆْÙ„ُ
ÙŠَدْعُÙˆْÙƒُÙ…ْ Ù„ِتُؤْÙ…ِÙ†ُÙˆْا بِرَبِّÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ‚َدْ اَØ®َذَ Ù…ِÙŠْØ«َاقَÙƒُÙ…ْ اِÙ†ْ
ÙƒُÙ†ْتُÙ…ْ Ù…ُّؤْÙ…ِÙ†ِÙŠْÙ†َ Ù¨ ﴾ ( Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ¯/57: 8)
Mengapa kamu tidak
beriman kepada Allah, padahal Rasul mengajakmu beriman kepada Tuhanmu? Sungguh,
Dia telah mengambil janji (setia)-mu jika kamu adalah orang-orang mukmin. (Al-Hadid/57:8)
Khitab ayat ini
ditujukan kepada orang-orang kafir. Menurut Jalalain (J. A.- Syuyuthi and
Mahalliy 2009), kalimat awal dalam ayat ini, memberi
kesan, tidak ada halangan untuk beriman, karena sudah ada Rasul yang hadir di
tengah orang kafir. Hanya saja, mengapa mereka tidak beriman ? dalam hal ini,
Ibnu Katsir (Dimasqy 2015) memberi
penjelasan bahwa kesan ayat ini dimaksudkan untuk menggali alasan atau faktor
penyebab orang kafir tidak mau beriman, padahal ada Rasul menyeru kepada Allah.