Beberapa tahun lalu, kadang mendapat komentar yang miring, saat memberikan jawaban, terkait motto hidup. Sudah beberapa tahun sebelumnya, jika ditanya, mengenai moto hidup, dijawab dengan kalimat, “berbuat baiklah, semaksimalmu, karena semua itu akan kembali pada diri sendiri”. Beberapa teman, menilainya, sebagai sesuatu yang egois, dan mereka menyarankan, mengapa tidak menggunakan kalimat, “berbuat baik dan mengabdi kepada Masyarakat?”
Ah, mungkin, sekedar salah paham, atau belum mendapat penjelasan lebih lanjut saja, sehingga mereka melakukan komentar serupa itu. Karena sejatinya, bisa jadi, motivasi intrinsic, atau dorongan utama dalam diri seseorang, tentunya adalah karena dirinya ingin mendapat keuntungan, kebahagiaan, atau kebaikan itu sendiri. Artinya, kebaikan apapun yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sejatinya adalah untuk kebaikan diri kita sendiri.
Setelah melalui perjalanan itu, tanpa
bermaksud untuk membentengi dengan dalil suci dari rujukan keagamaan, namun ada
beberapa inspirasi ilahiah, yang terkesan mendukung pada keyakinan serupa ini.
Allah Swt
berfirman :
﴿ قَدْ جَاۤءَكُمْ بَصَاۤىِٕرُ
مِنْ رَّبِّكُمْۚ فَمَنْ اَبْصَرَ فَلِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَاۗ
وَمَآ اَنَا۠ عَلَيْكُمْ بِحَفِيْظٍ ١٠٤ ﴾ ( الانعام/6: 104)
Sungguh, telah datang kepadamu bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu.
Siapa yang melihat (bukti-bukti itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri
dan siapa yang buta (tidak melihat bukti-bukti itu), maka (akibat buruknya)
bagi dirinya sendiri, sedangkan aku (Nabi Muhammad) bukanlah pengawas(-mu).
(Al-An'am/6:104)
Kesan yang
dapat kita gali dari firman Allah Swt ini, (1) bukti kebenaran sudah ada di
sekitar kehidupan manusia, (2) manusia cenderung akan terbelah jadi dua kelompok,
yakni yang mendapat pencerahan dari hasil pengamatan, dan yang buta dari objek
pengamatan, (3) implikasi dari proses pengamatan itu, dampaknya akan kembali
pada si pelaku, dan (4) Tuhan, tidak akan memberikan efek yang menyimpang dari
hukum alam. Artinya, jika tercerahkan dari hasil pengamatan, dia akan
mendapatkan petunjuk, dan bila buta terhadap pencerahan, maka dia akan
mendapatkan efek kebutuhaan itu sendiri.
Bukti-bukti
kebenaran itu, satu sisi, hadir dalam bentuk sebagai sesuatu yang bisa diamati, dan pada sisi lain, hadir
dalam bentuk sesuatu yang bisa dikaji. Hal ini, tergali dari firman Allah Swt :
﴿ اِنَّآ
اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّۚ فَمَنِ اهْتَدٰى
فَلِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚوَمَآ اَنْتَ
عَلَيْهِمْ بِوَكِيْلٍ ࣖ ٤١ ﴾ ( الزمر/39: 41)
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu (Nabi Muhammad) Kitab
(Al-Qur’an) untuk (seluruh) manusia dengan hak. Siapa yang mendapat petunjuk,
(petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat, sesungguhnya
kesesatan itu untuk dirinya sendiri. Engkau bukanlah penanggung jawab mereka. (Az-Zumar/39:41)
Pada ayat
ini, al-Qur’an menggunakan kata al-Kitab, dan bukan al-Qur’an. Hal ini, bisa
merujuk pada ayat tanziliyyah yang lainnya, yang Allah Swt telah turunkan
kepada Rasul-rasul-Nya, yakni Taurat, Zabur dan Injil. Selanjutnya, al-Qur’an
mensinyalir ada dua pola respon manusia terhadap ayat-ayat tanziliyyah ini,
yakni ada yang mendapat petunjuk, dan ada yang sesat. Kata ihdata, merupakan lawan kata Dhalla.
Sementara pada ayat 104 surat al-An’am, kata basho’ir (melek) lawan kata
dari ‘amma (buta). Di bagian ujungnya, Allah Swt menegaskan, bahwa Rasulullah atau bisa
jadi kita semua ini, tidak akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap kesesatan yang mereka pilih.
Perhatikan
dengan seksama. Di ayat 104 surat al-An’am, Allah Swt berfirman, bahwa Muhammad
Saw bukanlah pengawal orang sesat. Sementara di ayat 41 surat Az-Zumar, Muhammad Saw bukan (pula) sebagai
penanggungjawabnya. Artinya, bahwa setelah ada dakwah, pilihan kesesatan yang
dipilih manusia itu, akan menjadi tanggungjawab dirinya sendiri, dan karena
itu, al-Qur’an menggunakan kata fa’alaiha (ditimpakan kepada dirinya
sendiri).
Ada firman
Allah Swt ketiga, yang juga menarik untuk dikaji. Pada firman Allah Swt ini,
lawan amal Sholeh adalah kesalahan atau amal salah.
﴿ مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۗوَمَا رَبُّكَ
بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ ۔ ٤٦ ﴾ ( فصّلت/41: 46)
Siapa yang mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri
dan siapa yang berbuat jahat, maka (akibatnya) menjadi tanggungan dirinya
sendiri. Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (Fussilat/41:46)
Untuk
kebaikan, al-Qur’an menggunakan kata li (bagi) dirinya sendiri, sedangkan untuk
sesuatu hal yang buruk, menggunakan kata ‘alaiha (ditimpakan), atau
dibebankan kepada dirinya sendiri. Dengan formulasi hukum itu, Allah Swt
menegaskan, bahwa dengan pola itu, Tuhan tidak menzalimi hamba-Nya. Orang yang
berbuat baik akan mendapatkan kebaikan, dan pelaku kejahatan akan ditimpa
keburukan sebagai buah dari perbuatannya. Hukum ini, diperkuat dengan firman
Allah Swt :
﴿ مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۖ ثُمَّ اِلٰى
رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْنَ ١٥ ﴾ ( الجاثية/45: 15)
Siapa yang mengerjakan amal saleh, itu untuk dirinya sendiri dan siapa
yang berbuat keburukan, itu akan menimpa dirinya sendiri. Kemudian, hanya
kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan. (Al-Jasiyah/45:15)
Sebagai
penegasan, penggunaan kata li (bagi) untuk hal yang bermuatan kebaikan, dan
‘ala untuk yang bernilai keburukan, dapat ditemukan pula dalam firman Allah Swt
:
﴿ مَنْ
كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهٗۚ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِاَنْفُسِهِمْ
يَمْهَدُوْنَۙ ٤٤ ﴾ ( الرّوم/30: 44)
Siapa yang kufur, maka dia sendirilah yang
menanggung (akibat) kekufurannya. Siapa yang mengerjakan kebajikan, maka mereka
menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan) (Ar-Rum/30:44)
Inspirasi yang bisa didapat dari kajian
ini, kita merasa yakin bahwa apapun
boleh dilakukan, asalkan kita siap menerima resiko atau akibatnya. Karena
setiap efek dari sebuah Tindakan, akan kembali pada si pelakunya sendiri.
0 comments:
Posting Komentar