“rasanya, ingin sekali bisa nonton Piala Dunia (World Cup)
langsung di Brasil…!” ungkapan seperti ini, tidak hanya diungkapkan oleh satu
orang, dan bukan hanya para pencita bola di kota saja. Para pencinta bola di
daerah, di desa pun, banyak yang memiliki impian serupa ini.
Agak unik memang. Mengapa ada
orang begitu terobsesi untuk menyaksikan Piala DUnia langsung di Brasil, dan
tidak merasa cukup denganmenyaksikannya di layar kaca, atau di smartphone-nya
sendiri ? bukankan di media elektronik tersebut, pun, sudah ada fasilitas yang
bisa digunakan untuk menyaksikan perhelatan akbar dimaksud ?
Bagi mereka yang tidak berkesempatan untuk bisa menyaksikan langsung di Negeri Samba tersebut, rela mencari dan meluangkan waktu untuk nonton bareng dengan rekan-rekan yang lain. Tempat nonton bareng sangat beragam, ada yang poskamling, di kelurahan, café atau tempat hiburan lainnya. Banyak pejabat atau elit social yang berusaha untuk menyediakan fasilitas nobar (nonton bareng) pertandingan sepakbola tersebut.
Ada juga yang tidak ketagihan
atau kegilaan akan bola dengan melakukan hal serypa tadi. Untuk sekedar memuaskan kebutuhan dan
hasratnya, dia mencoba untuk menyisihkan waktu istirahat malamnya, dengan
bangun malam untuk menyaksikan pertandingan langsung di media TV tersebut.
Kelompok yang paling praktis, adalah mereka yang hanya menyaksikan siaran ulang. Waktunya bisa siang hari, atau kapan saja dia suka memutar ulang pertandingan tersebut. Teknologi komunikasi zaman modern, sudah menyediakan fasilitas seperti itu. Bahkan, media televise pun ada yang memberikan layanan siaran ulangnya, pada siang harinya.
Bagi mereka yang pragmatis sudah tentu,
tinggal baca berita atau laporan tertulis di media cetak.Informasi dan
paparannya ada disitu. Mengapa harus repot????
Dengan memperhatikan perilaku masyarakat dunia dalam merespon perhelatan akbar sepakbola ini, kita mendapatkan informasi mengenai pengetahuan perilaku keruangan. Atau setidaknya, inilah salah satu tantangan geografi dalam memahami perilaku masyarakat olahraga saat ini.
Pertama, ada perbedaan kepuasan
saat menyaksikan sepakbola sendirian di rumah, atau nobar dengan keluarga di rumah, nobar di
tempat umum, dan nonton sepakbola langsung di stadion. Setiap ruang menyajikan
kepuasan atau ‘kebahagiaan’ yang
berbeda-beda. Kendati fenomena yang disaksikannya adalah ‘relatif’ sama,
tetapi tingkat kepuasannya sangat berbeda.
Kita sebut, fenomena yang disaksikan relative sama, yaitu pertandingan sepakbola. Perbedaannya satu sisi, ada yang realitas ril di lapangan sepakbola, ada realitas sepakbola yang ter-redukasi dalam bentuk elektronik dilayar kaca. Dari sisi teknologi, tampilan pertandingan sepakbola di layar kaca, adalah tampilan pilihan, yaitu terseleksi oleh kamera yang menyiarkannya, dan tidak menampilkan realitas pertandingan secara utuh.
Kedua, ekpresi kepuasan ruang
hadir beriringan dengan makna ruang bagi pelaku. Seorang mahasiswa akan merasa
mahasiswa saat ada di kampus atau di dalam kelas. Seorang mahasiswa akan
menjadi aktivis politik jika ada di luar kampus. Seorang remaja, merasa bebas
berekspesi jika ada di luar sekolah dan lepas dari atribut sekolahnya.
Dalam konteks inilah, pentingnya perhatian guru atau orangtua terhadap perilaku anak yang ‘berduaan’ di tempat sepi (khalwat). Kehadiran mereka di tempat khusus, akan mendorong mereka mengeluarkan pemaknaan sendiri, dan ruang ekspresinya lebih terbuka.
Dalam konteks itu pulalah,
kendati jabatannya sebagai seorang guru, atau pejabat,tetapi bila hadir di
stadion menyaksikan tim kesayangannya bertanding, ekspresi dan luapannya, akan jauh lebih leluasa dan terbuka, dibandingkan
saat dia ada di rumah, atau dikantornya sendiri.
Merujuk pada analisis itu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa perbedaan ruang melahirkan keintiman ruang (sense of place), dan setiap keintiman ruang melahirkan pola perilaku yang berbeda. Karena itulah, menyaksikan sepakbola langsung di stadion dirasa sangat penting,dari sekedar nonton di TV.
0 comments:
Posting Komentar