Untuk mengawali diskusi ini, kita
bisa melirik pandangan yang dikemukakan oleh seorang pemikir dan penyari dari Negara Inggris.
Rudyard Kipling (1865-1936), penulis
”The Jungle Book” (1894), pernah mengatakan ”Timur ya Timur, dan Barat ya Barat, dan keduanya tidak akan pernah bertemu”. Dikaitkan dengan posisinya sebagai seorang
penyair, kita dapat mengartikan bahwa hanya Kiplinglah, yang mengetahui maksud
sesungguhnya dari kalimat tersebut.
Tetapi, jika ditelaah dari sisi ’semiotika’ atau dari sudut si
pembaca, keragaman makna terhadap
kalimat tersebut, sangatlah mungkin terjadi.
C.A. Qodir, misalnya, memandang bahwa penytaan Rudyard Kipling menunjukkan bahwa terdapat unsur-unsur pembentukan peradaban yang berbeda, antara peradaban Barat dengan peradaban masyarakat Timur.[1] Akar peradaban dan spirik penggerak peradaban yang berbeda, kemudian yang menyebabkan kecil kemungkinan kalau bukan mustahil, untuk keduanya menyatu atau membentuk peradaban baru.
Tidak semua orang setuju, dengan
adanya pemilahan pemikiran Barat dan Timur. HAR Tilaar, misalnya, sebagai pakar
pendidikan kurang memberikan perhatian serius mengenai pemilahan seperti itu.[2]
Penulis (baca : HAR Tilaar, pen.) berpendapat falsafah Timur dalam
kenyataannya ada meskipun sulit didefinisikan di dalam dunia terbuka dewasa
ini. Penulis cenderung tidak jatuh di dalam konsep yang mempertentangkan antara
filsafat Barat versus filsafat Timur namun adalah merupakan kenyataan bahwa
kebudayaan Indonesia yang multikultural terbentuk dari berbagai pengaruh dari
filsafat Timur seperti India, Cina, Islam. Penulis tidak terpaku kepada
antagonisme antara filsafat Barat dan filsafat Timur namun di dalam uraian
selanjutnya penulis bertolak dari falsafah Timur sebagaimana yang dipersepsikan
dalam masyarakat awam. Penulis sendiri beranggapan bahwa baik falsafah Barat
maupun falsafah Timur yang tidak terarah kepada kebahagiaan hidup manusia di
dunia ini tentu tidak ada manfaatnya. Yang kita perlukan adalah “pandangan –
ketiga ,” yaitu pendidikan yang didasarkan kepada falsafah manusia yang hidup
di dalam masyarakat Indonesia yang berbudaya Indonesia dalam era global yang
terbuka
Sementara sebagai seorang pengajar filsafat, Konrad
Kebung (2011) menunjukkan bahwa ada sejumlah perbedaan karakter antara filsafat
Barat dan Filsafat Timur. Di dunia Timur
lebih menekankan aspek intuisi dan perasaan, sedangkan di belahan Barat
menekankan aspek intelek atau akal budi. Di belahan Timur, manusia diartikan sebagai bagian dari alam (kosmos), sedangkan menurut
pemikiran Barat, alam adalah objek kajian akal budi manusia. Sehubungan hal itu pula, Kebung melihatnya
bahwa manusia Barat jauh lebih aktif
dalam melakukan kajian-kajian, sedangkan manusia Timur cenderung pasif.[3]
Kemudian, pandangan yang relevan dengan hal ini, Lasiyo (1997) menunjukkan bahwa ada persepsi berbeda mengenai karakter berfikir antara Barat dan Timur. Barat kerap dipersepsikan oleh Timur, sebagai orang yang materialisme, kapitalisme, saintisme, dinamisme, dan positivisme. Sementara, Timur dipersepsikan Barat sebagai orang yang statis, fatalistis dan kontemplatif. [4] Sehubungan hal itulah, maka, baik Lasiyo maupun Rudyard Kipling memandang bahwa upaya menyatukan kedua pandangan itu, dianggap belum berhasil.
”Barat
adalah barat, timur adalah timur”. Merupakan peta geografik mengenai peradaban
manusia. Pemilahan peta peradaban ini, seolah menjadi sebuah ’konsep kunci’
dalam memahami peradaban modern saat ini.
Hal yang menariknya lagi, pemikiran seperti ini, menguat lagi setelah Sameul
P. Huntingthon mendeklarasikannya ada ancaman konflik peradaban (the clash of civilization).[5] Bara konflik
antara ”Barat dan Timur”, seolah muncul dan menguat lagi. Pemikiran itu,
seolah menegaskan mengenai adanya
perbedaan karakter berfikir antara Barat dan
Timur.
Tahun 2003, Richard Nisbett menulis mengenai geografi pemikiran, ”Geography of thought”[6]. Karya yang ditulisnya itu, mencantumkan anak judul yang juga provokatif, mengapa pemikir Barat dan Asia berbeda ? Barat dalam konteks kajian Nisbett, dihadapkan dengan pemikiran Asia. Sementara, Asia kerap diposisikan sebagai pemikiran ”timur”. Dengan kata lain, setidaknya, kita memahami bahwa fenomena pemikiran Barat dan Timur itu, bukan sekedar ’bahasa’, tetapi merupakan satu fenomena sosial yang aktual dan faktual dalam kehidupan manusia saat ini.
Wacana-wacana itu, mengantarkan kita pada pentingnya untuk melakukan kajian mengenai geografi pemikiran, wa bil khususnya, melakukan kajian mengenai geografinya pemikiran geografi. Dengan kata lain, apakah memang benar, ada yang disebut dengan pemikiran Barat dan Timur ? apakah lingkungan benar-benar mempengaruhi karakter berfikir seseorang ? apakah lingkungan benar-benar mempengaruhi karakter berfikir kolektif masyarakat ?
[1] Penulis kutip dari C. A. Qodir. Filsafat, dan
Ilmu Pengetahuan dalam Islam. YOB : Jakarta, 1991 : 1
[2] Dikutip dari HAR Tilaar, 2003, Filsafat
Timur, Kearifan Lokal dalam Pendidikan Watak”, sumber diunduh dari http://fkai.org/wp-content/uploads/2013/05/KML-X-2013_paper_tilaar_pendidikan-berdasarkan-filsafat-timur-jalan-alternatif.pdf
[3] Konrad Kebung, 2011, Filsafat Berfikir Orang Timur (Indonesia, China dan India), Jakarta
: PT Prestasi Pustakaraya
[4] Lasiyo, 1997, “Pemikiran FIlsafat Timur dan Barat (Studi Komparatif)”, Jurnal
Filsafat, Maret 1997, tulisan ini diunduh dari http://share.pdfonline.com/a235b1033110444bbcf93354e07dca1a/74108017-Filsafat-Timur-Dan-Barat-Ugm.pdf
[5] Samuel P. Huntington, 1996, The Clash
Of Civilizations And The Remaking Of World Order, New York : Simon & Schuster
[6] Richard E. Nisbett, 2003, The Geography Of Thought : How Asians And
Westerners Think Differently ...And Why,
New York : The Free Press, A Division of
Simon & Schuster, Inc.
0 comments:
Posting Komentar