Long Hualou
(2011:3) mencatat bahwa 75 %
penduduk dunia saat ini, tinggal
di daerah bencana, yang minimalnya pernah sekali diguncang bencana gempa atau
badai siklon, banjir dan kekeringan antara tahun 1980-2000. Delapan Puluh Lima
persen (85 %) dari orang yang terkena bencana itu, adalah tinggal di negara
dengan tingkat pembangunan yang rendah dan
menengah, dengan rata-rata kerugian sekitar US$ 213.9 billion pada tahun 1980, dan US$ 659.9 billion pada
tahun 1990.[1]
Meminjam analisis yang dikemukakan Long Hualou (2011:3-4), setidaknya ada
empat peran yang perlu dilakukan oleh geograf dalam menangani masalah seperti
ini. Pertama, Assessing Human-created Vulnerability. Dalam konteks yang lebih luas, resiko yang
ada dalam kehidupan manusia itu adalah sebuah dampak kreasi manusia. Bencana
banjir, kekeringan, longsor dan
kebakaran hutan, adalah sejumlah bencana yang disebabkan oleh ulah
manusia. Sehubungan hal itu, seiring
selaras dengan agenda pembangunan, geografi dapat memainkan peran untuk
melakukan pengukuran terhadap aspek kerentangan akibat dari kreasi manusia.
Sistem Informasi Geografi (SIG) misalnya, dimanfaatkan untuk melakukan
pemetaan, dan pengukuran terhadap perubahan ruang geografi.
Kedua, Dealing with Technical Disaster. Lou Hualou menegaskan bahwa proses industrialiasasi dan pembangunan yang berkembang saat ini, kerap beriringan dengan munculnya bencana-bencana kemanusiaan. Hal itu terjadi, karena teknologi yang digunakannya kurang efektif dan atau tidak mampu mereduksi masalah atau akiba dar ipemanfaatan teknologi tersebut. Penelitian dilakukan untuk menguji dampak limbah, pencemaran, dan pengolaha limbah industri. Pada konteks itulah, geografi memberikan perhatian terkait dengan maslaah bencana-bencana teknis yang disebabkan oleh perkembangan industri.
Ketiga, Developing Disaster Monitoring and Simulation Systems (mengembangkan sistem pengawasan dan
simulasi bencana). Penginderaan Jarak
Jauh (inderaja) dan SIG merupakan teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk
pemetaan daerah-dareah rawan bencana. Teknologi ini, berguna dalam melakukan
pengawasan kawasan bencana. Walaupun
dalam tataran operasionalnya, perlu mendapat imbangan teknologi lain, yang memberikan peran untuk peringan dini (early
warning). Kendati demikian, setidaknya dapat dikemukakan bahwa geografi
memainkan peran untuk membangun sistem pengawasan dan simulasi kebencanaan.
Keempat, Post-Disaster Recovery and Reconstruction (rekonstruksi dan rekaferi pascabencana). Hal yang tidak kalah pentingnya lagi, yaitu rekonstruksi dan rehabilitasi keruangan pasca bencana. Berbagai kerusakan dan kebutuhan akan pembenahan di daerah bencana, membutuhkan pemetaan dan penatana ulang.
[1] Long
Hualou , 2011, “Disaster
Prevention and Management: A Geographical Perspective,” diunduh dari http://www.disasterjournal.net/read.php?page=/editorial/editorial_01_11.html.
0 comments:
Posting Komentar