Just another free Blogger theme

Minggu, 04 September 2016

Baru saja. Di awal September 2016,  bermedsos-an dengan rekan seprofesi, yang satu angkatan dalam program Pendidikan, Latihan Profesi Guru (PLPG). Seperti biasanya, medsos (social media) adalah forum curhatan banyak orang. Para peserta PLPG 2012 pun, tidak meninggalkan kesempatan itu. Ada informasi, ada guru di kabupaten tertentu, yang tidak dibayarkan TPGnya. Jumlah bulannya, sangat beragam ada yang 3 bulan, ada yang 4 bulan.  Teknik pembayarananya pun, beragam, ada yang tiga bulanan, ada yang empat bulanan dan ada yang enam bulanan.

Pada pertengahan tahun 2016, PNS di lingkungan Kementerian Agama pun, mengalami hal serupa. Bila selama ini, mereka menikmati pembayaran TPG oleh satkernya langsung, dan bisa dibayarkan setiap bulan, pada kali ini, mereka pun mengalami hal serupa, yaitu menerima bayaran TPG 3 bulanan.
Dalam satu kesempatan diskusi kecil, ada pertanyaan unik, yang diajukan guru-guru.  Apa yang menjadi alasan, pemerintah membuat aturan bahwa pembayaran TPG ke guru harus 3 bulan sekali ?
Jika kita menggunakan alasan politis, kita bisa mengajukan analisis, bahwa politik anggaran seperti ini, adalah politik anggaran yang tidak sehat bagi dunia pendidikan. Kebijakan seperti ini, mengecilkan peran dan arti peran guru dalam kebangsaan. Disaat, tunjangan kinerja di kalangan structural, bisa dinikmati setiap bulan sekali, untuk para guru malah 3 bulanan.
Kebijakan itu menunjukkan bahwa pemerintah dan elit politik di negeri ini, tidak memiliki keberpihakan kepada guru. Tidak ada keberpihakan kepada guru, adalah indicator kecil tidak ada keberpihakan kepada dunia pendidikan.
Bila kita menggunakan asumsi, (a) jika guru sejahtera, pendidikan akan meningkat, dan (b) jika pendidikan di Indonesia meningkat, maka kewibawaan bangsa ini akan kuat. Asumsi ini memang bisa diperdebatkan. Tetapi, kita akan berhadapan dengan logika sebaliknya, yaitu menghancurkan Indonesia, bisa diawali dengan cara mengkerdilkan keberpihakan kepada guru. Dengan membuat kegaduhan pada guru, akan berimbas pada kegaduhan kultur pendidikan di Indonesia, dan ujungnya masa depan wibawa bangsa pun dipertaruhkan. Alih-alih memuliakan guru, kebijakan selama ini, malah membuat kegaduhan terhadap  profesi guru.
Kedua, jika kita menggunakan logika hokum, ada anomaly untuk guru-guru di lingkungan Kementerian Agama.  Kebijakan penyaluran TPG 3 bulanan, dirujukkan pada KMK. Sementara di KMK, tertuang  ada penjelasan mengenai mekanisme penyaluran Dana Alokasi Umum ke daerah.
Dalam Keputusan Menteri Agama, TPG bisa dicairkan setiap bulan, dan atau sesuai dengan kondisi masing-masing. Kebijakan ini,  relevan dengan peraturan perundangan yang lainnya. Bahkan, dalam PMK sendiri, untuk kementerian Agama, atau kementerian lainnya, diserahkan kepada kementeriannya masing-masing.
Adapun dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) No. 48 tahun 2016, ada tertulis bahwa penyaluran TPG PNSD dilakukan secara bertahap pertriwulan. Tetapi, dalam pasal itu, dikaitkan dengan mekanisme penyaluran dana dari Pusat ke Daerah.  Penjelasannya pun, lebih mengarah pada tunjangan PNS Daerah.
Sehubungan hal itu, ada pertanyaan krusial, (1) apakah guru kemenag, adalah guru PNSD ? (2) bukankah, anggaran pendidikan pada satuan pendidikan negeri (misalnya MA Negeri) di lingkungan kemenag,  sudah ada di satkernya sendiri ? mengapa, pengaturan itu, harus dikembalikan  dengan menggunakan model PNSD sebagaimana yang ada di KMK ?
Ketiga, dari aspek Profesionalisme.  Ada tuntutan, bahwa dengan adanya TPG, guru semakin rajin dan bisa meningkatkan profesionalismenya. Saya merasakan, bahwa geliat keseriusan guru mulai naik, setidaknya dengan munculnya gairah para guru untuk kuliah lagi, melanjutkan ke program pascasarjana.
Bahkan, beberapa guru diantaranya ada yang produktif nulis, produktif melakukan pengembangan diri, dan peningkatan kompetensi profesinya. Tetapi, jika TPG ini ditangguhkan seperti ini, (1) pendanaan terganggu, (2) dan dilihat dari sisi keadila, potensial bisa melemahkan kepercayaan guru terhadap pemerintah. Tukin untuk pegawai struktural, bisa setiap bulan, tetapi untuk guru, malah ditiga bulankan.
Kebijakan TPG ini, senantiasa digonjang-ganjing. Isunya sangat tidak karuan. Mau dihapuslah, mau diganti lagi, hingga kini mau ditinga bulankan. Sebagian tidak dicairkan. Dan lain sebagainya, Kebijakan itu, tidak membuat kami nyaman. Sehingga tafsir kami, terhadap TPG, bukanlah kewajiban, bukan hak, dan juga bukan sebuah penghargaan. TPG adalah permainan politik untuk menghancurkan mental guru !
Keempat, menggunakan aspek teologis, khususnya ajaran Agama Islam. Dalam pemahaman pribadi, Rasulullah Muhammad SAW pernah mengingatkan kepada umatnya, untuk senantiasa “memberikan upah sebelum kering keringatnya”. Memang hadist ini, bisa ditafsirkan secara beragam, tetapi pemahaman yang sederhana, ucapan Rasulullah Muhammad Saw itu, menyegerakan pembayaran terhadap karya atau kerja orang lain, adalah bentuk dari kesalehan social yang perlu dibangun oleh kita.
Penyegeraan penghargaan kepada bawahan, karyawan, atau pegawai, adalah bentuk dari kesalehan-sosial yang perlu dikembangkan oleh aparat kita. Dalil-dalil yang kurang sehat, seperti “jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”, atau “jika bisa lambat, mengapa harus cepat-cepat”, atau “jika bisa ditangguhkan, mengapa harus disegerakan”, adalah bentuk layanan public yang harus ditinggalkan.  
Kelima, aspek psikologi ekonomi. Entah mengapa, kalau berbicara kesejahteraan guru, walaupun PNS, akan terasa jauh berbeda dengan PNS lainnya di negeri ini. Untuk golongan yang sama, seorang guru memiliki nasib kesejahteraan yang berbeda dengan seorang dosen. Ini adalah fakta. Untuk golongan yang sama,  akan berbeda kesejahteraannya antara guru dengan polisi, atau pegawai pemda, apalagi kalau yang di BUMN. Itu pun adalah fakta.
Sehubungan hal itu, adalah wajar, jika dengan hadirnya TPG kemudian guru ada yang menggadaikan SK (Surat Keputusan) PNS ke bank, untuk membuat rumah, atau untuk membeli mobil, sedangkan makan sehari-harinya mengandalkan TPG.  Maka oleh karena itu, ketergantungan guru pada TPG, sesungguhnya masih tetap besar. Dengan demikian pula, dengan perubahan model pencairan, dan atau tidak dibayarkannya TPG oleh pemerintah, kestabilan guru pun kembali terguncang.

Dalam konteks itulah, saya merasakan bahwa kegaduhan profesi guru, seolah tidak pernah berhenti, dan tidap pernah sepi dari komentar banyak pihak. Sementara dilain pihak, guru pun, jarang berdaya untuk melakukan pembelaan diri, atau memperjuangkan nasibnya ! padahal, sejatinya, faktanya, di tengah kota Bandung saja, masih ada guru yang pendapatan bulanannya kurang dari  1 juta, atau malah kurang dari Rp. 500 ribu sementara mereka sudah berkeluarga !
Categories:


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Pellentesque volutpat volutpat nibh nec posuere. Donec auctor arcut pretium consequat. Contact me 123@abc.com

0 comments:

Posting Komentar