Hari pertama, masuk sekolah. Bagi sebagian anak, khususnya mereka yang dinyatakan diterima di sebuah sekolah negeri impiannya, akan menjadi moment pertama yang sangat membahagiakan. Setidaknya menjanjikan harapan baik untuk masa depannya.
Wajah
berbunga-bunga, tampak dalam rona ceria wajah peserta didik baru, baik yang
diterima di sekolah dasar maupun sekolah menengah. Impian selama ini, baik itu impian dirinya
maupun impian orangtuanya untuk bisa sekolah di sekolah impian itu, hari ini,
tercapai sudah.
Lain dengan situasi itu, sebagaimana yang tampil dihalaman pertama Harian Umum Pikiran Rakyat Jawa Barat. Sekolah Menengah Pertama Negeri 46 Kota Bandung, tengah mengalami nestapa yang tidak diduga sebelumnya. Eh, mungkin sudah bisa diprediksi sebelumnya, tetapi tidak terbayangkan, kemudian harus tampil dihalaman muka harian umum yang akan dibaca oleh khalayak ramai.
“SMPN 46 Kota
Bandung, didemo orangtua siswa…”. Itulah salah satu petikan dalam berita
tersebut. Pasalnya, sudah tentu, yaitu terkait dengan hasil dari penerimaan
siswa baru tahun pelajaran 2017-2018. Pihak sekolah, dengan merujuk pada
kebijakan Pemerintah Kota Bandung, menerima calon peserta didik yang sudah
dinyatakan diterima berdasarkan system online.
“mengapa anak saya tidak diterima, padahal rumah kami lebih dekat daripada mereka yang lulus…!” teriak sejumlah orangtua, yang didampingi oleh beberapa organisasi masyarakat atau kepemudiaan di desa tersebut.
“pihak sekolah tidak adil…”
“panitia melakukan kecurangan…”
“sekolah tidak berpihak pada masyarakat…”
Begitulah
beberapa sumpah serapah, yang terlontar dari lisan demonstran di depan
gedung SMPN 46 Kota Bandung. Hardikan,
pekikan, kritikan, omelan, atau yang
sejenisnya, terlontar dari lisan demonstran, dengan makna yang serupa, yakni
ketidakpuasan terhadap hasil seleksi PPDB 2017.
“kami ini hanya operasional, teknisi, kami tidak tahu apa-apa..” ungkap salah seorang panitia PPDB. “semuanya diatur oleh system, jadi yang menentukan itu system online yang diberlakukan oleh pemerintah kota..” ungkapnya lagi.
“tapi, bukankah
semua itu buatan manusia, …” sergah yang lainnya, “buktinya, mengapa yang dekat
tidak diterima sementara yang jauh diterima…” pekiknya lagi, “katanya zonasi,
katanya radius…buktinya mana..?” komennya lagi, “pasti ada permainan…”
Saling serang dan saling pekik opini ini, bukan hanya sekali. Saya termasuk orang yang pernah menjadi saksi, adu mulut antara pihak panitia dengan sebagian anggota ormas kelurahan yang ada di sekitar sekolah ini. Bahkan, adu mulut itu langsung terjadi didepan seorang pejabat Negara.
Tidak salah bila
di awal tulisan ini, saya kemukakan bahwa, kejadian ini sudah bisa diduga
sebelumnya. Tetapi tidak menyangka, bahwa kisah ini akan muncul di media massa.
Karena sehari sebelumnya, sesungguhnya sudah pernah dibicarakan dan diambil
kesepakatan dalam pertemuan antara pihak pemerintah setempat, pihak sekolah dan
perwakilan warga. Tetapi ternyata, kasus ini pun, mencuat juga ke permukaan.
-o0o-
Aspek penting
yang perlu dikemukakan di sini, yaitu adanya kesalahpahaman antara masyarakat,
dengan system PPDB 2017. Saya nyatakan, kesalahpahaman warga terhadap system
PPDB. Mengapa ?
Pertama, saya tidak bermaksud untuk membela rekan-rekan panitia di sekolah tersebut, karena sesame tenaga pendidik, tetapi selepas memahami apa yang terjadi di lapangan. Kesalahpahaman itu adalah nyata, bahwa guru, panitia PPDB di lapangan, pada dasarnyaa, hanya sekedar operator. Hanya menginput data setiap calon peserta didik. Selepas itu, yang akan menjadi selektornya, yaitu mesin online itu sendiri.
Dengan kata
lain, diterima atau tidaknya seorang calon peserta didik, sebagai peserta didik
pada sebuah lembaga pendidik, bukan oleh panitia PPDB melainkan oleh system
yang berlaku dan diberlakukan oleh pemerintah saat itu.
Kedua, betul, bahwa panitia local yang menginput data. Proses penginputan, tidak bisa direkayasa. Karena pada dasarnya, proses input itu sendiri, dilakukan dihadapan orangtua calon peserta didik, dan berbasis teknologi informasi.
Celakanya, jika
system informasi dan teknologi informasi itu, ternyata eror atau gagal merekan
data ril dari seorang calon peserta didik, maka potensial akan menjadi masalah
dalam pengolahan data.
Sekedar
contoh. Alat (tools) yang digunakan
untuk menentukan lokasi, atau zonasi seorang calon peserta didik, adalah
berbasiskan pada google earth. Alat
itulah dan teknologi itulah, yang digunakan oleh panitia PPDB.
Pengalaman tahun 2016, MAN 2 Kota Bandung pun pernah memanfaatkan Google Earth sebagai alat bantu dalam menentukan lokasi seorang calon peserta didik, sehingga sampai ketemu ordinatnya, dan kemudian jarak lokasinya ke Madrasah.
Entah mengapa,
dan ini sudah tentuk bukan kesalahan panitia secara perorangan, hasil dari
search di Google Earth itulah, yang kemudian ordinat seorang calon peserta
didik dengan lokasi real yang dekat, tidak diterima oleh sekolah tertentu,
sementara calon peserta didik yang jauh dari sekolah tersebut, bisa diterima ?
Sekali lagi. Tanpa bermaksu membela diri. Guru atau panitia, pada dasarnya sekedar operator yang menginput data. Kritikan, hendaknya tidak dialamatkan kepada panitia local, tetapi lebih ke system atau teknologi yang berlaku dan diberlakukan. Inilah yang saya maksud sebagai kesalahpahaman warga terhadap system online.
0 comments:
Posting Komentar