Terakhir yang ingin
dituangkan dalam wacana ini, pandangan tokoh yang kita idolakan atau tokoh yang
sedang populer, bukanlah sesuatu hal yang tabu untuk dikritik. Persepsi tetaplah persepsi, dan pengetahuan
tetaplah sebuah pengetahuan. Baik persepsi maupun pengetahuan, siapapun
pemiliknya, masih tetap terbuka untuk dikoreksi.
Dalam hal ini, saya ingin
kemukakan kasus pelatihan spiritual yang sedang berkembang di Indonesia.
Maraknya pelatihan spiriual mungkin bisa dikenali sejak ada Manajemen Qolbu
dari Pesantren Daarut Tauhid Bandung, kemudian ada ESQ dari Ari Ginanjar dan
terakhir yang sangat populer itu adalah pelatihan shalat Khusyu dari Abu
Sangkan.
Ketiga model pelatihan spiritual tersebut, memiliki pasar dan juga kualitas yang tidak diragukan lagi. Bahkan, untuk para pengikutnya, sudah diapresiasi sebagai satu bentuk pelatihan yang efektif dalam meningkatkan spiritualitas. Kesadaran ini sudah menjadi kesadaran kolektif dan dipersepsi secara kolektif pula.
Kendati demikian, apakah
popularitasnya tersebut tertutup dari kritik ? ternyata tidak. Bila kita
menelaah buku ”Spiritual Salah Kaprah”, karya Abu Sangkan, kita akan menemukan
pandangan kritis terhadap trend pelatihan spiritual dimaksud.
Abu Sangkan (2008:43), mengatakan ”mustahil spiritual yang sebenarnya bisa dikondisikan hanya lantaran peralatan multimedia yang menghentakkan permainan otak manusia sehingga timbul kesan sedih, seang dan juga semangat. Pada konteks inilah, pelatihan spiritual dengan memaksimalkan multimedia atau retorika (suara) sehingga seseorang bisa sedih, dan atau menangis, sesungguhnya ada kecenderungan ke arah spiritual yang dikondisikan oleh pikiran, dan dia akan merasa ’tidak aneh’ bila sudah terbiasa dengan apa yang dirasakan dan dilihatnya. Sehingga pada akhirnya, pelatihan seperti itu akan menjadi kering spiritual[1].
Di samping itu, Abu
Sangkan mempopulerkan Pelatihan Shalat Khusyu. Pelatihan ini, selain memberikan
pemahaman tasawuf, atau ’hakikat’, juga menggunakan gaya penjelasan dari
psikologi analitis, psikologi transpersonal dan tasawuf atau neurologi (ilmu
syaraf). Dalam bukunya, Abu Sangkan menulis Shalat Khusyu sebagai meditasi dan
relaksasi yang paling sempurna.
Pelatihan ini pun booming
di INDONESIA, dan bahkan ke berbagai negara asing, seperti Australia.[2]
Sekalipun buku karya Abu Sangkan ini sangat populer di Indonesia, bukan berarti luput dari kesalahan dan kekhilafan, karena penulisnya adalah seorang manusia juga yang tidak luput dari kekhilafan. Dalam pandangan Abdul-Samad (2009:IX), ditemukan banyak hal yang tidak sesuai dengan pandangannya. Shalat bukan meditasi dan bukan relaksasi. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan Abu Sangkan. Bahkan, untuk mendukung pendiriannya, Abdul-Samad pun mengangkat hadits mengenai bid’ah, dalam memosisikan persoalan pandangan Abu Sangkan dalam persepsinya.[3]
Paparan tersebut, ingin
menegaskan bahwa (a) setiap orang memiliki persepsi pribadi, seperti yang
diakui Abu Sangkan ketika mendalami dan mempelajari shalat khusyu’, (b)
kemudian pengalaman dan persepsi pribadi itu dikembangkan menjadi sebuah
konstruk pengetahuan yang bisa disampaikan kepada orang lain, dan (c) ketika
diterima oleh publik, dan kemudian dijadikan kesadaran bersama, maka
pengetahuan tersebut menjadi sebuah ’persepsi kolektif’ para penganutnya.
Kendati sudah menjadi persepsi kolektif para penganutnya, sebagai sebuah
pengetahuan tidak berarti tertutup untuk mendapat koreksi.
[1] Abu Sangkan. 2008. Spiritual Salah Kaprah.
Bekasi : Gybraltar Wahyamaya.
[2] Abu Sangkan. 2009. Pelatihan Shalat
Khusyu’. Jakarta : Shalat Center – Baitul Ihsan. Lihat pula M Amin Abdul Samad. Memahami
Shalat.....
[3] M Amin Abdul Samad.
2009. Memahami Shalat Khusyu : Bukan Relaksasi, Bukan Meditasi. Tangerang : Alifia Books. 2009:1
0 comments:
Posting Komentar