Kuharap.
Untuk kali ini, walau hanya untuk sekali ini, bisa mudik dengan leluasa. Tanpa
ada hambatan, keluhan, atau kekesalan yang akut saat menjalani mudik. Itulah
mimpiku, saat itu, atau harapan kami sekeluarga untuk tahun ini.
Bukan hanya diriku sendiri, atau istriku sendiri, tetapi kedua anakku, yang pernah mengalami mudik selama dengan konvensional, pun, berharap yang serupa. Bisa mudik leluasa, dan penuh keceriaan, seperti halnya orang lain, yang kelihatannya begitu suka cita menjalani mudik di setiap tahunnya.
Hanya
anakku yang terakhir, yang tidak merasakan lelahnya mudik konvensional.
Berjalan keluar rumah, sekitar setengah kilo. Naik ojeg bergandengan dan
beriringan, dengan maksud menghemat pembiayaan.
Di sepanjang kurang lebih 2 km, menuruni jalan perumahan menuju jalan
raya. Kemudian, berdiri antri dan menunggu bis
bangku kosong yang lewat. Kadang lima menit, kadang satu jam lamanya,
hanya untuk menunggu adanya kesempatan bangku kosong di dalam bis. Andai itu
tidak kedapatan juga, padahal waktu sudah berjalan lebih dari 1 jam, dipaksakan
naik bis kendati penuh bersesakan.
Bersesakan. Bukan berdesakan. Karena berdesakan itu sudah pasti, tetapi kesesakan napas karena saking padatnya isi kendaraan, adalah pengalaman rutin satu tahunan, saat mudik, yang kami harus hadapi dan alami.
Bersesakan.
Bukan berdesakan. Karena berdesakan itu sudah pasti, tetapi kesesakan harapan
yang seringkali sirna di setiap tahunnya, bila mendengar janji pejabat Negara yang berniat untuk menata
pengelolaan arus mudik dan balik secara lebih baik lagi. Harapan tinggal
harapan, asa hanya sekedar rasa. Semuanya sirna, saat kita sudah masuk ke dalam
bis angkutan umum untuk mudik di hari lebaran.
Suasana dan perasaan serupa itulah, yang kami hendak pupus. Di tahun ini, kendati untuk sekali ini, dan pertama kali ini, rasanya ingin merasakan suasana mudik yang ceria, bahagia, bersama dengan keluarga, dan menjalani arus mudik yang leluasa ke kampong keluarga, yang entah sudah berapa lagi, kami sedikit lupa, karena urusan kerja di tengah kehingarbingaran kota.
“Ayah,
kenapa harus mudik….?” Anakku bertanya. Pertanyaan lugu, tetapi seperti biasa,
mengundang rasa curiga yang mendalam dalam diri ini.
“Ya shilaturahmi.. ke saudara, di kampong halaman..” ungkapku pendek. Tetapi, dengan jawaban serupa itu, dia malah tidak puas, dan seolah ada hambatan pokok dalam pikirannya, untuk tidak mau mudik. “Kenapa, ada acara ? gak akan ikut ke kampong, bertemu nenek dan saudara?” tanyaku lagi.
“Ya,
kalau boleh sih, gak usah mudik aja,
mendingan tetap di rumah ?” Anakku yang pertama ini, menyampaikan keinginannya.
Untuk anakku yang pertama ini, mungkin karena dia memiliki bayangan kelam saat
beberapa kali mudik di tahun-tahun sebelumnya. Macet tidak kepalang tanggung.
Perjalanan normal hanya 3 jam, harus dihabiskan hampir 11 jam lamanya. Panas.
Letih. Lelah. Kesal secara bersamaan bercampur aduk saat duduk menunggu di
tengah perjalanan, terpaku kaku dalam kendaraan umum.
“lha, kita sekarang kan mau mencoba mudik leluasa dengan keluarga…” tawarku kepadanya. “kita bisa berhenti dulu di tengah jalan, jajan dulu kalau perlu, istirahat dulu kalau kita lelah, pokoknya, kita akan menikmati mudik sesuka hati..” tuturku, sambil menceritakan gambaran umum bayangan perjalanan yang akan dihadapi di tahun ini, bersama keluarga dengan kendaraan yang dikendalikan sendiri.
Mendengar
kisah cita itu, kelihatannya, anakku harus mengubah bayangan kelamnya, dan
kemudian menganggukkan kepala pertanda mengikuti harapan dan ajakan orang tua,
serta adiknya yang satu lagi, yang sedari sebelumnya, sudah ngebet ingin pulang
kampong.
Di balik itu semua. Sebenarnya, tidak ada yang aneh, dengan acara mudik ini. Tidak ada. Tidak ada yang baru dalam kisah mudik ini. Kemacetan. Antrian panjang. Shilaturahmi. Makan opor, ziarah kubur atau bersalaman adalah hal biasa dan rutin di lakukan untuk setiap tahunnya. Tidak ada yang aneh, dan tidak ada yang baru dengan hal itu semua. Kendati pun dianggap baru, yaitu suasana dan pengalannya. Hal material dan formalnya tetap sama, tetapi asa dan perasaan, yang mengisi suasana lebarannya itulah yang berbeda. Beda banget dengan tahun-tahun sebelumnya.
Seperti
yang saya rasakan sendiri. Secara tidak sengaja. Pikiran ini kemudian melayang
entah ke mana, liar tak terkendali, hanya untuk sekedar mencari arti ziarah di
hari lebaran atau mudik di hari lebaran.
Sahabat-sahabatku. Betul. Kebanyakan diantara kita, banyak yang membicarakan masalah mudik ke kampong halaman. Berjalan dengan kendaraan, baik pribadi maupun umum, baik jarak dekat maupun jauh, baik jarak laut, udara maupun daratan, kita berusaha keras untuk mudik ke kampong halaman.
Di
perjalanan menuju mudik inilah, kita
melewati banyak kampong dan suasana. Selama di perjalanan itulah, kita
melewati banyak hal yang tampak dan dirasakan. Dari kota menuju desa, atau dari
kampong satu ke kampong lainnya. Tidak terasa dan tidak terduga, padahal dalam
suasana serupa itu juga lah, kita tengah ziarah-kehidupan dari satu daerah ke
daerah lain.
Mudik ke kampong halaman adalah ziarah di muka bumi, ziarah fil ardhy. Bisa jadi kita melihat, tampak sudah keindahan alam yang bisa dinikmati oleh setiap manusia. Tuhan ciptakan alam semesta dengan segala isinya ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Karena itu, nikmat manalagi yang kau dustakan terhadap kenyataan ini ?
Di
lain waktu, tampak sudah kerusakan di muka bumi, karena ulah tangan manusia.
Kerusakan alam, kerusakan moral, kerusakan hasrat, kerusakan akal, dan juga
kerusakan jiwa diri kita sendiri. Nasihat apa lagi yang kau dustakan ?
Mudik geografik adalah ziarah kehidupan di dunia ini, menuju ke tempat asal. Kampung halaman adalah tempat asal sosial kehidupan kita. Kemanapun kita berjalan dan melangkah, ikatan sosial kita, tetap tertarik kuat ke kampong halaman sendiri. Inilah yang disebut mudik, kembali ke asal sosial kita.
Di
kampong halaman. Kita diajak ke kuburan, hanya untuk menziarahi sanak saudara
atau leluhur yang sudah meninggal. Di sinilah kita dihadapkan pada sebuah
pertanyaan, siapa mereka, kemana mereka, lagi apa mereka sekarang ini ? ragam
pertanyaan, yang kesemuanya itu, menusuk rasa dan jiwa, untuk kembali
merenungkan hakikat dan eksistensi diri kita sendiri.
Dihadapan
kuburan, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan tentang diri. Dimana posisi
kita sekarang ini, dan hendak kemana kita akan pergi ?
Ziarah kuburan, mengingatkan kita, untuk mudik ke kampong akhirat. Ziarah kuburan mengingatkan kita, bahwa tujuan pulang kita, bukan sekedar kampong halaman geografik dan sosial, tetapi juga kampong halaman jiwa, yaitu akhirat tempat tujuan kita.
Di
tempat inilah, kita bisa melihat, ada si fulan yang menangis tersedu-sedu di
atas pusara. Lisannya mengucapkan doa, dan sesekali ada sebuah kesedihan
mendalam, seakan belum bisa menghapus duka masa lalu dan masa kini, terhadap insane
yang telah pergi lebih awal dari kehidupan ini.
Di tempat inilah, kita bisa melihat, ada si fulan yang dengan seksama dan khusus berdoa di atas pusara. Dengan penuh rasa percaya diri dan bangga, merasa lega menghadap Tuhan, di atas pusara yang segar dan bersih. Seakan merasa ikhlas melepas sanak saudara atau leluhurnya, yang menghadap lebih awal kepada Tuhannya.
Di
tempat ini jugalah, aku dan keluargaku terhenti sesaat. Menatap tumpukkan tanah
yang setahun lalu sempat dikunjungi, namun kini masih juga tak berubah banyak.
Pusara itu membisu, namun suaranya nyaring
tak kepalang tanggu. Pusara itu
terlentang kaku, namun geraknya tak kepalang lincah, saat berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan hidup terhadapnya.
Dari suara dan gerak pusara itulah, mereka seakan menggelorakan pesan hidup dan kehidupan, bahwa inilah tempat mudik sejati untuk setiap insane. Kuburan itulah terminal hidupnya manusia. Ke kekuburan itulah, semua manusia akan kembali dan menujunya.
Aku
tersentak dan berhenti di posisi ini. Tidak bisa menjawab dan berkomentar
terhadap pekikan suasara dari pusara itu.
Ku lirik anak-anakku. Mereka pun terdiam. Begitu pula dengan istriku, yang biasanya cerewet dalam mengomentari banyak hal. Namun di kesempatan ini, dia terdiam membisu. Seolah tidak kata yang bisa diucap, tak ada komentar yang bisa terlontar.
“Wahai
Sang Pengisi Pusara..?” aku memberanikan diri menyapanya, “pekikanmu sungguh
sangat keras, dan sudah ku dengar dengan sangat nyaring…” ungkapku padanya,
“sudikah kiranya, apa yang harus kami lakukan saat ini, mengisi sisa hidup yang
entah berapa detik lagi..?”
Ditanya
demikian, alih-laih menjawab pertanyaan, sang pengisi pusara tetap diam,
demikian pula, pusaranya. Apakah dia marah, karena aku banyak bersungut
terhadapnya ? ataukah, apakah mereka kesal karena aku hanya bisa koment dan
Tanya saja ? ataukah, karena dia sudah bosan memberi nasihat yang tidak banyak
di dengar oleh setiap pengunjungnya ?
Entahlah
!
“Aku tidak akan pergi, meninggalkan lokasi ini, sebelum kau memberikan jawaban terhadap pertanyaanku tadi?” pintaku dengan tegas. Tetapi, untuk kesekian kalinya pula, pusara dan pengisi pusara itu tetap tidak menjawab. Jangankan menjawab, untuk sekedar bergeming pun tidak.
Kami
semua terdiam dalam beberapa waktu. Di depan pusara, dengan niat untuk berdoa
dan mendoakan para penghuni pusara.
Kami semua terdeiam dalam beberapa waktu. Di depan pusara, dengan maksud untuk mengenang jasa para penghuni pusara, yang telah disumbangkannya dalam membesarkan kami hingga bisa serupa ini, saat ini.
Di
sela itulah, dedaunan pohon bambu yang sedari tadi menutupi lelangit pemakaman
di lokasi itu, membuka diri, sehingga percikan sang surya tembus ke atas
pusara, dan memantul pula ke dalam tubuh kami semua.
Angin sepoy pagi hari masih dingin dirasakan. Semburat cahaya matahari yang jatuh di atas pusara itu, terasa sebagai sebuah embun yang masuk dalam tenggorokan yang lagi kehausan, dan menyentuh tubuh yang merasa kedinginan.
“Astagfirullah..”
aku tersentak dibuatnya. Melihat cahaya matahari yang jatuh ke pusara dan
memantul itu, seolah memberikan jawaban terhadap seluruh pertanyaan yang sempat
diajukannya l agi.
“mudik ke kuburan, adalah jasadmu. Mudik ke pada Tuhan adalah jiwamu…” itulah suara yang terbawa oleh aliran sinar mentari yang jatuh di pagi itu. Benar, aku rasakan itu, dan benar, aku dengar itu. Di pagi itu, dihadapan pusara yang terbujur kaku, aku melihat ada suara hidup yang segar dan menyegarkan.
Hingga
di sinilah, aku merasakan bahwa idul fitri adalah mudik ruh dan jiwamu. Kita
mudik ke asal kita, yaitu kampong jiwa kita yang fitrah. Fitrah manusia yang
suci, itulah kampong halaman ruh kita, yang selama ini, ditinggalkan dan kita
lebih banyak bermain di kampong jawa nafsu !
0 comments:
Posting Komentar