Salah satu karakter ilmu modern
(science) yaitu mempercayai statistic.
Proses kuantivikasi (penstatistikan) atau menghitung secara matematik,
menjadi trend baru di masyarakat Indonesia.
Peran nyata dari revolusi kuantitatif ini, mulai dan sangat dirasakan
sekali yaitu pada praktek pemilihan umum, pemilihan presiden atau pemilihan
kepala daerah.
Sebagaimana kita ketahui
bersama, dalam tahun politik serupa itu, lembaga quick count tumbuh bak jamur
di musim hujan. Kata orang, ada lembaga quick count yang professional dan ada juga bersifat pesanan.
Ah, biarlah hal itu, menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Karena, pada
akhirnya, sejarah akan memberikan penilaian dan sanksi atau hadiah sendiri
kepada actor atau pemain dalam sejarah tersebut.
Hal yang menariknya lagi, di
masa pandemic Covid-19 ini, pemanfaatan
tradisi kuantivikasi ini, muncul dan menjadi perhatian public. Matematik dalam
Corona. Setidaknya itulah salah satu ‘tagline’
saat membicarakan masalah pandemic dari sisi keilmuan.
Ilustrasi dalam grafik itu,
dilandasi oleh satu asumsi, mengenai pola interaksi. Hitungan peluang
penyebaran itu, dikalkulasi secara matematis, dan kemudian berbuah grafik
sebagaimana ditampilkan para peneliti dimaksud.
Kita boleh percaya, karena
paparan itu adalah sebuah produk kajian akademik. Tetapi, kita pun boleh untuk
bersikap kritis, karena ada banyak
variable yang potensi menjadi peubah terhadap kondisi yang terjadi di lapangan.
Untuk sekedar ilustrasi
pendamping, jika pendekatan Korea Selatan di gunakan, yaitu rapid test di ruang
public, maka wabah itu bisa ditangani secara lebih cepat dibandingka dengan
tanpa ada perlakuan khusus dari pemerintah. Atau, jika Pemerintah lambat
merespon situasi, maka grafik itu bisa jadi situasi akan lebih kompleks dan
bermasalah lagi, dibandingkan dengan prediksi yang ditampilkan. Artinya,
pertambahan matematis itu, akan bisa mendekati kebenaran, jika angka pertumbuhan
sudah dianggap stabil, dan tidak dipengaruhi oleh factor luar yang beragam.
Kendati demikian, kita patut
bersyukur, dengan hasil riset itu, memberikan dorongan kepada semua pihak,
untuk segera melakukan aksi nyata, sehingga grafik dan wabah ini tidak terjadi
sebagaimana yang diprediksikan.
Optimism ini perlu
dikedepankan, karena ternyata khusus untuk di Wuhan-China, tempat asal virus
ini, sampai tanggal 16 Maret, sudah menunjukkan angka keberhasilan penyembuhan
yang cukup besar. Meminjam data dari worldometer.com, di Wuhan–China ditemukan
lebih dari 80 ribu orang terpapar virus Covid-19, namun tingkat
kesembuhannya sudah mencapai angka 70%,
dan angka kematiannya hanya 3,9 %. Angka
kematian yang tinggi, sampai hari itu, masih terjadi di Italia (7%), Philiphina
(7%), Ecuador (3%), kemudian Iran mencapai angka 4%.
Bagaimana dengan Indonesia ?
secara matematis, sampai hari itu (17/3) penderita yang meninggal baru 5 orang,
tetapi jika dibandingkan dengan penderita yang terpaparnya sejumlah 69 orang,
menunjukkan angka kematian diatas 5 %.
Sekali lagi, ini adalah
permainan statistic. Ini adalah permainan kuantivikasi. Angka ini bisa
digunakan untuk promosi atau kampanye politik, bahwa angka korban dari pandemic
ini masih sekitar 5 %. Tetapi, jika
dilihat dari secara kualitas, akankah hal ini menggambarkan kompetensi dan
kredibilitas kita dalam menangani masalah ini ? akankah, nyawa manusia itu
dijadikan permainan statistic, sehingga tercipta kesan bahwa masalah ini, masih
merupakan masalah yang ringan, sederhana dan tidak perlu panic ?
0 comments:
Posting Komentar