Walaupun, kisah ini, lebih merupakan apologia, tetapi rasanya ingin
sekali di kemukakan di sini. Ya, penulis sebut sebagai apologi, karena peran
nyata penulis sendiri, tidak terlihat, tidak terasa, bahkan mungkin tidak ada.
Andaipun ada yang menyebut dan menilai, bahwa penulis sudah menunjukkan peran
dalam penanganan pandemic Covid-19 ini, lebih merupakan sebagai kepanjangan
tangan dari Pemerintah, karena penulis sebagai seorang ASN.
Sama, serupa dengan yang lain,
peran penulis hanya membantu Pemerintah untuk mensosialisasikan dan
mengkampanyekan work from home, atau learn from home, dengan materi pokok
tentang social distancing dan pandemic covid-19. Tak lebih dari itu. Jadi,
peran nyata selama ini, cenderung minim, dan tak sebanding dengan pejuang
kesehatan digarda depan di sana.
Kendati demikian, seiring perjalanan waktu, dan sampai di penghujung Maret ini, tidak terasa, bahwa ilmu yang penulis miliki selama ini, ternyata banyak bermanfaat dalam penanganan pandemic Covid-19.
Eh, maaf. Geer !
Bukan ilmu yang penulis punya, tetapi disiplin ilmu yang penulis pelajari selama ini, ternyata sedang dimanfaatkan secara maksimal oleh tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Sekali lagi, bukan ilmu yang penulis punya, tetapi disiplin ilmu yang pernah dipelajari ini, ternyata tengah memainkan peran nyata dalam penanganan kasus ini.
Ah,
maaf, kegeeran juga !
Bisa jadi, mereka-mereka itu,
sesungguhnya tidak sedang memanfaakan ilmu geografi. Langkah dan pendekatan
yang mereka lakukan itu, adalah sebuah pendekatan rasional, realistis dan
strategis dalam melawan Covid-19 tahun ini. Ya, langkah itu, adalah langkah yang
paling praktis, dan karena itu, barangkali, ini mah barangkali, tidak ada
kaitannya dengan pelajaran geografi. Andaipun ada, mungkin itu lebih merupakan
sebuah kebetulan belaka.
Ah,
malu, jadi geer juga, aku ini ???!
Kendati demikian, biarlah, wacana ini lebih merupakan sebuah apologi semata. Bela-bela diri, atau sekedar mencari-cari alas an mengenai eksistensi diri sendiri, dihadapan orang lain. Walaupun, sesungguhnya, hal ini, lebih merupakan kelemahan diri, bukan kelemahan dari disiplin ilmu geografi itu sendiri.
Kembali lagi ke pokok wacana
kita saat ini. Dengan melihat perkembangan saat ini, penulis merasa pede,
sebagai bagian dari keluarga besar Geografi di Indonesia. Kendati tidak
berperan langsung dan berperan nyata dalam penanangan pandemic Covid-19 ini. O,
iya, mungkin, ada diantara pembaca ada yang menanyakan, apa yang menjadi
alasan, harus bangga dengan Geografi !?
Pertama, sebagaimana dikemukakan dalam wacana yang pernah disampaikan di Geografi Ditinjau Dari Ragam Aspeknya, lingkungan kehidupan manusia memiliki peran nyata dalam mempengaruhi kualitas kesehatan lingkungan dan kesehatan para penghuninya. Tema ini, menjadi objek kajian dari geografi kesehatan dan geografi medis (medical and health geography). Dengan kata lain, pandemic Covid-19 kali ini, adalah kesempatan baik untuk menerapkan pendekatan keilmuan dalam bidang ini.
Kedua, persebaran Covid-19 sangat
dipengaruhi oleh pola interaksi antar manusia. Dalam kajian kebudayaan, setiap
masyarakat memiliki jarak-sosial (social
distance) yang berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lainnya.
Sebaran Covid-19 semakin cepat, pada masyarakat yang memiliki jarak social yang kurang dari 1,2 m,
atau kita sebut lebih mengutamakan jarak pribadi (personal space) dalam
pergaulannya.
Pada masyarakat yang berpenduduk jarang, dan jarak social yang renggang, tingkat kerentanan terkena wabahnya sangat terbatas. Jakarta dan Bandung, yang merupakan contoh kota metropolitan di Indonesia, dan memiliki jarak social yang personal, mengalami banyak warga yang terkena virus Covid-19 ini, dibandingkan kota yang lainnya.
Ketiga, tingginya mobilitas dan
interaksi social secara global mempercepat persebaran Covid-19. Jakarta dan
Bandung, yang menjadi pintu masuk warga negara asing ke Indonesia, menjadi
daerah yang paling banyak mengalami keterpaparan Covid-19.
Sementara Italia, yang menjadi negara di Eropa yang paling banyak mengalami efek pandemic Covid-19. Kemudian, Amerika Serikat pun mengalami masalah yang cukup tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa Italia adalah pintu masuk ke Eropa yang paling popular, kalau tidak disebut, orang Itali adalah warga negara yang paling banyak melakukan perjalanan global. Demikian pula dengan Amerika Serikat. Negara ini, menjadi negara favorit untuk menjadi tujuan tourism, dan juga memiliki jumlah warga negara yang perjalanan global.
Keempat, untuk menangani
pandemic Covid-19, Pemerintah melakukan tracing atau tracking (penelusuran
jejak) penularan. Sudah tentu, hal ini akan menjadi akurat, jika pada pemangku
kebijakan dan tim ahlinya, memanfaatkan peta sebaran penduduk dan peta
mobilitas social pasien Covid-19.
Adalah tidak tepat, jika penerapan tracing dan tracking tanpa diimbangi dengan mapping. Oleh karena itu, pemanfaatan tim ahli pemetaan (Geografi) menjadi sangat tepat dan perlu untuk dikedepankan.
Terakhir, dan ini yang menjadi
indicator utama secara global, yaitu Universitas Johns Hopkins secara awal sudah
memublikasikan Sistem Informasi Geografi penyebaran pandemic Covid-19.
Pemanfaatan SIG ini, benar-benar menunjukkan bahwa penanganan pandemic Covid-19
sejatinya, harus memperhatikan aspek ruang dan keruangan.
Sampai disinilah, sekali lagi, sebagai bagian dari keluarga besar Geografi, saya merasa bangga, setidaknya merasa ilmu ini bermanfaat. Jika saja, Prabowo mengatakan bahwa di jaman perjuangan kemerdekaan dulu, Tentara adalah garda terdepan dan menjadi pahlawan bangsa, maka di pandemic Covid-19 ini, adalah tim kesehatan, menjadi garda terdepan dan pahlawan bangsa dan pahlawan kemanusiaan. Cuma tolong dicatatkan, di sudut bawahnya, walaupun tidak terlalu besar, juga ada pejuang kemanusiaan yang berasal dari kelompok analis keruangan !
Maaf,
he..he.. maksa banget ya !
0 comments:
Posting Komentar