Berulang kali lebaran, berulang kali umat Islam meyakini kembalinya jatidiri pada kesucian. Berulang kali pula, setiap insan muslim melontarkan ucapan selamat idul fitri di hari kefitrian itu.
TIdak bisa diingkari, secara sosiologis, hampir seluruh umat Islam merasakan kebahagiaan. Bahagia dengan tibanya hari lebaran atau idul fitri. Mereka melakukan penyambutan hari lebaran dengan beragam cara. Andaipun ada satu catatan yang sama yang biasa dijadikan tradisi lebaran, yakni bershilaturahmi dan bersuka cita makan opor ayam di hari lebaran. Ada juga kesamaan lainnya, yang tidak jarang dilakukan umat Islam. Mengenakan pakaian baru. Baju koko baru, mukena baru, dan serupa itu, untuk meramaikan hari suci, dan kesucian di idul fitri.
Sebagai sebuah tradisi., sudah tentu, tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak atau mengingkari kenyataan itu. Fenomena itu merupakan contoh kekayaan budaya masyarakat umat beragama, khususnya umat ISlam dalam merayakan salah satu hari besar keagamannya.
Di hari itu, tumpah ruah. anak muda dan dewasa, laki perempuan, tua muda, kaya miskin, pejabat dan rakyat, bersuka cita merayakan hari lebaran.
Apa makna dari semua itu ?
DI sela-sela hal itu, saya jadi teringat pernyataan KH. Zainuddin MZ, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk merayakan lebaran dengan gaya masing-masing, tetapi tidak setiap orang bisa meraih kefitrian di hari idul fitri.
Nah.. lho, gimana dan bagaimana posisi kita ?
Pernyataan itu menarik. Menarik untuk direnungkan. Karena sejatinya, bila dilihat fakta yang berkembang saat ini, lebaran cenderung menjadi konsep budaya dan fakta sosial. Setiap orang bisa berlebaran. Orang yang berpuasa bisa berlebaran, orang yang tidak beruasa pun bisa berlebaran. Orang muslim bisa belebaran, dan orang nonmuslim pun, ternyata turut meramaikan acara lebaran. Setidaknya, dengan praktek bisnis atau kegiatan lainnya.
Sementara dibalik itu semua, tujuan shaum ramadhan adalah untuk meningkatkan kualiatas keberagamaan menjadi pribadi bertaqwa, hanyalah bsia disandang oleh mereka yang mampu menjalani amalan dengan sebaik-baiknya. Dengan cara itulah, maka mereka akan mampu meraih derajat ketaqwaan dan kembali ke kesucian (idul fitri).
Dengan pengertian, andai kita tidak menjalani riual shaum ramadhan dengan sebaik-baiknya, maka alihalih dapat kembali kepaada kesucian, yang tejadi malah kembali ke aslinya, seperti halnya sebelum ramadhan itu terjadi.
Mereka yang terbiasa tidak berjamaah, kembali tidak berjamaah, mereka yang biasa malas ngaji kembali ngaji, dan lain sebagainya. Itulah lebaran yang mereka dapatkan sebagai moment kembali ke aslinya.... Bila demikian adanya, tepat ungkapan KH. Zainuddin MZ, jangan2, kita ini, bukan merayakan idul fitri, tetapi baru bisa berlebaran...
0 comments:
Posting Komentar