“hanya aku dan Tuhan..”
“lha, itu kalau kamu yakin dan
percaya akan Tuhan. Mana mungkin kamu yakin
bahwa Tuhan bisa mengerti masalahmu, jika kamu sendiri tidak percaya pada Tuhan?”
“tapi, Tuhan pasti tahu dan mengerti masalahku..” keluhnya
dengan tandas
“betul, tetapi untuk bisa
meyakini hal itu, maka pokok soalnya,
adalah apakah kamu sendiri, percaya pada Tuhan, sehingga Tuhan bisa mengerti
kepadamu.
“memangnya, kalau aku tidak
percaya pada Tuhan, lantas Tuhan pun tidak peduli kepadaku?” bantahnya lagi, “bukankah
Tuhan, menurut kaum beriman itu, adalah
Dzat yang maha tahu..”
Lucu sekali. Pola pikir yang
kacau. Dirinya sendiri tidak percaya pada Tuhan, eh, malah, mengandaikan Tuhan supaya bisa mengerti
terhadap dirinya dan masalahnya. Pola pikir serupa ini, menunjukkan gila atau kacaunya pola pikir
orang dimaksud.
“ah, kamu sendiri yang ngaco..”,
suara dari belakang muncul, “memangnya ada yang melakukan dialog seperti itu?”
Aku terdiam sesaat. Diam. Bisu dan membisu. Kadang senyum sinis, dan kadang pula, tertawa dan mentertawakan diri
sendiri. “iya, yah. Memangnya ada dialog serupa itu di dunia nyata.?” Sekali lagi
berguman, “apakah bakal ada, orang yang tidak yakin dengan Tuhan, lantas dia
berjar begitu?”
Lama sudah aku terdiam. Selepas berlalu
beberapa hal, kemudian, teringat kembali, bahwa yang dimaksudkan itu adalah “bagaimana
kita mengandaikan Tuhan maha Tahu, kalau
perilaku diri sendiri saja, berani membangkang petunjuknya atau peringatannya ?
bukankah, membangkah peringatan, sama dengan tidak yakin bahwa Tuhan akan
bertindak terhadap setiap gerak langkah dan perbuatannya ?” sejenak untuk
mengambil nafas, “keberanian melakukan pelanggaran terhadap strander operasional
Tuhan dalam kehidupan ini, menunjukkan bahwa Tuhan maha tahu terhadap perbuatan
makhluknya, tetapi kau abai dengan kesadaran itu..”
Aku tak berani melanjutkan
pertanyaan-pertanyaan itu. Cuma memang, pertanyaan awal nan mendasar, yang
menjadi masalahku hari ini, adalah “siapa yang bisa mengerti perasaanku ini,
masalahku ini, dan kebutuhanku saat ini, siapa? Siapa yang bisa memahami hal
serupa ini ?”
Mungkinkah ada orang lain, yang
bisa memahami masalah dan perasaan kita ?
Mungkin ada. Sepintar lalu saja,
ada. Teman kita, ibu kita, pasangan hidup kita, atau malah kaum professional.
Mereka bisa memahami masalah kita, dan
malah bisa membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tetapi memang
jumlah orang serupa itu, amat sangat sedikit. Sedikit sekali jumlahnya.
Cukup banyak, teman kita yang ada
saat ini, tidak mengerti urusan kita. Bahkan, ada pula orangtua yang tidak bisa
mengerti masalah anak-anaknya. Termasuk demikian juga, kalau sang klien tidak
bisa berterus terang, maka kaum professional pun akan menaglami kegagalan dalam
memahami kliennya, sehingga gagal dalam melakukan terapi terhadapnya.
Jadi, siapa yang bisa memahami
masalah diri kita ?
Diri sendiri….
“aneh,…” pikirku. “Disaat dirinya
tengah dalam kebingungan, kemudian orang lain mengatakan bahwa yang bisa
memahami diri sendiri adalah dirinya sendiri. Ini, saya lagi bingung, ngung,
ngung….”
Bukankah saat ada seseorang yang
curhat kepada orang lain, adalah juga sebuah pengakuan bahwa dirinya tengah
merasakan apa yang dirasakan, tetapi tidak tahu cara pemecahan masalahnya ?
bukankah, saat ada orang yang curhat, dia sedang merasakan kebingungan dengan
dirinya, yang dibbingungkan oleh masalahnya, yang masih mebingungkan dirina
sendiri ?
Waduh. Kalau bingung. Bingung. Kemudian,
dia tidak bisa mengendalikan kebingungan dalam dirinya oleh dirinya. Maka inilah,
salahh satu bentuk jenis penyakit jiwa di era modern !