Bang Ta'im, itulah nama asli, begitulah menurut berita media sosial, nama dari saudara kita yang tengah menjadi bahan perguncingan di awal bulan, akhir tahun 2024 ini. Nama pasarnya (maaf, bukan nama pasaran, nanti beda arti untuk orang Sunda), yaitu Gus Miftah.
Sebagaimana kita tahu bersama, bahan gunjingan terkait bang Ta'im ini, karena mengucapkan kata yang dianggap kurang sopan kepada pedagang eceran, jualan es teh. Kejadiannya, ada di ruang pengajian, yang menjunjungg nilai etika. Dilakukan oleh seorang tokoh agama, yang juga sarat dengan citra etik. Namun, hanya karena kata-kata yang dianggap tidak sopan itu, kemudian menjadi viral dan memancing reaksi beragam di dunia nyata dan dunia maya.
Lantas, bagaimana soalan itu, dapat kita baca sekarnag inii ? apa yang sedang terjadi di dunia kita di sini, di masyarakat kita saat ini ? di tengah hiruk pikuk moralitas bangsa kita saat ini ? apakah memang sedemikian mengkhawatirkan bagi kita semua, sehingga hal serupa ini, menjadi ramai dibicarakan banyak orang, bukan hanya kalangan netizen daadakan, tetapi juga netizen mahiran, kalangan ahli dan pemikir pun memberikan tanggapan kritis terhadapnya.
Dalam konteks ini, kita menemukan beberapa hal penting, yang dapat dijadikan bahan narasi.
Pertama, ada yang melihatnya, hal itu sebagai hal biasa, dalam konteks kulturalnya. Artinya, ucapan 'goblok' bagi yang sudah terbiasa menggunakan kata-kata itu, adalah candaan atau bumbu komunikasi saja. Tidak ada maksud untuk merendahkan atau menghinakannya. Maka dari itu, wajar bila kemudian beberapa orang, menunjukkan reaksi 'ceria' saat mendengar ucapan dimaksud.
Kedua, Rhenald Kasali melihat gejala itu sebagai bagian dari resiko dan konsekuensi, bila pengakuan 'jabatan sosial' tanpa adanya seleksi akademik atau pendidikan yang mumpuni. Pengakuan status sosial sebagai ustad, kiyai, pastor, profesor, pakar, atau apapun namanya, bila tidak melalui mekanisme standar minimal, maka akan melahirkan tokoh sosial atau publik figur yang kehilangan akar - standar profesionalismenya.
Memberikan label ustad atau gus atau pastor atau profesor, karena alasan politik atau kepentingan sesaat, akan melahirkan fenomena devaluasi-status sosial. Terkait dengan kasus Bang Ta'im pun, kemudian orang berusaha untuk mengkoreksi relevansinya antara status sosial kekyaiannya, keustadannya, atau ke-gus-annya atas kejadian tersebut.
Fenomena devaluasi status sosial itu, bisa terjadi pula, terhadap status sosial yang lainnya, yang tumbuhkembang di tengah masyarakat. misalnya status guru ngaji, haji, dokter, tentara, polisi, dan pejabat negara, atau jabatan lainnya lagi.
Ketiga, hal yang uniknya lagi, adalah orang dicengangkan oleh adanya kerukunan diantara orang yang terkena kasus. Maksudnya, Penjual Teh, sudah mendapatkan limpahan empati dan simapti dari banyak pihak, dan kemudian pada ujunganya, penjual teh pun sudah rukun kembali.
Menarik memang. Orang yang kena "buli", kemudian dikasihani publik, dan kini sudah rukun kembali dengan "pembulinya". Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan sifat anak negeri ini, memang unik untuk direnungkan dan dipelajari dengan seksama.
Setidaknya, jadi pelajaran bagi kita, pelaku dan korban, bila dengan mudah dan cepat akur, maka negeri ini, akan mudah untuk menjadi negeri yang rukun dan damai ! elit negara, atau tokoh sosial, peka dan terbuka untuk mengakui kesalahan, dan publik pun rela untuk memberi permaafan...!
Eh, maaf, bagaimana menurut pembaca...?
0 comments:
Posting Komentar