Sekali lagi. Kontroversi pengucapan perayaan, khususnya keagamaan, menjadi hal yang ramai di media sosial. Khususnya, dikalangan umat beragama, seperti umat Islam Indonesia. Bahkan, bukan sekedar ramai di media sosial, namun bisa melibatkan institusi agama, atau elit agama pula. Artinya, wacana ini bukan hanya ramai di kalangan masyarakat, tetapi juga ramai di level elit agama.
Untuk meramaikan suasana ini, ingin berbagi pandangan, terkait dengan struktur nalar dalam pengucapan hari perayaaan, termasuk perayaan agama, individual atau perayaan nasional. Misalnya, selamat natal, selamat idul fitri, selamat ulang tahun, atau selamat hari kemerdekaan republi Indonesia. Semua itu, merupakan contoh ucapan-ucapan perayaan yang bisa terlontar dalam lisan kita, dan menyebar di tengah masyarakat kita.
Pertanyaannya, apa yang terjadi dalam pikiran seseorang, saat melontarkan ucapan perayaan tersebut ?
Analisa ini bermaksud untuk melakukan analisis, sedikit menyelami, proses penalaran yang terjadi pada seseorang, saat dia mengucapkan perayaan itu. Tentunya, kita tidak akan melakukan analisis hukum (fiqh) terhadap masalah ini. Kita akan menghindari hal itu. Hal yag akan kita lakukan, adalah menelaah proses kesadaran dalam nalar seseorang yang melantunkan ucapan perayaan tersebut. Semoga saja, dengan mengungkap hal ini, kita dapat memahami makna dibalik proses pengucapan kalam perayaan yang bisa kita lantunkan, sampaikan atau tulisan kepada diri sendiri, ataupun orang lain.
Point pertama, saat kita melantunkan ucapan perayaan (hari ulang tahun, hari kemerdekaan, hari natal, maulid nabi, dan lain sebagainya), ada konteks kesadaran waktu. Maksud dari kesadaran waktu itu, adalah adanya keadaran akan waktu yang berlalu, dan akan ada waktu yang datang, itulah kesadaran eksistensial seseorang, saat melantunkan ucapan perayaan, apapun konteksnya.
Mengucapkan hari ulang tahun, mengindikasikan ada waktu hidup yang sudah berlalu, dan waktu potensial yang akan datang, yang mungkin akan dia hadapinya saat ini. Saya mengucapkan selamat hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, menunjukkan ada sejarah masa silam, kondisi faktual hari ini, dan juga ada harapan di masa depan. Itulah yang kita masudkan sebagai kesadaran-waktu.
Point kedua, ucapan perayaan, menunjukkan ada kesadaran-kebanggaan, atau dalam istilah agama, rasa syukur karena dirinya masih sampai pada titik-waktu tersebut. Kesadaran-kebanggaan terhadap perjalanan hidup ini, tidak semua orang bisa mendapatkannya. Setidaknya, ada orang yang tidak bisa merayakannya, dan atau ada orang tidak bangga dengan kehadiran waktunya. Oleh karena itu, perayaan ucapan perayaan, sejatinya, mengandung makna kesadaran-kebanggaan terhadap perjalanan waktu yang dia dapatkannya.
Point ketiga, ucapan perayaan menstimulasi seseorang untuk menghadirkan kesadaran-reflektif. Pengucapan yang tidak diimbuhi dengan kesadaran reflektif, potensial akan menjadi kesadaran-semu dalam penyampaian ucapan perayaan itu. Bisa saja, dia mengucapkan selamat lebaran, selamat natal, selamat ulang tahun, sekedar lisan saja, sementara hati dan pikirannya tidak 'rela' atau tidak-paham terhadap makna ucapannya itu sendiri.
Sehubungan hal itu, maka hal penting dari kalam perayaan ini, adalah kesadaran reflektif, Kesadaran reflektif ini, adalah perpaduan antara inspirasi dari masa lalu, obsesi terkait dengan masa depan, dengan koreksi terhadap langkah hari ini. Dengan memadukan ketiga hal itu, diharapkan dia mampu merumuskan langkah nyata dalam menyusun langkah ke masa depannya, atau di esok harinya.
Terakhir, hal yang menariknya lagi, pentingnya kesadaran-dinamika-ruang. Maksudnya, kita semua perlu sadar saat mengucapkan satu kata yang tersisipkan dalam satu pernyataan atau kalimat, sesungguhnya dalam kata itu, tersematkan 'medan-makna kontekstual'-nya. Sebut saja, saat menyebutkan demokrasi, kemerdekaan, Indonesia, natal, maulid nabi, atau apapun.
Sekedar contoh. Ada yang mencoba mengkritisi, bahwa Indonesia tidak pernah dijajah oleh Belanda. Buku sejarah yang ada saat ini, keliru, bila mengatakan bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda, sampai 3,5 abad lamanya.
Mengapa ? jawabannya, sederhana, karena Indonesia baru lahir 1945. Sebelum itu, belum ada negara Indonesia. Kalaupun ada istilah Indonesia yang digunakan secara kolektif, bisa dirujukkannya pada peristiwa Sumpah Pemuda, 1928. Dengan kata lain, sebelum ada Sumpah Pemuda, belum ada yang namanya Indonesia, dan Belanda tidak menjajah Indonesia. Kalau dirujuk ke Sumpah Pemuda pun, artinya, hanya dijajah (kalau mau demikian adanya) sekitar 17 tahunan, karena tahun 1945, Indonesia memerdekakan diri !
Sampai ini pun masih kontroversial. Artinya, kalau Indonesia lahirnya 1945, lantas yang memproklamasikan kemerdekaan itu siapa ? bukankah Indonesianya juga belum lahir ?
Nah, bingung lagi kan ?!
Catatan kita, untuk konteks ini, pada saat kita melantunkan ucapan, termasuk ucapan perayaan, pada dasarnya, kita pun terselimuti oleh medan-makna dari kata-kata tersebut. Karena setiap kata, memiliki sejarahnya masing-masing. Dan, oleh karena itu, maka saat menyampaikan pesan ucapan perayaan, penting untuk memahami ulang sejarah konsep atau faktor historik dari peristiwa di maksud. Itulah yang disebut konteks kesadaran-dinamika-ruang.
0 comments:
Posting Komentar