Bila kita berhadapan dengan 2 ayat surat Mujadillah, dan atau yang sejenis ini, kita akan menemukan kesan dan pesan Ilahiah mengenai konsekuensi fiqh Islam. Konsekuensi fiqh Islam yang kita maksudkan itu, yang menawarkan prinsip opsional.
Terhadap sebuah pelanggaran, yang dilakukan hamba-Nya, Allah Swt tidak secara kaku menetapkan satu jenis sanksi atau konsekuensi. Dalam beberapa kasus, kerap menunjukkan kearifan dan kebijakannya, yang dilandasi nilai Rahman-Rahim Allah Swt, yakni memberikan pilihan sanksi kepada hamba-Nya, sesuai dengan kemampuannya.
Latar kisah, merujuk pada kasus yang dialami oleh Khaulah
binti Tsa‘labah yang dizihar oleh suaminya, Aus bin Samit. Sang Suami mengatakan
bahwa “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” dengan maksud tidak akan lagi
menggauli istrinya sebagaimana ia tidak akan menggauli ibunya. Dalam tradisi
Jahiliyyah saat itu, di zaman Rasulullah Muhammad Saw dan sebelumnya, tradisi
ini memberikan konsekuensi talak (cerai). Karena alasan itulah, kemudian
Khaulah binti Tsa’labah mengadukan kasus ini kepada Rasulullah Muhammad Saw.
Berdasarkan hal ini, setidaknya kita mendapat kesan bahwa al-Qur’an itu turun kepada Rasulullah Muhammad Saw berbasis masalah (problem based revelation). Pewahyuan berbasis masalah. Saat ada masalah yang diadukan kepada Rasulullah Muhammad Saw, kemudian Allah Swt menurunkan firmannya, dengan perantara Malaikat Jibril.
Khusus terkait dengan sanksi dan atau konsekuensi
dari perbuatan Aus bin Samit itu, Allah
Swt memberikan panduan dalam penerapan hukum Islam. Karakter dari hukum Islam
yang dihadirkan itu, ternyata atau setidaknya memberi kesan kepada kita,
adanya prinsip opsional. Tampak dalam
dua ayat, pada surat al-Mujadillah ini.
Pilihan pertama, bersifat sosial adalah memerdekakan
seorang budak (tahriru raqabatin).
﴿ وَالَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْ
نِّسَاۤىِٕهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ
قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ ذٰلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِهٖۗ وَاللّٰهُ بِمَا
تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ٣ ﴾ ( المجادلة/58:3)
Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang
telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri
itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah Maha Teliti
terhadap apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadalah/58:3)
Kemudian,
pilihan keduanya, bersifat pribadi (personal), yaitu berpuasa selama 2 bulan
berturut-turut. Hal ini, terungkap dalam firman Allah Swt :
﴿ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ
فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًاۗ ذٰلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ
وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ٤ ﴾ (
المجادلة/58:4)
Siapa
yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) wajib berpuasa dua bulan berturut-turut
sebelum keduanya berhubungan badan. Akan tetapi, siapa yang tidak mampu,
(wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah ketentuan-ketentuan Allah. Orang-orang kafir
mendapat azab yang pedih. (Al-Mujadalah/58:4)
Terakhir, adalah pilihan yang bersifat material
sosial, yakni memberi makan enam puluh orang miskin.
Dengan memanfaatkan pandangan structural, logika yang dihadirkan itu adalah opsi satu, jika tidak mampu, maka lakukan opsi dua, bila hal ini pun, tidak bisa dilakukan pada kerjakan opsi selanjutnya. Begitulah logika penalarannya.
Memanfaatkan penalaran serupa itu, maka pilihan
pertama, adalah tahriru raqabatin (memerdekaan hamba sahaya). Ini adalah prioritas pertama.
Sedangkan bila hal ini tidak mampu, maka lakukan pilihan-pilihan yang lainnya.
Pertanyaan kritisnya, manakala tidak ada pilihan yang sanggup dilakukan dari hal itu, apakah ada pilihan lain, diluar yang sudah ditentukan dua ayat di maksud ? adakah ruang ijtihad, untuk menemukan konsekuensi fiqh praktis, sesuai dengan perkembangan zaman ?
0 comments:
Posting Komentar