Kesedihan.
Sebuah kata, yang kerap menjadi bagian dari kehidupan seseorang. Tidak ada
manusia yang tidak pernah merasakan kesedihan. Anak kecil, remaja, dewasa, laki
atau Perempuan, pernah merasakan kesedihan. Entah itu kesedihan yang disebabkan
karena perbuatan sendiri, atau karena ada factor luar yang menyebabkan munculnya
kesedihan.
Terkait hal inilah, kemudian muncul harapan, atau kebutuhan manusia, sudah dipastikan semua orang akan memiliki harapan yang sama, yakni bagaimana menghalau kesedihan menjauh dari dirinya. Bagaimana kita, bisa menghapus kesedihan tersebut ?
Meminjam pernyataan Ibnu Sina, seperti hal nya dalam dunia Kesehatan, kita tidak mungkin dapat mengobati satu penyakit, bila kita tidak mengetahui sebab dan jenis penyakitnya. Andai kita memaksakan memberi obat atau treatmen, maka yang akan terjadi adalah malpraktek. Kejadian malpraktek ini, potensial melahirkan dua keadaan, yakni mengawetkan penyakit atau memperburuk kondisi pasien itu sendiri. Sehubungan hal itu, maka mengetahui penyebab dan jenis penyakit, menjadi prasyarat bagi setiap orang yang bermaksud untuk mengobati satu penyakit
Hal
selanjutnya, yang juga perlu diyakinkan bersama, yaitu status kesedihan itu
sendiri. Kesedihan, perlu diposisikan sebagai sebuah penyakit, serupa dengan
penyakit fisik, hanya saja, kesedihan adalah penyakit mental atau penyakit
jiwa. Sebagai bagian dari salah satu jenis penyakit jiwa, maka kita perlu
memberikan treatmen atau tindakan yang bisa menyembuhkan rasa sakit tersebut.
Seorang dokter jiwa, atau dokter mental atau tenaga penyembuhan penyakit jiwa,
perlu mengetahui jenis dan penyebab kesedihan itu, sehingga diharapkan dalam
secara efektif memberikan pengobatan kepada pasien dimaksud. Sekali lagi, dengan
pengetahuan serupa ini, diharapkan proses penyembuhan dan pengendalikan kesedihan
dapat dilakukan dengan maksimal, dan membantu pasien kembali hidup secara normal.
Sebelum membahas upaya berdamai dengan kesedihan, bisa jadi ada diantara kita yang juga mengajukan pertanyaan, apakah penyembuhan kesedihan itu, perlu dilakukan oleh orang lain, atau bisa oleh diri sendiri ? walau pertanyaan ini, serasa paradoks, namun perlu tetap diajukan dan kita bincangkan di sini.
Sisi
paradoksnya jelas. Andai saja, penanya itu memiliki keyakinan untuk serius
membaca, menganalisis, memahami dan atau malah bermaksud untuk menerapkan
sejumlah gagasan yang ada dalam tulisan ini, maka secara tidak langsung
pertanyaan itu dapat dijawab. Jawabannya, yang sederhana, yaitu ‘perlu bantuan
orang lain’. Bukti pokoknya, yakni penanya mengajukan pertanyaan, dan serius
membaca paparan yang kita sajikan ini. Hal ini menunjukkan ada paradoks in terminis,
paradoks dari sisi pertanyaannya itu sendiri. Satu sisi, menanyakan peran orang
lain, tetapi pada sisi lain, serius membaca pandangan orang lain.
Dibalik perspektif itu, ada juga makna lain, yang memuat, sisi peneguhan. Peneguhan terhadap dugaan sementara yang dia Yakini sendiri. Artinya, ada sedikit keyakinan dan harapan, bahwa upaya penyemebuhan kesedhan itu, pada dasarnya, dapat dilakukan oleh diri sendiri, dan bukan orang lain. Sekali lagi, andaipun, perlu peran orang lain pun, itu sekedar membantu. Sementara peran utamanya, tetaplah ada pada diri sendiri.
Dalam
konteks terakhir itulah, kemudian dikenali ada konsep self-healing,
yaitu praktek penyembuhan diri sendiri, oleh diri sendiri. Tentunya, tidak
berarti bahwa dia harus menjadi tenaga medis dulu, atau menjadi thabib dulu,
atau menjadi praktisi penyembuhan dulu. Tidak demikian adanya. Praktek self-healing,
pada dasarnya menekankan bahwa ada beberapa penyakit yang bersumber dari diri
sendiri, dan membutuhkan peran dominan dari dirinya, untuk meningkatkan
kualitas kesehatan, atau percepatan penyembuhan Kesehatan. Satu diantara
penyakit jiwa, yang bisa dilakukan dengan pendekatan self-healing, adalah penghalauan
kesedihan, yang dialami seseorang.
0 comments:
Posting Komentar