Pengalaman kita hari ini, dan sudah berjalan hampir 1 tahun lamanya. Mungkin juga, akan terus berlanjut ke masa depan. Kita semua, khususnya masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus di media sosial, ramai membincangkan keabsahan ijazah, baik terkait pejabat negara di pusat, maupun pejabat negara di daerah. Media massa, baik media sosial maupun media elektronik, tidak henti-hentinya memubilikasikan konten ini, dengan sangat massif, dan terus dijadikan sajian utama kepada masyarakat.
Di sini saya, tidak akan mengomentari masalah konten kasus di maksud. Karena kebetulan ini, membaca buku karya Clifford Geertz, jadi terenyuh untuk membincangkan masalah metodologi penarasian dalam sebuah konteks keilmuan. Maksudnya saya akan membincangkan inspriasi dari Hayat dan Karya, dari tulisan Geertz dalam memotret fenomena yang sedang terjadi saat ini, di lingkungan kita.
Dengan memperhatikan media sosial, maupun media elektronik yang ada hari ini, rasanya kita perlu bersama-sama merenungkan, mengenai gejala yang terjadi saat ini. Sekali dalam hematan sepintas lalu, kita dapat membuat sebuah konstruksi pemahaman kita hari ini.
Hal yang nampak dalam mata kita, dan juga tersajikan ke dalam nalar kita, yaitu perang opini antar kelompok pro dan kontra. Khususnya dalam konteks ijazah. Kelompok pro, mengeluarkan sekuat argumentasi baik hukum, maupun argumentasi kritis dari sisi yang lainnya. Pun demikian adanya, yang dilakukan oleh kelompok kontra.
Di media elektronik, keduanya menampilkan scannan ijazah yang sedang dibincangkan. Kelompok yang satu mengatakan itu scanana asli, dan kelompok yang lainnya, menunjukkan bahwa scanan itu diduga palsu, khususnya berdasarlan data forensi digital yang dimilikinya masing-masing. Dari kedua kelompok itu, secara bersama-sama melakukan pembelaaan terhadap nalar dan 'kepentingannya" kelompoknya masing-masing.
Apa yang menjadi problema dari sisi metodologi berpikir ini ?
Pertama, adalah keliru, setidaknya ini dalam pandangan saya hari ini, memberikan tuduhan kepada pihak lain, melakukan pengeditan terhadap dokumen asli yang sedang diperdebatkan, dengan alasan, bahwa pelakunya melakukan pengeditan terhadap scannan itu sendiri. Sementara, yang pembelanya, malah menampilkan foto hasil scannannya itu sendiri.
Bila dikaitkan dengan potensi kecanggihan teknologi, menolak argumentasi orang lain, serta menuduhnya sudah melakukan pengeditan terhadap dokumen asli, dengan menunjukkan foto dokumen asli dalam bentuk digital, adalah wujud dari argumentasi yang tidak setara, dan bisa mengundang kritik berkepanjangan. Sebab, dalam situasi serupa itu, kritikan serupa dapat terjadi pada dirinya sendiri.
Pada situasi itulah, menolak gagasan orang yang melakukan pengeditan dengan cara menunjukkan hasil scannan (bentuk digital lagi), bisa terjebak pada situasi argumentasi yang kontradiksi secara naratif. Mirip dengan orang yang mengkritik, "walaupun saya tidak bawa bukti, tapi kamu pasti bohong". Dengan pernyataan itu, siapa yang bisa dipercaya ?
Kedua, dalam hemat saya, situasi ini, mirip dengan metode dialog intertekstual tanpa objek. Kita berdebat mengenai sesuatu hal, tetapi tidak mampu menyodorkan objek kajiannya itu sendiri. Dampaknya sangat jelas, yakni berperang interprestasi di atmosfera penafsiran. Kelompok pro menggunakan kemampuannya menafsirkan dalam membela kelompoknya, pun demikian dengan kelompok kontranya.
Perang dalam wacana, tanpa menghadirkan objek-kajian yang jelas, akan mudah terjebak pada post-truth. Ekologi post-truth adalah alam intelektual yang dihuni oleh perang interpretasi yang jauh dari kebenaran. Kondisi ini, bukan tidak sadar pada kebenaran, melainkan lebih mengandalkan dan mempercayai interpretasi subjektif sebagai acuan kebenaran.
Terakhir, selaras dengan hal inilah, tampaknya ide Jimmly Ashshiddiqie atau Mahfudz MD, perlu dipertimbangkan, yakni memokuskan pembahasan pada objek-nyata, atau real persoalan kita. Karena, tanpa menghadirkan objek masalahnya, maka kita semua, tetap akan menyimpang kecurigaan yang berkepanjangan, mengenai anutan kepentingan dibalik argumentasi yang dimiliki masing-masing.
Setiap orang memiliki hak dan kebebasan akademik untuk bernarasi, namun, manakala narasi itu, tidak berdasarkan pada objek, abai pada objek, atau malah lebih menyandarkan pada interpretasi terhadap interpretasi orang lain, maka kita semua akan terjebak pada penafsirkan intertekstual tanpa objek atau potensial masuk ke jurang post-truth.
Apakah kesimpulan ini, masuk kategori post-truth ?
Mohon untuk digarisbawahi, narasi yang disampaikan di sini, adalah melihat fenomena interaksi interpretasi kelompok pro-kontra, dan bukan masalah substansinya. Interaksi interpretasi itulah yang menjadi objek kajian dari narasi yang kita sampaikan saat ini, dan bukan konten mengenai polemik ijazahnya itu sendiri. Oleh sebab itu, narasi ini, kiranya dapat diposisikan sebagai kritik intelektual, dan bukan kritik material (keabsahan ijazah).

0 comments:
Posting Komentar