Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada Sir Robert Stephenson Smyth "Baden-Powell", Bapak Pandu sedunia. namun, hal ini, rasanya ingin dicurhatkan di ruang ini. Baden-Powell (22 Februari 1857 – 8 Januari 1941), dikenal sebagai BP, bipi atau Lord Baden-Powell, adalah letnan satu umum di tentara, penulis, dan dikenal sebagai pendiri Gerakan Kepanduan se-dunia.
BP lahir di London. Karir dan kemampuannya sangat mengagumkan. Dia dikenali sebagai seniman, penulis, bahkan sempat menjalani tugas sebagai Inspektur Jendral Kavaleri di tahun 1903. Bahkan, pernah pula ditugas ke luar negeri, dan menjalani peperangan di luar negaranya. Pengalaman hidup, dan prestasi hidup yang luar biasa itu, sangat dikenal oleh kalangan pramuka di Indonesia (terlebih lagi di dunia).
Pertanyaan, mengapa hal itu bisa terjadi, dan mengapa di zaman sekarang ini, sulit menemukan kader pramuka yang memiliki kemampuan mumpuni ? atau, bahasa pesimistisnya, mengapa gerakan pramuka di Tanah Air, tidak begitu membumi di satuan pendidikan menengah atas ? Kita setuju, gerakan pramuka di jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama, masih cukup digemari. Sedangkan, bila sudah naik ke jenjang menengah atas, jumlahnya lebih rendah dibanding dua jenjang sebelumnya.
Mengapa hal ini terjadi ?
Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada BP, namun narasi hipotetik ini, perlu disampaikan di sini. Sekali lagi, BP adalah tokoh utama pandu dunia, kisah, sejarah hidup, dan kompetensi luar biasanya, kerap disampaikan dalam kursus kepramukaan, atau pendidikan kepramukaan. Merujuk pada pengalaman hidupnya, BP adalah orang yang memiliki keterampilan hidup di lapangan terbuka, darat, laut, pegunungan, dan juga di hutan belantara. BP bukan hanya bisa menjelajahinya, namun bisa bertahan hidup dengan penuh keceriaan. Pengalaman dan perjalanan itu, kemudian dituliskan, dan menjadi inspirasi bagi aktivis pramuka di zaman sekarang ini.
Penggalan sejarah pendek ini, menarik untuk dikaji, dan mohon izin, saya akan menggunakan teori fungsional dari Talcott Parsons (13 Desember 1902 – 8 Mei 1979) dalam membahas problem ini. Salah satu gagasan Talcott Parsons, yakni membedakan antara masyarakat tradisional dan modern.
Sekali lagi, menurut Talcott Parsons, salah satu ciri masyarakat tradisional adalah diffuseness, atau sikap dan hubungan antar manusia tidak jelas, dan belum ada spesialiasi. Sementara, masyarakat modern menunjukkan gejala spesialisasi. Pikiran ini, menarik dan dapat digunakan sebagai pisau analisis terhadap gejala yang dialami Baden Powell.
Sekali lagi, kita tidak menutup mata, terhadap keluarbiasaannya Baden-Powell. Namun, hadir dan munculnya BP sebagai tokoh-yang dianggap serba bisa itu, selain memiliki kecerdasan istimewa, pun, di zamannya, masih bersifat baur. Sehingga wajar, seseorang yang memiliki kemampuan istimewa, akan mampu menunjukkan kompetensi yang beragam.
Lain kisah dengan generasi modern ini. Seseorang hadir dengan tuntutan spesialiasi. Bila BP memiliki kemampuan pertolongan pertama pada kecelakaan, dan menguji makanan sehat di lapangan terbuka, maka teknik ini, sudah dikuasa oleh tim medis dengan kesarjanaan medis pula. Bila BP memiliki kemampaun spiritual dalam kepanduang, profesi ini sudah digeluti serius oleh tokoh agama atau tokoh spiritual.
Pertanyaannya, akankah hadir seseorang yang memiliki kompetensi lengkap ? mungkin, bisa ! Tetapi, saat kesadaran manusia modern menuju spesialisasi, maka pengetahuan umum, seperti yang diajarkan Pramuka atau dikuasai oleh BP, maka memerlukan argumentasi panjang dan waktu leluasa untuk meyakinkannya.
Dengan argumentasi serupa ini pula, fenomena ekstrakurikuler Paskibra, IRMA, Futsal, atau PMR, lebih digemari dari pramukanya itu sendiri, sejatinya, hal itu menunjukkan gejala spesialisasi. Pramuka cenderung masih difuseness, sedangkan ekskul lain sudah spesialisasi.
Mungkin demikian, bagaimana menurut kalian ?

0 comments:
Posting Komentar