Hari itu, 13 November 2025, mendapat pencerahan dari narasumber kepramukaan. Saat itu, sang narasumber, Kaka Pelatih dari Pramuka memberikan sebuah ilustrasi mengenai sejumlah anggota Pramuka yang sudah meraih tingkatan Garuda. Ada siaga Garuda, Penggalang Garuda, Penengak Garuda dan juga Pandega Garuda. Luar biasa. Mantap dan keren.
Peserta Kursus Orientasi Kepramukaan, dibuatnya kagum, dengan kehadiran sang Garuda tersebut. Tentunya, selepas menyaksikan hal itu, muncul pertanyaan dasar namun konyol, "gimana caranya, mereka mengatur waktu hidup, sehingga bisa meraih Garuda?" lebih lanjut dari itu, para penggumam itu, setidaknya saya merasakan, "kok bisa, sementara di sekolahku, jumlah peserta didik pramuka itu, dari tahun ke tahun, jarang beranjak jauh dari jumlah jari tangan dan kaki, disamping itu pun, raihan tertingginya kadang sekedar Bantara atau Laksana..".
Iya, kebetulan level pendidikan kepramukaan, di pangkalanku, yaitu jenjang Pendegak, level SMA. Kasus dan problema utamanya itu, adalah minimnya minat, dan gairah peserta didik terhadap kegiatan pramuka. Karena itu, bertepatan dengan kegiatan KOK (Kursus Orientasi Kepramukaan) ini, adalah kesempatan baik untuk kami curhatkan, baik dengan pelatih, Andalan, ataupun berbagi kisah pengalaman baik di pangkalan masing-masing.
Sekali lagi, pada moment serupa inilah, saya mendapatkan pencerahan, tetapi juga malah memancing kegelisahan, mengenai model pembinana kepramukana itu sendiri. Alkisah, bermula dari speak-up pelatih.
"kaka-kaka, ada kisah di pangkalan Kaka. Waktu itu, ada seorang anggota pramuka yang sudah Garuda. Pengalaman dan keterampilan kepramukaannya, sudah tidak diragukan lagi, bahkan, dia pun, sempat mengikuti kegiatan jambore di Mozambik - Afrika . Kegiatannya, sudah sangat luar biasa, bukan hanya lokal, tetapi nasional dan global. Setelah lulus di SMP, dia masuk ke SMA, dengan atmosfera kepramukaannya, yang berada ditawab standar yang dia pernah alami. Karena ekspektasinya terhadap kegiatan pramuka di SMA itu, tidak sesuai, maka dia pun, kemudian malah pindah ekskul di SMAnya...". tuturnya.
Pengalaman inilah, yang kemudian memancing diskusi. Saya pun, tertarik dan terlibat panas dalam membincangkan masalah ini. Ada beberapa soal, yang bisa diangkat, dengan merujuk pada narasi yang dituturkan itu.
Pertama, ada fenomena umum di jenjang penegak. Anak-anak yang memiliki kecintaan pada pramuka di jenjang penggalang, ternyata tidak selamanya konsisten dengan kepramukaannya, saat mereka masuk jenjang penegak. Kisah sang pelatih itu, persis dengan yang dialami di sekolahan, baik Madrasah Aliyah atau Sekolah SMA.
Faktualnya, kita dapat melihat, beberapa testimoni, bahwa peserta ekskul pramuka di jenjang SMA/MA/SMK, tidak lebih banyak dari ekskul futsal, seni, IRMA, atau yang lainnya.
Kedua, saya mencoba untuk mengejar konsep ekspektasi. Kaka Pelatih yang menjadi narasumber itu, membuat hipotesis "karena ekspektasi yang tidak sesuai, maka anak pramuka itu, berganti haluan pada ekskul yang lain..". Pernyataan ini, menarik untuk dikaji. Artinya, benarkah, masalah ekspektasi yang menjadi penyebab minimnya anggota pramuka di SMA/MA atauSMK ?
Tampaknya perlu dikaji secara kritis. Bila persoalan ini, dikedepankan, maka soalannya, para pembina pramuka di jenjang penegak (khususnya), akan sulit untuk menciptakan atmosfer kepramukaan di pangkalannya. Mari bayangkan bersama, jika ekspekstasi siswa baru itu, berharap bertemu dengan pangkalan dan pembina yang "sepadan" dengan ekspektasinya, yang sudah mendunia, maka sekolah mana yang dapat ditemukan ?
Ketiga, sebagai bagian dari menjawab soal itu, maka ekspektasi pramuka Penggalang Garuda itu, hanya akan mendapatkan atmosfer kepramukaan yang diinginkannya, saat dia masuk ke pendidikan ketarunaan. Mungkin di sekolah jenis itulah, ekspektasi yang mereka harapkan, bisa didapatkan. Sementara pada pangkalan yang berada sekolah umum atau reguler, maka sekolah mana yang memiliki komunitas garuda, sehingga bisa menjawab hasrat dan harapannya itu ?
Keempat, hipotesis eksrim dari pemikiran ini, jangan-jangan hal itu terjadi, sebagai dampak terlalu cepat penggarudaan anggota pramuka. terlalu cepat menggarudakan, tanpa mempersiapkan atmosfer pangkalan yang sepadan dengannya, maka akan menyebabkan kefrustasian pada diri pramuka tersebut.
Maka mau tidak mau, bila ada pramuka Garuda, harus diarahkan pada sekolah yang memiliki pangkalan pramuka yang cocok dengan ekspektasinya. Dengan cara itulah, pramuka garuda itu, akan bertemu dengan komunitas garuda lagi (dan bukan burung pipit), bahkan bertemu dengan pelatih level Garuda lagi.
Bila kita mengalami kesulitan menemukan ekologi pramuka Garuda itu, maka para pelatih, jangan terlalu mudah menggarudakan anggota pramuka, manakala tidak siap dengan ekosistem pramuka yang mampu menampung anggota dimaksud. Bila kita belum siap dengan ekosistem kepramukaan yang berkembang berkelanjutan, maka sebaiknya dikaji ulang mengenai agenda penggarudaan tersebut !!!
Terakhir, mungkin inilah yang menjadi tujuan pragmatis anggota pramuka di zaman kekinian. Raihan prestai dalam pramuka, sejatinya, sekedar menyalurkan minat, untuk kepentingan mempermudah masuk jenjang yang lebih tinggi, yang diinginkan. Pramuka adalah salah satu jalur prestasi dalam sistem penerimana siswa baru. Karena itu, mereka memandang, daripada harus bertarung dalam akademik, maka hal yang mudah adalah bertarung lewat pramuka. Akibatnya, manakala mereka mampu menempuh jalur itu, dan tembus di terima di sekolah yang diinginkan, 'belum' tentu mau melanjutkan pramukanya.
Bagaimana menurut kaka yang lain?

0 comments:
Posting Komentar