Hari Bumi (Earth Day), kali ini terasa berbeda.
Setidaknya, karena diri ini ikut terlibat dalam salah satu acara yang diselenggarakan
Badan Geologi. Kegiatan yang diikuti kali ini, yaitu Public Lecture (kuliah umum). Tema yang diangkat, Hijau Kotaku,
Lestari Bumi.
Latar belakang kegiatan ini, kiranya dapat dikatakan sebagai bentuk keprihatinan dunia, terhadap lingkungan, daya dukung lingkungan, dan daya tampung lingkungan. Selama ini, terbaca bahwa kualitas daya dukukung lingkungan terus menurun, bahkan hingga terancam tidak mampu mendukung kebelanjutan kehidupan ini, hingga ada beberapa daerah yang mengalami deficit lingkungan.
Karena itu, kebutuhan
untuk menjaga lingkungan, setidaknya mulai dari membangun kota hijau dan atau
pembangunan yang berkelanjutan, menjadi sangat penting.
Untuk kepentingan hal itu, salah satua aspek pokok dalam membangun kota hijau (green cities), yaitu adanya indicator green openspace (ruang terbuka hijau). Sebuah kota, diharapkan minimal 30 % ada ruang hijau, yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan lingkungan.
Kunci dari persoalan itu,
adalah adanya manajemen lingkungan yang baik. Implementasi dari manajemen
lingkungan yang baik, yaitu manajemen kota
yang baik. Potret dari manajemen kota baik, yaitu adanya penataan tata
guna lahan kota yang manusiawi dan ekologis.
Apa yang menyebabkan kecenderungan penegakkan hokum bidang tata guna lahan tidak berjalan dengan baik ?
Supardiyono Sobirin (2014), dalam Public Lecture (22 April 2014) yang dilaksanakan Museum Geologi - Badan Geologi, pada kegiatan Hari Bumi (Earth Day) mengatakan ada tiga factor “I”, yaitu iming-iming, intervensi dan intimidasi.
Aparatur Negara, baik itu penegak hokum maupun birokrat, lemah dalam
menegakkan aturan, karena ada iming-iming keuntungan. Kalau tidak mendapat
keuntungan, pemerintah atau pemilik
kekuasaan yang mengintervensi kebijakan, dan bahkan juga intimidasi, dengan
maksud harus mengabulkan keinginan pihak pengusaha untuk melakukan rencana
pemanfaatan lahan tertentu.
Benang merah dari itu semua, yaitu masalah insentif. dengan kata lain, kita katakan, faktor kunci itu, bukan (sekedar 3I), tetapi Faktor Tunggal I (insentif). Baik itu, pemerintah maupun penegak hukum, masih mengedepankan keuntungan material, dibandingkan dnegan masalah lingkungan.Inilah problemanya !
0 comments:
Posting Komentar